Mohon tunggu...
Razan Tata
Razan Tata Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Hanya seorang pria yang suka menulis banyak hal :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramuan Ungu

19 Maret 2016   11:36 Diperbarui: 19 Maret 2016   12:42 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

        Reza terus menatap botol kecil berisi cairan ungu di depannya itu. Pikirannya terus menimbang-nimbang apakah akan meneteskan ke dalam air mineralnya atau tidak.

        Satu tetesnya akan membuat orang-orang tidak bisa melihatmu kecuali mereka yang tidak menyukai atau yang membencimu.

        Begitulah kata seorang nenek misterius kemarin sore di taman kota. Meskipun baru pertama kali bertemu, Reza sangat nyaman berbincang-bincang dengan nenek itu. Bahkan tanpa sadar ia juga mengeluhkan kehidupan dunia kerjanya, dimana ia sulit membedakan mana kawan dan mana lawan. Nenek tersebut mendengarkan setiap “curhatannya” dengan khusyuk. Dia juga masih ingat wajah teduh nenek itu yang sesekali memanggut-manggutkan kepalanya. Sampai akhirnya nenek beraroma minyak angin itu mengeluarkan sesuatu di saku kanan sweater rajut abu-abunya. Sebuah botol kecil yang kira-kira berukuran seibu jari.

       “Ini ramuan ajaib. Jika satu tetesnya kamu masukkan ke dalam minumanmu dan meminumnya, maka selama setengah jam orang-orang tidak akan bisa melihatmu kecuali mereka yang tidak menyukai atau yang membencimu.”

        “Ini dulu sering diminum sama cucu nenek. Dia juga mengeluhkan hal yang sama sepertimu.”      

        “Nak Reza mengingatkan nenek sama cucu nenek itu.”

        Dan di sinilah dia sekarang. Memandangi botol itu dengan penuh kebimbangan.

        Semua orang tidak akan bisa melihatnya kecuali yang membencinya.

        Kata-kata itu selalu terngiang di kepalanya. Bagaimana mungkin?? Sebenarnya dia bukanlah tipe orang yang percaya akan hal-hal yang aneh seperti itu. Tapi rasa penasaran semakin memenuhi rongga tubuhnya. Karena jika ternyata berhasil, maka dia akan bisa mengetahui orang-orang yang bermuka dua di perusahaannya ini. Orang-orang yang berusaha menjilatinya.

        Akhirnya ia memutuskan untuk meneteskan dua tetes dulu.

        Tidak ada salahnya dicoba, pikirnya.

        Reza  mengguncang-guncangkan botol air mineralnya. Setelah dirasa ramuan itu sudah bercampur dengan sempurna, dia membuka penutup botolnya. Dadanya berdebar kencang dan tubuhnya sedikit menegang. Dia pun meminum sedikit dan menunggu sesaat. Menunggu reaksi yang dia tidak tahu juga itu apa. Tapi selang beberapa detik dia tidak merasa ada yang berbeda. Dia melihat sekelilingnya. Semuanya tetap sama. Tidak ada yang “berubah”. Dia meneguk lagi air mineralnya sedikit lebih banyak.

        Tok! Tok!

        Reza tergagap dan sedikit tersedak. Dia mengelap bibirnya dengan ujung lengan kanan kemejanya.

        “Masuk!”

        Ternyata Tika. Sekretaris kepercayaannya itu masuk sambil membawa sebuah map berwarna biru.

        “Pak Reza?”

        Reza mengernyitkan dahinya. Dia bingung. Tika seperti mencari-cari dirinya. Padahal mata sekretarisnya itu tepat melihat ke arahnya. Begitu dia ingin memanggil Tika, Reza tercekat. Dia langsung melihat botol di genggamannya. Tubuhnya kontan bergetar hebat.

        Sedangkan Tika dengan wajah penuh keheranan meninggalkan ruangannya.

        Reza langsung mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Dia sangat shock dengan apa yang barusan terjadi. Ramuan itu ternyata bekerja! Dia tidak tahu harus bereaksi apa saat ini. Semua emosi berkecamuk di dalam dirinya.

