Mohon tunggu...
Gendis Pambayun
Gendis Pambayun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan peramai dunia dan pengedukasi kesehatan jiwa

Seorang penyuka makanan pedas, penyuka seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah mencintaimu, Nda

19 Oktober 2018   08:28 Diperbarui: 19 Oktober 2018   08:55 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Friska memandangi wajah Barly, laki-laki yang sudah 10 tahun ini menjadi suaminya. Tertidur lelap dengan tenang dan terpancar kelegaan hatinya setelah melewati banyak masalah terjadi dikehiduoan mereka.

Friska menghela nafas panjang, menyeka airmatanya yang tanpa disadarinya telah membasahi kedua pipinya. Cinta memang buta, begitu kata orang-orang. Biarlah dunia cemburu melihat kebahagiaan kami. Dan, biarlah kematian menjadi lelucon diakhir cerita kami.

"Maafkan aku, mas. Aku selalu berharap tidak akan ada lagi hal-hal rumit yang menjadi beban hidupmu lagi" batin Fiska, sambil memandang suaminya.

**

5 tahun berlalu, namum Friska belum ada tanda-tanda memberi malaikat kecil dalam rumah tangga mereka. Keluarga Barly seperti memiliki senjata sebagai alat untuk menghasut Barly. Padadasarnya Barly sendiri tidak mempermasalahkan tentang hadirnya buah hati diantara dirinya dengan Friska. Namun, keluarganya terutama ibu selalu menjadikannya masalah. Dan, seakan-akan keterlambatan Friska dalam memberi buah hati adalah senjata terampuh yang  jadi alat untuk bisa membuat kekacauan dalam rumah tangga Barly.

Sehingga, Friska sering sekali mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari ibu dan saudara-saudara suaminya. Sampai pada suatu hari Friska mendengar ibu mertuanya berbincang dengan adiknya (tantenya Barly).

"Rum, besok antar aku ke Ngadirejo lagi, aku ingin Barly mendengarkan kata-kataku agar dia mau meninggalkan perempuan mandul itu."

"Mbakyu, sudah tidak perlu dilanjutkan , nanti kalau Barly tahu dia akan marah besar kepada kita" sahut tante Rumini mengingatkan kakaknya, ibunya Barly suami Friska.

"Asal kamu diam tidak akan ada yang tahu jika aku main dukun untuk membuat Barly membenci perempuan mandul itu," sahut perempuan yang dipanggil mbakyu.

Seketika, seluruh persendian Friska seakan copot dari tautannya. Friska tidak mampu melanjutkan langkah menuju ruang santai yang disebelah dapur rumah besar ibu mertuanya. Friska terduduk dilantai tanpa alas, aimatanya mengalir tanpa mampu ditahan lagi. Lalu Ia bangkit perlahan menuju kamarnya dilantai atas. Ditumpahkannya airmatanya, andai tidak mendengar sendiri tentu Friska tidak akan percaya, jika ibu mertuanya  menginginkan perceraiannya dengan putranya.

"Haruskan aku menceritakan  apa yang aku dengar kepada Ayah (Friska memanggil Barly dengan sebutan ayah)?"

"Percayakah ayah tentang ucapanku ini, sedang mereka jika didepan ayah begitu baik, manis dan seakan sangat menyayangiku."

Berbagai pertanyaan dan pertimbangan berkecamuk dalam pikiran Friska. Dia, tidak mungkin menceritakan kepada suaminya. Dengan menceritakan semua yang didengarnya akan sangat tidak baik bagi suaminya juga ibu mertuanya. Namun, jika tidak diceritakan Friska merasa tidak kuat menghadapi sendirian. Akhirnya hanya kepada pemilik semesta Dia berpasrah. Mencurahkan segala keluhnya dan memohon agar diberi kekuatan dalam menghadapi apapun nantinya.

