"Mengapa tak kau undang mereka kemari? Karena bisa jadi mereka lebih tahu penyakit apa yang dideritanya."
Sang istri itu menunduk. Merasa bersalah.
"Maaf, jika perkataanku menyakitimu. Tetapi, sebaik-baiknya engkau melayani suamimu, jangan sampai engkau memutuskan tali persaudaraan di antara suamimu dengan keluarganya."
"Maafkan saya, ya kekasih Tuhan. Aku tak bermaksud demikian. Ini semua lantaran aku merasa sangat mencintainya. Begitu pula suamiku, ia sangat mencintaiku. Karenanya, ia tak mau membuat repot keluarganya."
"Sekarang, katakan, siapa keluarganya?"
"Satu-satunya keluarga suami saya yang masih ada hanyalah ibunya."
"Ibunya?"
"Iya, ibunya."
"Kenapa tak kau undang ibunya kemari?"
"Maaf, ya Rasul, ibunya sudah renta. Tak mungkin aku mengundangnya kemari. Apalagi rumahnya sangat jauh."
"Kalau begitu, kau tinggal saja di rumah. Rawat baik-baik suamimu. Biarkan aku dan Bilal yang ke sana. Akan aku ajak bicara baik-baik ibunya.""
Terima kasih, ya putra Ibu Aminah, kemuliaan hanya padamu, ya Rasul. Sungguh, tiada bisa aku membalas kebaikanmu."
Setelah lelaki pembuka pintu surga itu berlalu dari hadapannya, kembali terpikir olehnya tentang mimpi itu. Dan benar saja, di rak hiasan yang ditaruh di ruang tamu itu, ia dapati sebuah kotak terbungkus kain putih. Diraihnya bungkusan itu. Dibukanya dan diambilnya isi kotak itu.