        Kemudian ia bangkit dari kursinya. Pria bertubuh tegap ini pun berjalan mondar-mandir di depan meja kerjanya. Dia mengurut-urut dahinya yang sudah deras mengeluarkan keringat. Berkali-kali juga dia menampar pipinya kanan dan kiri.

        Setelah merasa agak tenang. Sudah mencerna apa yang barusan terjadi. Reza kembali duduk di kursinya. Dia menghembuskan napasnya kuat-kuat. Walaupun rasa shocknya belum sepenuhnya hilang, dia rasa sudah siap sekarang. Sudah siap dengan “keajaiban” yang tidak masuk akal ini. Reza menanti siapa lagi yang akan datang ke ruangannya.

         Tok! Tok!

         Reza terkesiap. Dia menghembuskan napas lagi lewat mulutnya kuat-kuat.

         “Masuk!”

         Seorang office boy memasuki ruangannya. Bang Maman. Sudah jadwalnya mengantarkan teh atau kopi untuk para karyawan termasuk untuk Reza. Langkahnya terhenti begitu melihat ke arah meja kerja bosnya itu.

         “Pak Reza?”

         Reza hanya diam. Menahan segala suara yang tertahan di tenggorokannya.

         “Pak?”

         Nampan office boy senior ini sedikit bergetar. Bang Maman langsung keluar dengan raut wajah ketakutan.

         Reza tertawa tertahan. Wajah Bang Maman yang ketakutan barusan sangat menggelikan. Tapi dia senang. Ternyata office boy kesayangannya itu tidak bermuka dua.

         Setelah Bang Maman, ada 3 orang lagi yang masuk ke ruangannya. Dan tidak ada satu pun yang bisa melihatnya.

         “Apakah tidak ada orang yang bermuka dua ya? Tidak ada yang membenciku?”

         Reza melihat jam tangannya. Sudah jam 9 pagi. Ini sudah lewat dari satu jam. Dia menitikkan dua tetes ramuan ajaibnya lagi ke dalam air mineralnya. Setelah meminumnya dan menunggu selama satu menit. Reza berdiri dari kursinya. Kali ini dia ingin bereksperimen. Dia ingin berjalan-jalan di kantor.

                                                                       * * *

         Sepertinya semua orang mencintainya. Ada rasa sejuk dan haru yang hinggap di dada pria berumur 38 tahun ini. Reza masih menjelajahi kantornya yang berdesain modern dan futuristik itu. Beberapa orang hanya berjalan melewatinya sedari tadi. Padahal mereka biasa menyapanya sambil tersenyum hormat.

         “Pagi, Pak Reza!” Reza terperanjat. Dia berusaha membalas senyum dan sapa pria bertubuh gempal itu. Dia pun menoleh ke belakang dan menatap punggung pria itu yang semakin menjauhinya. Bibirnya langsung tersenyum sinis. Dia pun segera mencatat nama pria itu di ponselnya, “Rudi Darmanto”.

         Sudah satu orang. Adakah lagi?

                                                                        * * *

         BUK!

         Reza menghempaskan tubuh ke sofa empuk di ruangannya. Rasa lelah menjalari tubuhnya setelah berjalan kesana-kemari menyusuri kantornya yang bertingkat tiga itu.

         Ternyata selama berkeliling tadi, ada 10 orang yang masuk ke dalam catatan di ponselnya. Dan diantara semua nama tersebut, terdapat 7 nama yang tidak ia duga bisa melihatnya tadi. Terutama nama “Hadi Prasetya”. Dia adalah orang yang dipecat dari perusahaan jasa konsultan arsitektur saingannya beberapa bulan yang lalu. Karena talentanya yang mumpuni, Reza merekrutnya untuk bekerja di tempatnya dan langsung dia posisikan sebagai kepala divisi tim ahli. Dan selama bekerja dengannya, Hadi menunjukkan kinerja yang impresif dan tidak ada tanda-tanda Hadi membenci dirinya.