Semenjak kejadian itu, Friska tidak pernah lagi berkunjung ke ibu mertuanya. Kecuali lebaran dan ada hal-hal penting yang mewajibkan ia hadir. Hingga Barlypun sempat menanyakannya.

"Bunda, kenapa tidak pernah ke rumah ibu lagi?" tanya Barly  dengan lembut.

"Tidak apa-apa, yah. Nanti kalau Bunda santai dan pekerjaan kantor tidak menumpuk, bunda main," sahut Friska tanpa menoleh kearah suaminya. Ia takut suaminya bisa membaca ekspresi wajahnya. Barlypun diam. Lalu berdiri melangkah medekati Friska. Sambil memijit pundak Friska, Barly berkata:

"Jika ibu ada salah maafkanlah, orangtua memang kadang menjengkelkan kita, tetapi bersyukurlah kita masih ada ibu walaupun kadang ibu sangat membuat kita salahpaham dengan keinginannya."

Tangan Friska menggenggam tangan suaminya diatas pundaknya. Dia berhenti mengetik lalu menghela nafas.

"Iya, yah, tenang saja. Bunda tidak merasa ibu melakukan keburukan apalagi menyakiti aku," sahut Friska sambil mendongakkan kepala memandang wajah orang yang dicintainya.

"Baiklah, sayang. Lanjutkan pekerjaanmu, jika sudah selesai lekaslah menyusulku. Aku sudah mengantuk," sahut Barly sambil mengecup kepala sang istri.

"Iya, Yah" sahut Friska sambil tersenyum.

Terngiang kembali percakapan ibu dan tantenya Barly ditelinga Friska. Namun, seketika itu juga ditepisnya jauh-jauh.

"Allah maha pelindung dari segala kejahatan makhluk, yakinlah," Friska menenangkan hati dan pikirannya.

Friska tidak membiarkan pikiran buruk menghantuinya. Ia berusaha untuk tetap berpikir positif.

**

Siang itu, Friska sedang bercengkrama dengan Barly, diteras belakang. Menikmati bunga dan ikan dikolam yang mereka rawat. Semilir angin sejuk menyapu wajah keduanya. Friska duduk disamping Barly, sambil menyandarkan kepala dibahunya. Kicauan burung memecahkan kesunyian dan menimbulkan rasa bahagia dihati Friska. Tiba-tiba, Barly mengangkat kepala Friska dari bahunya. Dipandanginya wajah sang istri lekat -lekat. Kemundian dikecupnya kening sang istri. Friska menikmatinya dengan rasa yang tak mampu diungkap saking bahagianya.

"Bunda, ayah mau bilang tapi bunda jangan sedih ya" kata Barly

"Ada apa, yah? Sahut Friska sambil memandang wajah suaminya yang terlihat serius.

"Ibu, minta sepulangnya dari Batam ayah menemani ibu dirumah Semarang"

"Ibu, dibawa ke Jakarta saja, Yah"

"Beliau tidak mau, maunya Ayah yang nunggu disana."

"Bukankah ada Ratih?"

"Iya, dengan Ratih juga"

"Lalu, bagaimana dengan  pekerjaanku, Yah?"

"Bunda, tidak usah ikut. Dirumah, kekantor,  tunggu ayah pulang," ekspresi wajah Barly terlihat kaku, seakan menahan sesuatu yang tidak enak dalam benaknya.

"Ayah maunya begitu, baiklah" jawab Friska.

"Ini Ibu yang menginginkannya, maaf ayah tidak sanggup menolak permintaan ibu" jawab Barly sambil menundukkan kepalanya.

"Baiklah, lalu kapan ayah mau berangkat?"

"Besok pagi."

"Hah, secepat itu?" Friska sangat terkejut dan hampir saja meledak kemarahannya, namun Friska mampu mengendalikan gejolak hatinya. Ia tahu, suaminya dalam posisi yang sedang sangat tidak nyaman.

