Sungguh mengejutkan. Apa yang ada di dalam kotak itu sama persis dengan apa yang ada di dalam mimpinya. Ya, sehelai kain gedong. "Apa maksudnya?" gumamnya lirih.
"Hatiku telanjur sakit. Kata maaf tak cukup untuk melunasinya," kata perempuan tua itu di hadapan lelaki pembawa keteduhan bagi semesta.
"Aku bisa saja salah membaca hati seorang Ibu sepertimu. Apalagi sejak lahir aku tak pernah menyaksikan dan merasakan kasih sayang seorang Ibu. Tetapi, yang aku tahu, hati seorang perempuan itu penuh dengan kelembutan. Penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan, seekor induk singa tiada mungkin membiarkan anak-anaknya terancam dalam bahaya. Ia akan melindungi mereka sekalipun nyawa taruhannya. Bukankah manusia lebih mulia dibandingkan dengan binatang?"
"Ucapanmu memang benar, wahai pembawa risalah Tuhan. Tetapi, mestinya perkataan itu juga engkau sampaikan pada putraku. Seorang putra mestinya tak akan membiarkan ibunya terlunta-lunta. Hidup dalam kemalangan. Bahkan dalam sakitku, ia tak pernah ada di sampingku. Sementara kau tahu, suamiku telah tiada. Aku tidur dalam kedinginan, sementara ia asyik bermanja dengan istrinya, tanpa sedikitpun peduli padaku. Pantaskah ia aku sebut sebagai seorang anak?" sergah perempuan tua itu.
Lelaki yang selalu diliputi awan itu pun tersenyum. Lalu dari bibirnya keluar kata-kata, "Wahai Ibu yang penuh kasih sayang, jika engkau selalu mendendam pada masa lalu, mengapa tidak sekalian saja engkau mendendam pada kehendak Tuhan? Sebab, awal permulaan dari segala hal yang ada di muka bumi ini adalah kehendak-Nya."
Perempuan tua itu diam. Menunduk.
"Dengan segala hormatku pada seorang ibu yang berhati mulia ini, aku meminta padamu, wahai ibu yang penuh cinta, maafkanlah dia. Maafkanlah putramu. Hanya dengan maafmulah Tuhan akan memberi jalan. Dia akan mengangkat segala derita yang dialaminya."Â
Sontak, sang ibu kali ini tetap keras hati. "Tidak! Urusan dia dengan Tuhan semata-mata urusannya sendiri. Tidak ada hubungannya denganku! Kalaupun ada, biar ia rasakan pula derita yang pernah aku tanggung."
Ucapan itu telah memukul hati lelaki yang mulia ini. Ia menunduk, lalu sebentar memalingkan wajahnya. Di bening matanya ada butiran airmata yang nyaris jatuh. Tetapi, ia tahan. Pundaknya mulai naik turun. Seperti menahan tangis yang tak tersuara. Kini, ditatapnya wajah seorang sahabat yang setia, Bilal.
Menyaksikan itu, Bilal tak kuasa memandang. Ia tak tega menyaksikan manusia kekasih Tuhan itu menangis. Ia pun memilih menunduk. Tak menatapnya.
Dengan suara yang berat, lalu ia mengajukan pertanyaan pada Bilal, "Sahabatku Bilal, jika kemerduan suara yang penuh kelembutan tak mampu mengalahkan suara-suara yang menghentak, adakah suara lain yang mampu mengalahkannya?"
Bilal pun menjawab, "Dengan auman, seekor singa bisa mengusir seorang pemburu yang diliputi oleh nafsunya. Sebab, sebesar apapun nafsu itu ia juga akan dapat dengan mudah dikalahkan oleh ketakutannya sendiri."