         Reza menarik napasnya dalam-dalam. Dia berharap Hadi hanya sekedar tidak menyukainya. Tidak sampai taraf membencinya. Mungkin saja selama kepemimpinannya di perusahaannya ini pernah melakukan sesuatu yang membuat Hadi tersinggung. Nanti dia akan coba berbicara dengan salah satu karyawan terbaiknya itu. Dia harus mengklarifikasi semuanya. Agar selain memastikan perusahaannya tidak berisi orang yang berpotensi merusaknya dari dalam, dia juga tidak ingin memiliki musuh di kehidupan pribadinya.

         Sudah jam 10. Reza lelah dan mengantuk. Sekarang ia berbaring di sofa. Menghadap jendela kaca yang super besar di belakang kursi kerjanya. Dia meluruskan tulang punggung dan kakinya senyaman mungkin. Dan tidak lupa tadi dia meminum dulu ramuan ajaibnya dengan kadar 2 tetes lagi. Sebelum akhirnya ia merebahkan diri di sofa biru kesayangannya itu.

         Dalam beberapa menit Reza pun sudah berada di alam antara dunia nyata dan dunia tidur. Sampai akhirnya tak butuh waktu lama dia pun terlelap.

         Tok! Tok!

         Reza tidak bergerak dari sofanya.

         Tok! Tok!

         Pemilik jasa konsultan arsitektur ternama di Jakarta itu sedikit tersentak. Pintunya diketuk sekali lagi. Dia mengucek-ngucek matanya yang tidak setuju untuk dibuka. Kepalanya menyesuaikan diri dengan sedikit rasa pusing.

         “Masuk!”

         Seorang wanita tinggi semampai memasuki ruangannya.

         “Sayaaaang!” Wanita itu langsung memeluk Reza. Senyum Reza mengembang luas sambil membalas pelukan wanita berkulit putih kemerahan itu. Sebelum akhirnya Reza mengerjap-ngerjapkan matanya. Menyadari sesuatu yang sedang terjadi. Dia langsung melihat jam tangannya. Baru jam 10 lewat 15 menit.

         “Suamiku apa kabar? Ini aku bawakan sesuatu untukmu.” Tanpa menunggu jawaban dari Reza, wanita yang tak lain adalah istrinya itu meletakkan sebuah kotak makanan ke atas meja kecil di dekat sofa.

         “Ini ada ayam goreng, tumis kangkung, dan sambal tumis perut ikan kesukaanmu.” wanita itu juga meletakkan sendok dan garpu di samping kotak makanan tersebut. “Mau makan sekarang?”

         Reza tidak menjawab.

         “Sayang, kamu kenapa? Lagi sakit? Kok lemas banget?”

         “Eh, nggak kok. Hanya sedikit pusing saja.”

         Wanita itu meletakkan punggung tangan kirinya ke dahi suaminya itu.

         “Nggak panas.”

         “Aku cuma sedikit pusing. Maklum pekerjaan suamimu ini kan banyak menguras pikiran dan tenaga.” Reza tersenyum tipis.

         Wanita itu tersenyum. Dia menasihati Reza untuk banyak beristirahat, tidak lupa makan, dan segala macam yang lain. Mereka pun lanjut mengobrol sambil Reza melahap masakan buatan istrinya. Tak lupa juga dia memuji masakan yang selalu disambut istrinya dengan kalimat, “Ah…kamu ini berlebihan.”.

         Reza berusaha sekuat tenaga menjaga sikapnya seperti biasa saat ini.

         Wajah wanita itu tampak sumringah ketika Reza sudah menghabiskan makanannya. Dia pun segera mengemaskan kotak makanan beserta sendok dan garpunya, lalu memasukkannya ke kantong plastik putih. Reza selalu bersyukur memiliki pendamping seperti istrinya ini. Tapi kali ini rasa syukurnya bercampur dengan kegelisahan yang tak menentu dari tadi.

         Setelah mengobrol sebentar, wanita itu pamit pulang kepada Reza.