Barly memeluk Friska yang duduk disampingnya lalu mengecup kepala istrinya kembali. Friska diam seribu bahasa. Sesaat kemudian Ia beranjak. Sambil berdiri untuk pamit pada suaminya dia berkata :

"Aku, siapkan baju-baju ayah dulu ya yang mau dibawa kerumah Ibu."

Barly menarik tangan Friska agar duduk kembali.

"Temani ayah saja, tidak perlu disiapin baju-bajuku, aku sudah menatanya sendiri semuanya sudah siap."

"Bolehkah aku menangis, Yah."

Pecahlah tangis Friska. Ia tidak menyangka suaminya akan memperlakukannya seperti itu. Meninggalkannya tanpa bicara jauh-jauh hari tentang kepergiannya.

Diusapnya kepala sang istri, lalu Barly pun menghela nafas.

"Tenanglah, Cuma 2 minggu Ayah dirumah Ibu, kita akan selalu berkomunikasi lewat hp. Kita bisa vidio call nanti, jika kangen," kata Barly dengan suara yang lembut dan penuh kasih sayang.

Friska tidak sanggup menolak dan membantah kata-kata suaminya. Rasa yang berkecamuk didalam dadanya pun tidak mampu diungkapkannya. Hanya airmatanya yang terus mengalir membasahi pipi. Barly memeluk istrinya erat.

**

Keesokan pagi Barly berangakt ke Semarang. Friska mengantar sampai stasiun. Barly sengaja tidak membawa mobil sendiri, dirumah Ibunya sudah ada kendaraan jika ingin bepergian. Wajah Friska masih terlihat sendu, gejolak kesedihan menggunung dihatinya. Tetapi Ia berusaha sekuatnya untuk tidak mengekspresikannya dihadapan suaminya.

"Ayah hati-hati ya, setelah sampai di ibu kabari aku."

"iyaa.. kamu jaga sehat ya." 

Dikecupnya kening sang istri lalu masuk kedalam stasiun.

Mereka berpisah dipintu peron. Friska lalu meninggalkan stasiun selanjutnya berangkat kekantor.

Beberapa hari tanpa Barly, terasa sepi hidup Friska. Walaupun dirumah besar itu ada seorang pembantu yang menemaninya. Tetapi, tetap saja rasa kesepian terasa sekali dihari-harinya. Jika siang tidak begitu berasa, karena dikantor banyak temannya dan disibukkan oleh pekerjaan. Saat sudah dirumah dan malam telah hadir sepi itu menggelitik hatinya. Beberapa kali berusaha menelpon Barly tetapi selalu saja mendapat jawaban dari operator "nomer yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."

Chat whatshap kadang hanya diread saja. Sungguh ini membuat hati Friska bertanya-tanya. Dia merasa aneh dengan tingkah suaminya. Ada apa gerangan hingga seorang Barly yang lemah lembut, penuh kasih sayang dan memanjakannya sekarang mengabaikannya  seakan ingin lepas dari tanggungjawab dari seorang suami. Membiarkan istrinya sendirian dirumah dan kemana-mana sendiri. Friska merasakan keanehannya lagi setelah sang suami yang waktu itu pamit dua minggu ternyata mengulur waktu kepulangannya dengan alasan ibu belum mau ditinggal. Dan, saat Friska ingin menyusul ke Semarang, Barly melarangnya.

"Ada apa sebenarnya ini," batin Friska berkali-kali. 

Terkadang terbersit pikiran buruk, namun akhirnya pikiran buruk tersebut dibuangnya jauh-jauh. Ia tidak ingin berpikiran negatif terhadap suaminya. Walaupun berjauhan dengan suami sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Sangat tersiksa dan sangat kesepian. Namun, sebagai seorang istri Ia tidak ingin dianggap istri pembangkang, sehingga Ia menuruti saja apapun yang suaminya katakan. Seringkali dalam komunikasi selama mereka berjauhan terjadi pertengkaran. Hal kecilpun bisa menjadi pemicu. Friska mencoba memahami apapun yang terjadi saat ini. Ia tidak ingin semakin memperkeruh keadaan dengan mengimbangi kemarahan-kemarahan suaminya. Pernah suatu malam Friska mengirim chat lewat whatshap bertanya

Kapan pulang, Yah. 

Tidak tergerak sedikitpun suaminya membalas apalagi menenangkan hatinya. Chat hanya dibaca lalu hp di offline-kan.  Friska hanya bisa menangis dan menumpahkan semuanya kepada sang pemilik Alam.

**

Friska  duduk diteras samping rumahnya sambil membuka galeri foto dihpnya, melihat-lihat gambar bersama suaminya. Tiba-tiba ada chat whatshap masuk.

Aku pulang besok, selanjutnya nanti aku kabari lagi.

Hanya kalimat itu yang dikirim, lalu hp offline. Karena chat balasan Friska hanya centang satu.

Friska sedikit kaget dengan kalimat yang dikirim suaminya, baginya itu kalimat asing dan aneh. Bertahun-tahun bersama, Barly tidak pernah menyebut "aku" jika berkomunikasi, Dia selalu menyebut "ayah" saat mewakili dirinya. Hasrat Friska ingin bertanya banyak hal. Namun,  ditahannya. Sebab selama ini Barly selalu salah paham jika berkomunikasi dengannya. 

"Semoga nanti dapat kami selesaikan jika mas Barly pulang," batin Friska menenangkan kegundahan hatinya.

Hari yang tunggu Friska pun tiba. Sebagai seorang istri Ia ingin menyambut suaminya dengan spesial. Ia berdandan dan terlihat rapi.

"Semoga nanti kami bisa memperbaiki komunikasi yang buruk beberapa minggu ini," batin Friska dengan senyum simpul.

Bel rumah berbunyi dari balik kaca ruang tamu terlihat laki-laki yang dicintainya sudah berdiri didepan pintu. Friska bergegas membuka pintu, tersenyum, lalu membungkukkan badan melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan suaminya, sungguh sangat tidak menyangka Barly begitu dingin menyambut uluran tangannya tanpa ekspresi. Lalu, masuk tanpa menghiraukan kebingungan sang istri yang mengambil koper dari tangannya.

Barly berjalan masuk kedalam rumah, lalu naik keruang atas masuk kamar dan merebahkan tubuhnya dikasur. Friska membuntutinya, dan memandanginya seakan tidak percaya.

"Benarkan ini suamiku," batinya bertanya pada dirinya sendiri.

Akhirnya Friska membiarkan suaminya tertidur, digantinya baju yang melekat ditubuhnya pelan-pelan, seakan takut membangunkan lalu dipakaikannya piyama dan diselimutinya.  Friska duduk disofa kamar. Dipandangi wajah suaminya dengan lekat. 

"Ada apa gerangan ini?" batinnya masih saja bertanya. 

Hingga akhirnya Friska lelah dan tertidur.

Keesokan  hari, Friska bangun dengan dikagetkan suara mobili. Ia berlari keluar kamar dan memanggil sang suami dari atas balkon kamarnya.

"Ayah, yah .yah.."

Namun, Barly sedikitpun tidak menghiraukannya. Lalu Friska berlari keluar kamar menuju halaman rumah. Tetapi mobil Barly sudah pergi tanpa sepatah kata keluar dari mulut Barly untuk sekedar berpamitan kepada Friska.

Friska merasa sangat aneh dengan perubahan sikap suaminya. Tiga minggu sejak dirumah sang Ibu, menjadikan Barly begitu dingin kepadanya. Friska bertanya-tanya dalam hati,  saking penasarannya akhirnya dia mengambil hp dan menghubungi adik iparnya, Ratih. Friska menghubungi Ratih, ingin tahu apa gerangan yang terjadi dengan suaminya selama dirumah Ibunya. Banyak sikapnya yang aneh dan berubah. Namun, apa yang didapat saat Ia menghubungi sang adik? Jawabannya sungguh sangat membuat hatinya terluka.

"Pikir saja sendiri!!" ucap Ratih dengan nada tinggi, dan sambungan telepon diputus.

Friska benar-benar tidak mampu menjawab semua tanya yang berkumul dalam hati dan pikirannya. Suaminya sangat jauh berbeda. Semakin hari suasana rumahtangganya semakin seperti neraka, Barly menjadi laki-laki kasar yang gemar membanting perabotan rumah saat marah. Nada bicaranya selalu tinggi, kata - kata makian selalu keluar dari mulutnya . Friska sangat tidak mengenalnya lagi, merasa asing dengan suaminya. Setiap pagi bangun tidur suaminya selalu gelisah. Sering sekali tidak pulang dengan alasan kerumah ibunya. Berkali-kali Friska mencoba mencari tahu tetapi selalu gagal dan tidak pernah ada hasil, hanya pertengkaran yang terjadi. Akhirnya Friska pun mengalah, diam dan bersabar.

**

Dua tahun berlalu, rumahtangganya masih bak neraka. Tidak ada kedamaian dan kemesraan seperti tujuh tahun lalu. Barly kasar dan menjadi pemarah. Friska berkali-kali mencari tahun tentang keadaan yang terjadi kepada keluarga suaminya tetapi tak satupun jawaban yang mengenakkan didapatnya, hingga akhirnya Friska menyerah.

Untungnya Friska memiliki pekerjaan sehingga dia bisa menyibukkan diri kegalauan rumahtangganya tidak buatnya larut. Hingga pada sutu hari, sang suami memberitahukan bahwa mereka harus segera ke Semarang.

"Ayah, ada apa Ibu menyuruh kita pulang segera?" tanya Friska.

"Sudah tidak perlu banyak tanya pacing saja baju-baju kita dan nanti sore kita berangkat," sahut Barly dingin dan tanpa eksprsi.

"Baiklah."

"Astagfirullahhaladhim..suamiku benar-benar berubah" batin Friska.

Bergegas Friska naik keruangan atas dan menyiapkan segala keperluannya untuk pulang ke Semarang .  

Perjalanana ke Semarang bagi Friska seperti dalam ruangan pengap dalam mobilnya. Padahal mobil yang dibawa suaminya cukup nyaman, Barly diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Tidak ada kata sepatah atau senyum tersungging dibibirnya.

Delapan jam kemudian mereka sampai kediaman sang ibu.  Barlypun masih tetap dingin dan datar. Friska mencoba bersabar dan berusaha bersikap wajar, agar tidak terbaca oleh keluarga bahwa mereka bermasalah. Walaupun padadasarnya hatinya menjerit, namun apalah daya Ia harus memendam semuanya agar tidak terjadi ledakan yang dahsyat.

Koper baju dibongkar, baju-bajunya dirapikan,   dimasukkan kedalam lemari yang ada didekat  dipan kamar. Suami Friska tiduran diatas dipan dengan terlentang. Friska sedikitpun tidak mengusiknya. Friska tidak ingin suasana malam ini tidak nyaman dirumah sang ibu. Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Friska beranjak lalu membukakan pintu kamar. Tampak wajah Ratih didepannya dengan ketus dia mengutarakan maksudnya:

"Kalian disuruh kebawah ada yang ingin ibu kenalkan dan bicarakan sama kamu," sambil berlalu dari kamar Friska.

Sang suami bangun dan duduk bersila lalu berkata:

"Tidak usah keluar, biarkan ibu yang datang kekamar kita, jika beliau ingin membicarakan sesuatu."

Friska diam lalu duduk disofa. Barly tetap duduk diatas ranjang kamar sambil menegangi kepalanya entah apa yang dirasakannya. Sesaat kemudian ada suara langkah menuju  arah kamar. Pintu tidak terkunci, ternyata ibu yang datang dengan seluruh keluarga dan seorang wanita sebayanya yang dia tidak mengenalnya dan belum pernah melihatnya.

Barly terkejut, Ia tidak menyangka jika ibunya akan mendatangi kamarnya dengan keluarga besarnya dan juga Serly.

"Apa yang kalian lakukan dikamarku" suara Barly meninggi dan bergetar.

Friska terperangah, Ia tidak pernah melihat suaminya semarah itu.

Lalu ibu, Ratih, bulik dan perempuan sebayanya duduk didekat Friska. Mereka tidak menghiraukan kemarahan Barly. Lalu sang ibu membuka pembicaraan.

"Friska, kenalkan ini Serly."

Friska menyalami perempuan yang ditunjuk Ibu mertuanya.

"Serly" sambil mengulurkan tangan kepada Friska.

Friska menerimanya mereka berjabat tangan.

Kemudian kamar hening, lalu terdengan suara Ibu

"Friska, ini adalah Serly, aku perkenalkan ke kamu dan sekaligus ku beritahukan bahwa dia adalah calon istri Barly. Kamu setuju atau tidak, kami tidak butuh pendapatmu. Dan, jika kamu tidak senang dimadu silakan ajukan gugatan perceraian."

Ucapan ibu bagaikan halilintar menyambar dengan kilatan dahsyat, teliga Friska seakan-akan tersumpat bara. Dadanya bergemuruh, tangannya gemetar. Keringat dingin terasa membasahi bajunya. Friska tak sangggup berkata-kata. Tiba-tiba terdengar teriakan dan kaca almari pecah berserakan. Tangan Barly berdarah. Bergegas Friska bangkit dan membalut tangan suaminya dengan handuk yang ada didekatnya. Serly pun mendekati Barly dan Friska didorong sambil mengambil tangan Barly. Barly menepis tangan Serly. Friska menahan amarah dan segala rasanya. Mencoba menata hatinya dan memandangi suaminya yang tepekur dipinggir ranjang  duduk dilantai tanpa memperdulikan  serakan pecahan kaca almari, terlihat jelas Barly tidak berdaya atas perlakuan ibunya. Lalu Friska mendekati suaminya, dan memeluknya.

"Tenanglah, Yah, semaunya akan baik-baik saja. Tenanglah, Bunda tidak akan marah dan tidak akan terluka," ucapnya setegar mungkin walaupun dengan suara yang bergetar menahan sakit hatinya yang amat sangat.

Suasana hening kembali. Barly menundukkan kepalanya dibahu sang istri, Friska merasakan baju dipahanya basah, airmata suaminya menetes tanpa isak.

"Jadi, saya dipanggil kesini hanya untuk dipermalukan dan disakiti oleh kalian?" gumana Friska.

"Kamu, harus terima sudah hampir 8 tahun kami menunggu dan menerimamu dengan baik, karena Barly berkeras menikahimu tetapi apa yang kami tunggu tidak kunjung kamu berikan. Kamu wanita mandul yang tidak tahu diri," suara ibu mertua meninnggi seakan ingin menelan Friska.

Seketika Barly bangkit dan mengangkat meja didepan buliknya lalu dibanting hingga berantakan.

"Ibuuuu!!" teriak Barly.

"Jangan membentak Ibu, Yah," guman Friska sambil mendekat dan memeluknya dari belakang, ia mencoba menenangkan suaminya dan hatinya sendiri.

"Berteriaklah sepuasmu, Barly. Tapi ingat, persiapannya sudah matang dan kamu harus menurut kata ibu!!" suara sang ibu masih meninggi.

Barly berdiri mematung dengan dipeluk Friska dari belakang yang mencoba menenangkannya.

"Ibu, Ibu tidak perlu kwatir Mas  Barly tidak akan membantah perintah Ibu, saya akan menjamin Mas Barly menuruti perintah Ibu," ucap Friska dengan suara mantap. Barly tidak mampu berkata apapun.

"Baguslah, Itu yang terbaik daripada hidup dengan wanita mandul tidak berguna," sahut sang Ibu.

Ruangan kembali hening.

"Jika sudah selesai silakan kalian tinggalkan kami," Suara Barly bergetar menahan amarah yang sudah tidak sanggup lagi diluapkan.

Kemudian Ibu, bulik Rum, Ratih dan Serly meninggalkan kamar. Barly memeluk istrinya erat. Tanpa kata-kata mereka saling meluapkan kesedihan masing-masing,  hati Friska hancur berkeping-keping.  Friska mencoba tegar dan membalas pelukan suaminya.

**

Dua hari lagi pernikahan Barly diadakan. Sang ibu sudah menyiapkannya dengan penuh kebahagiaan tanpa mempertimbangkan perasaan Friska.  Friska masih tetap tinggal dirumah besar milik mertuanya. Menemani sang suami yang akan melangsungkan pernikahannya. Friska memandang suaminya yang semakin hari terlihat semakin kurus dan pucat.  Terlihat ketidak berdayaannya, Friska benar-benar terenyuh dan kasihan melihatnya. Dipeluknya sang suami dengan perasaan yang tidak karuan, antara sedih, kecewa dan juga kasihan. Tiba-tiba suaminya menangis dipelukannya, seperti anak kecil yang berlindung kepada ibunya. Friska makin erat memeluknya.

"Bunda, benarkah bunda pernah berzina dengan Arman waktu Ayah dirumah ibu?" tanya Barly tanpa sanggup memandang wajah istrinya.

Betapa terkejutnya Friska mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang yang dicintainya. Friska seketika melepaskan pelukannya, namun Barly mendekapnya lebih erat sehingga Friska tidak mampu bergerak. Tangannya memukul punggung Barly, ingin rasanya Friska mencakar wajah Barly dan menampar mukanya. Tetapi , Friska tidak bisa melakukan itu. Setelah tertata hatinya ia menghela nafas.

"Siapa yang begitu kejam membuat fitnah kepadamu, Yah, hingga Ayah tega mengatakan hal keji kepadaku?" Jawab Friska.

"Ibuku, bulik Rum dan Ratih yang mengatakan kepadaku, ayah tidak sanggup untuk menanyakan atau menegurmu, hingga ayah banyak menyakitimu kemarin.kemarin," ucap Barly tanpa melepaskan dekapannya.

Friska menangis lagi. 

"Betapa kejamnya fitnah ini, Yah, Bunda bersumpah demi malaikat pencabut nyawaku, Bunda tidak pernah melakukan apa yang dituduh mereka itu kepadaku," ucap Friska dengan masih tersedu.

Barly memeluk istrinya erat seakan tidak ingin dilepaskan. Friska sampai merasakan sesak didadanya.

"Bunda, kurus sekali," ujar Barly lembut.

"Bunda, bukannya kurus yah, ini seksi" sahut Friska disela tangisnya.

Kemudian keduanya saling berpelukan, seakan baru saling bertemu setelah bertahun berpisah

Barly bangun dipandangi istrinya yang sudah terlelap. Jam dinding menunjukkan jam 21.00, lalu diraihnya hp yang tergeletak  diatas meja. Ia mencari kontak lalu dipencet nomer yang sudah tertera dilayar hp.

"Hallo, bagaimana kabar selanjutnya?  Apakah sudah ada hasilnya?" suaranya dipelankan seakan takut terdengar dan membangunkan istrinya

Suara dari sebrang menjawab, kemudian Barly mengambil kertas dan alat tulis.

"Ya, saya sudah siap sebutkan alamatnya," lanjut Barly.

"The Rich Hotel Jogjakarta, jalan Magelang km 6 nomer 18."

"Kamar nomer berapa?"

"Ok." 

Kemudian hp ditutup. Barly turun dari ruangannya. Dilihatnya ibu dan saudara perempuanya masih menonton tivi

"Kebetulan," gumannya.

"Ibu, Ratih mari kita siap-siap ikut ke Jogja. Aku ingin merayakan kebahagianan kalian dengan menginap di Hotel Rich Jogjakarta" ajak Barly lembut.

"Mengapa mendadak begini, mas?" sahut Ratih

"Iya, kok mendadak sekali," sang Ibu menimpali perkataan Ratih.

"Iya, ini hadiah dari seorang teman dan harus malam ini dengan besok digunakannya, jangan lupa telpon bulik Rum agar menemani Ibu, Ratih. Aku siap -- siap ke atas. Setengah jam lagi kita berangkat," kata Barly sambil kembali ke kamar.

Dikamar ia membangunkqn istrinya dan menyuruhnya berkemas, pertanyaan Friska tidak digubrisnya.

"Bawa seperlunya saja, yang paling penting. Tidak usah repot membawa baju atau yang lainnya, nanti kita bisa belanja disana," ujar Barly.

Setengah jam kemudian semua sudah siap. Mobil melaju menembus malam yang pekat menuju Jogjakarta. Perjalanan dari Semarang ke Jogjakarta tertempuh 3 jam. Barly langsung masuk lokasi yang sudah disebutkan oleh orang yang ditelponnya.

Dilobi Barly sudah ditunggu oleh 5 orang laki-laki. Kemudian, mereka menuju kamar nomer 301 clas exsecutive.

"Mengapa ramai sekali, ly?" tanya ibu.

"Tenang, nanti kalian paham," ucap Barly sambil menggandeng istrinya.

Petugas resepsionis, lima orang laki-laki yang bertemu di lobby, Ibu, Ratih, Bulik Rum, Friska dan Barly sudah didepan  pintu kamar yang dituju.

Tok...tok..tok ...pintu diketuk.

Beberapa saat kemudian pintu terbuka, muncul oleh seorang laki-laki yang hanya memakai celana pendek.

"Selamat malam, saya Barly ingin bertemu Serly apakah bisa?"  tanya Barly kepada laki-laki yang membukakan pintu kamar.

"Ada urusan apa kalian ramai-ramai datang ke kamar saya?" sahutnya tanpa memperdulikan pertanyaan Barly.

Suasana didepan pintu agak tegang, terdengar suara seorang perempuan dari dalam kamar berkata:

"Siapa itu, mas?"

"Entah mereka mencarimu, sayang."

Terdengar langkah kaki menuju pintu, lalu seraut wajah cantik menyembul dari balik pintu.

Serempak suara perempuan  didepan  pintu berteriak kompak menyebut sebuah nama

"Serlyy...."

Perempuan yang menyembulkan wajahnya sangat terperangah pucat pasi rautnya, lalu berusaha menutup pintu kamar. Namun, para laki-laki  yang didepan pintu ternyata sudah mengantisipasinya. Sehingga pintu kamar hotel tidak bisa ditutup dari dalam.

"Apa-apaannn ini " teriakan histeris Ibunya Barly menggaduhkan lokasi hotel.

Entah apa yang mereka lakukan didalam kamar yang digunakan Serly dengan kekasihnya menginap, padahal dua hari lagi akan menikah dengan Barly.

Barly memeluk istrinya erat lalu mencium keningnya. Friska membalas pelukan suami tanpa banyak kata. Ia menangis dipelukan suaminya.

"Sudah jangan menangis, semuanya sudah berakhir, Ayah mencintaimu, Nda," bisik Barly lembut.

"Akhirnyanya matahariku kembali bersinar, walaupun teriknya sempat sangat menyengat hatiku," ujar Friska memeluk erat sang suami.

"Ayah, sudah pesan kamar disini. Kita bermalam dan mari berbulan madu".

Tamat.

Wonosobo: Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun