Mendengar ucapan itu, sang istri terisak. Tangisnya tumpah.
"Tenanglah, Nduk. Tenang. Usap airmatamu, segeralah gelar sajadah lalu bermohonlah pada-Nya," ujar bibinya sembari membelai rambutnya yang terurai penuh kasih sayang.
"Maaf, saya harus pamit," ucap sang tabib itu disambut senyuman tulus dari sang bibi.
"Terima kasih, tuan."
Peristiwa itu kembali lesap dalam ingatannya. Perempuan itu masih saja menggenggam gelas. Ditekannya perasaan sedih yang tak berkesudahan itu. Lalu, ia mencoba untuk menenangkan diri. Diusapnya airmata yang bercucuran itu. Dihapusnya duka yang teramat itu. Kemudian, diceritakanlah apa yang membuatnya gelisah.
"Wahai putra Aminah, telah aku lakukan segala cara demi kesembuhan suamiku. Tetapi, tampaknya Tuhan berkehendak lain. Aku tahu itu. Dan aku siap menerimanya. Tetapi, apakah tak ada cara yang indah untuk menjemput kematian, ya Rasul?"
Lelaki bermata bening itu sejenak tersenyum. Lalu berkata, "Kematian akan datang pada siapapun. Bahkan diriku sendiri tidak bisa lepas darinya. Tetapi, menerima dengan ikhlas panggilan-Nya adalah perihal yang sebenarnya dapat meringankan langkah menuju kematian." Kemudian ia pun berdiri. "Baiklah, jika kau bersedia dengan ikhlas, lebih baik kau pulang dan jagalah baik-baik suamimu. Ia sangat membutuhkanmu saat ini. Ia pasti tak ingin merasa kesepian," lanjutnya.
Perempuan itu mengangguk.
"Saudaraku, Bilal, Shuhaib, dan juga Ammar, antarkan ia pulang dan uruslah sementara waktu ini suaminya," perintahnya.
Segera ketiga sahabat itu berangkat.
Di tengah perjalanan, perempuan yang cantik itu tak henti-hentinya menangis. Dukanya kian menjadi. Mendengar tangisan itu, dari atas kuda tunggangannya, Bilal, Shuhaib, dan Ammar terus berusaha menenangkannya.
"Tenanglah, nyonya, dengan kereta ini aku pastikan kita sampai lebih cepat dari perkiraan," ucap Ammar menghibur.
"Bilal, bisakah kau kendalikan kudamu itu agar lebih cepat jalannya? Setidaknya, agar kita tak sampai larut tiba," kata Shuhaib.