         “Ya, udah. Aku pulang dulu ya. Aku nggak mau mengganggu pekerjaan suamiku lebih lama lagi.” Wanita itu tersenyum manis sambil mengait tas tangannya dan membawa kantong plastik putih di tangan kirinya. “Yang penting ingat pesanku tadi.”

         Reza langsung tergamang begitu istrinya keluar dari ruangannya.

         Berbagai pertanyaan langsung bertumpuk hinggap di kepalanya. Bagaimana mungkin? Kenapa malah istrinya yang bisa melihatnya? Perasaannya semakin runyam. Ingin sekali dia berteriak saat itu juga.

                                                                      * * *

         Jam dinding mengarahkan jarum pendeknya ke arah angka 1. Efek ramuan itu sudah habis. Reza tidak memperpanjang lagi efek tersebut. Dia tidak peduli lagi dengan orang bermuka dua atau orang-orang yang berusaha menjilatnya. Reza hanya memikirkan istrinya saat ini.

         Matanya menatap kosong ke arah meja kecil tempat dia makan tadi.

         Dia mengingat-ingat istrinya begitu baik kepadanya selama ini. Hampir tiap hari ia mengantarkan makanan untuknya, baik sarapan bahkan makan siang. Ditambah lagi istrinya itu begitu perhatian kepada dirinya. Seperti tadi, dia sangat memerhatikan kondisi kesehatannya.

         Tapi bagaimana mungkin?? Pertanyaan itu selalu berputar-putar di kepalanya.

         Selama 12 tahun menikah, Reza tidak pernah melihat gelagat benci atau bahkan sekedar tidak suka dari Wina, istrinya. Pikirannya memutar kembali rekaman kehidupan berkeluarganya. Mengingat kembali ketika pertama kali bertemu dengan istrinya. Mereka berpacaran selama setahun sebelum akhirnya menikah. Dan ketika itu mereka bahagia-bahagia saja. Tidak ada keterpaksaan dalam pernikahan mereka berdua. Mereka menikah memang murni karena cinta.

         Dia flashback lagi.

         Rasa bahagia itu semakin memuncak ketika akhirnya sebuah impian terbesar dalam berumah tangga tercapai, yaitu hadirnya seorang putra yang lucu di tahun kedua pernikahan mereka. Keluarga kecil mereka semakin lengkap. Semakin sempurna. Tidak ada cacat sama sekali.

         Lantas apa yang membuat istrinya itu bisa melihatnya tadi? Apa mungkin ramuan dari nenek misterius itu mengalami masalah? Sehingga efeknya tidak bekerja?

         Wajah Reza semakin mengerut. Dia terus memijit-mijit dahinya dari tadi.

         Tiba-tiba Reza menegakkan tubuhnya! Dia tahu! Ya! Akhirnya dia tahu! Tubuhnya langsung melemas. Kelopak matanya memanas. Dia merutuki dirinya sendiri.

                                                                     * * *

         “Bagaimana tadi kerjaannya di kantor, Sayang?” tanya Wina sambil mengenakan piyamanya. Wina berbeda dengan Reza yang lebih suka memakai celana pendek saja ketika tidur. Gerah kata suaminya itu.

         “Baik-baik saja seperti biasanya. Aku kan pimpinan dan arsitek yang handal.” Reza terkekeh. Wina tersenyum sambil menghampiri tempat tidur mereka. Duduk di dekat Reza yang telah berbaring duluan.

         “Wajahmu kelihatan lelah,” kata Wina sambil mengusap-usap bahu suaminya itu.

         “Hanya sedikit capek,” senyum Reza. “Oh ya, aku punya sesuatu buat kamu.”

         “Haah? Sesuatu? Apa itu, Sayang?”

         Reza bangkit dari tempat tidurnya, “Ada deh. Kamu tunggu di sini sebentar ya.”

         Dia segera memakai kaosnya putihnya dan bergegas keluar kamar.

         Wina menunggu dengan pikiran bertanya-tanya. Semakin lama menunggu, dia semakin deg-degan. Sudah 10 menit tapi suaminya belum juga kembali ke kamar.

         Kemudian terdengar suara ketukan di pintu yang sedikit terbuka.

         “Boleh aku masuk?”

         Wina tertawa. “Boleh dong, Sayang.”

         Bola Mata Wina langsung membesar begitu pintu terbuka. Dia menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. Dengan masih mengenakan celana pendek dan kaosnya tadi, Reza membawa sesuatu di kedua tangannya. Wina menahan haru. Dia melihat di tangan kanan suaminya itu ada sebuket besar mawar merah yang sangat indah. Itu mawar merah terindah yang pernah ia lihat. Dan di tangan kirinya! Dia serasa mau meleleh melihat apa yang ada di tangan kiri suaminya itu. Sebuah piring kecil dengan potongan tiramisu cake favoritnya!

          “Ini untukmu, Sayang.” Reza menyerahkan kejutannya sambil berlutut. Wina yang duduk di pinggir tempat tidur segera mengambil bunga mawar dan tiramisu cake favoritnya itu. Kilau matanya terus berbinar melihat keduanya.

          “Ini…untuk apa, Sayang? Ulang tahun pernikahan kita kan bukan hari ini. Mmm…ulang tahunku juga bukan hari ini deh.”

          Reza menggeleng sambil tersenyum, “Memang bukan.”

          “Tunggu,” Reza mengacungkan telunjuknya dan bangkit berdiri. Dia mengambil sesuatu dari dalam lemari. Sebuah kepingan CD. Kemudian ia menuju CD player di bawah meja televisi dan memutarnya. Setiap sisi tubuh Wina langsung merinding begitu mendengar opening piano yang menggema pelan.

         My Love

          There’s only you in my life

          The only thing that’s bright

          Lagu Endless Love mengalun lembut di kamar mereka.

          “Lagu wajib kita,” kata Reza sambil duduk dengan kursi yang digeser ke hadapan istrinya.

          Wina tersenyum. Matanya terasa panas. Dia mengulum bibirnya.

          “Sayang, aku sangat mencintaimu. Aku adalah pria yang paling beruntung sedunia. Pria yang mendapatkan seorang bidadari di sisinya. Bidadari yang bernama Wina Dianasari.” Reza menggenggam kedua tangan istrinya itu dan menatap matanya dalam-dalam. Lagu Endless Love masih mengalun dengan tenang.

          “Dan aku ingin minta maaf jika selama ini belum menjadi pria yang terbaik bagimu. Belum menjadi imam yang baik bagi keluarga kecil kita. Belum menjadi ayah yang hebat bagi Dafa.”

          Wina menggeleng cepat. Air mata mulai menggenangi kedua kelopak matanya.

          “Kamu jangan berkata begitu, Sayang. Kamu adalah pria terbaik yang aku dapatkan. Dafa juga beruntung bisa memiliki ayah yang hebat seperti kamu.”

          Reza turun dari kursi dan berlutut di depan istrinya.

          “Aku ingin minta maaf…”

          “Minta maaf apalagi, Reza sayang?”

          Reza terdiam. Dadanya bergemuruh.

          “Aku minta maaf karena dulu telah meminta babysitter untuk mengasuh putra kita yang masih kecil. Yang akhirnya malah membuat kamu berhenti bekerja untuk mengurus Dafa.”

          Wina menggeleng cepat dan singkat. Dia memegang bahu Reza.

          “Kamu tidak perlu minta maaf untuk itu. Aku nggak papa kok. Aku malah senang berhenti dari kerja untuk mengurus anak kita.” Wina tersenyum menenangkan.

          “Dan aku ingin minta maaf untuk yang satu lagi…”

          Wina mengedikkan kepalanya. Dia hanya diam kali ini dan menunggu suaminya itu untuk melanjutkan.

          “Aku minta maaf waktu itu…” Reza terhenti. Suaranya bergetar. “Aku minta maaf karena sudah menuduhmu berselingkuh…”

          Wina langsung mengangkat kepala sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Air kepiluan memenuhi setiap rongga matanya dan mulai menjatuhi pipinya yang putih.

          Wina memang merasakan sakit yang teramat dalam karena itu. Hatinya seperti ditusuk belati berkali-kali ketika Reza, suami yang sangat dicintainya itu menuduhnya berselingkuh dengan mantan rekan kerja di kantornya dulu. Seorang pria yang sebenarnya juga hanyalah sahabatnya dari kecil. Yang mungkin saja karena saking dekatnya membuat orang lain berpikir yang bukan-bukan, termasuk Reza yang dikenalnya sangat pencemburu. Tapi mau bagaimana pun, siapa yang tidak sakit hati ketika suaminya tercinta mengatakan dirinya adalah seorang wanita peselingkuh. Menuduhnya yang tidak-tidak di tahun ke-5 pernikahan mereka.

          Walaupun perdebatan mereka saat itu perlahan menguap seiring berjalannya waktu. Rasa sakit itu tetap melekat. Hati yang retak tak pernah bisa kembali utuh dengan mudahnya. Apalagi Reza tidak pernah meminta maaf atau menarik kata-katanya tersebut.

          Kalau ditanya apakah dia membenci suaminya? Wina tidak tahu. Yang dia tahu pasti, rasa cinta dan kasih sayangnya kepada Reza tidak pernah berkurang sedikit pun. Tak pernah juga ia terpikir ingin meninggalkan suaminya.

          Dia juga sudah berusaha mengusir sakit hatinya berkali-kali. Berpikir positif mungkin saja suaminya hanya khilaf. Atau pun berusaha memahami jika Reza berpikir seperti itu karena dia memang seseorang yang sangat pencemburu. Tapi semua upaya itu selalu gagal. Rasa perih itu tidak mau menghilang.        

          Dan hari ini permintaan maaf dari suaminya akhirnya datang juga. Sebuah maaf yang diminta dengan kejutan yang tidak ia pungkiri membuatnya sangat terharu.

          Reza menangis terisak-isak sambil menunduk menatap lantai. Dia terus meluapkan permintaan maafnya.

          “Sayang…” ucap Wina lembut.

          Reza masih menunduk. Wina memegang dagu Reza dan mengangkat wajah suaminya itu dengan pelan. Wina dapat melihat mata yang sembab dari pria gagah di depannya ini.

          “Rasa sakit itu sudah hilang sejak kamu membawa ini semua…” Wina mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

          “Lagu ini…”

          “Mawar ini…” Wina memegang buket mawar merah yang tergeletak di samping kirinya.

          “Tiramisu cake favoritku…” Dia tersenyum dengan mata sembab sambil mengangkat tiramisu cake di samping kanannya. Kemudian meletakkannya lagi.

          Wina turun dari tempat tidurnya. Ikut berlutut di depan Reza. Kedua lututnya bersentuhan dengan lutut suaminya itu.

          “Dan ini…” Wina meletakkan telapak tangannya di dada Reza. “Kamu telah membawa maaf yang tulus dari hatimu, Sayang.”

          Air mata Reza semakin banyak mengaliri pipinya. Dia semakin terisak.

          “Aku memang suami yang buruk. Lidahku memang pantas untuk dipo…”

          Reza terkesiap ketika Wina langsung mencium bibirnya. Sebuah kecupan yang merasuk hangat ke dalam jiwa.

          “Aku nggak mau dengar apa-apa lagi. Aku sangat mencintaimu dan aku sudah memaafkan semuanya.”

          Reza terdiam cukup lama menatap mata hangat istrinya. Kemudian dia memeluk wanita yang sangat dicintainya itu. Wina pun balas memeluknya. Pelukan mereka sangat erat seakan-akan lem yang tidak bisa dipisahkan lagi. Rasa cinta antara mereka kembali tumbuh dengan lebih lebat. Lebih dahsyat dari sebelum-sebelumnya. Sudah tidak ada lagi hama-hama negatif di antara mereka berdua.

          “Terima kasih, Sayang, karena sudah setia mendampingiku walaupun aku telah melukai hatimu. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Dan aku akan selalu berusaha menjadi pria yang terbaik bagi kamu dan juga bagi Dafa. Kamu bisa pegang kata-kataku. Aku janji.” Wina tersenyum bahagia. Dia menjawab kata-kata Reza barusan dengan pelukan yang lebih erat lagi.

          Mereka pun bangkit berdiri. Mereka meletakkan bunga mawar dan tiramisu cake ke meja di sebelah tempat tidur. Reza dan Wina pun segera naik ke atas ranjang sambil saling berpandangan mesra. Dan kemudian pasangan sejoli ini pun larut dalam irama cinta sepasang kekasih.

          Sebuah penutup malam yang indah sambil ditemani bunyi derit ranjang dan buaian lagu yang masih mengalun anggun.

                                                                       * * *

          Ruangan dengan dominasi warna putih itu tampak lebih menyenangkan dilihat dari biasanya. Mmm…bukan hanya ruangannya ini saja, tapi juga apa pun yang dilihat Reza hari ini terlihat lebih menyenangkan. Contohnya juga selama perjalanan ke kantornya tadi dia tidak ngedumel di dalam mobil, padahal biasanya dia akan mengomel sendiri melihat jalanan Kota Jakarta yang macetnya gila-gilaan. Sesampainya di kantor, dia pun tidak terburu-buru berjalan menuju ke ruangannya seperti biasa. Dia berjalan perlahan menikmati setiap langkahnya sambil menanggapi senyum dan sapa karyawannya dengan wajah berseri-seri.

          Sebagai manusia, Reza tidak luput dari kesalahan, dia juga sering meminta maaf untuk kesalahannya itu. Tapi dia tidak pernah merasakan kelegaan seperti ini ketika dimaafkan seseorang. Mungkin inilah yang dirasakan jika permintaan maaf yang dimintai dengan sungguh-sungguh bertemu dengan pemberian maaf yang tulus dari orang sangat kita cintai.

          Reza sedang menata meja kerjanyanya dengan hati yang lapang. Dia meletakkan buku, bolpoin, map-map berwarna-warni, draft proyek, dan lain-lain dengan rapi. Semua peralatan kerjanya pun terlihat lebih menyenangkan hari ini.

          Ketika dia menarik laci ingin mengambil penggaris dan pensil gambarnya, dia melihat botol kecil tergeletak di dalamnya. Reza tersenyum melihat ramuan yang sudah “membantu” kehidupan rumah tangganya itu. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali dalam hati untuk ramuan itu dan nenek misterius yang memberinya. Reza jadi ingin pergi ke taman kota nanti sore, siapa tahu dia akan bertemu dengan nenek itu lagi dan bisa mengucapkan terima kasih langsung kepadanya.

          Ramuan itu masih tersisa beberapa tetes. Tapi Reza tidak berminat lagi menggunakannya. Dia mengambil botol itu dan berjalan menuju tempat sampah di pojok ruangan. Reza ingin membuang saja ramuan ini. Tapi ketika ia hendak melemparkannya ke tempat sampah, terbersit rasa ingin menggunakannya sekali lagi. Dia memandang ramuan, tempat sampah dan botol mineral di atas meja kerjanya secara bergantian.

          Akhirnya dia memutuskan untuk menggunakanya sekali lagi.

          Untuk yang terakhir kali, pikirnya.  

          Dia kembali menuju mejanya dan meneteskan satu tetes ramuan ajaibnya ke dalam air mineral. Anggap saja ini sebagai tetes perpisahan dan terima kasih darinya.

          Reza pun segera meminumnya dan menunggu selama satu menit. Kali ini tidak ada lagi rasa deg-degan, tidak ada lagi rasa takut. Dia pun duduk di kursinya dengan tenang. Reza tersenyum sambil menatap pintu. Menanti siapa yang akan masuk ke ruangannya.

          Tok! Tok!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun