Lalu ibu, Ratih, bulik dan perempuan sebayanya duduk didekat Friska. Mereka tidak menghiraukan kemarahan Barly. Lalu sang ibu membuka pembicaraan.
"Friska, kenalkan ini Serly."
Friska menyalami perempuan yang ditunjuk Ibu mertuanya.
"Serly" sambil mengulurkan tangan kepada Friska.
Friska menerimanya mereka berjabat tangan.
Kemudian kamar hening, lalu terdengan suara Ibu
"Friska, ini adalah Serly, aku perkenalkan ke kamu dan sekaligus ku beritahukan bahwa dia adalah calon istri Barly. Kamu setuju atau tidak, kami tidak butuh pendapatmu. Dan, jika kamu tidak senang dimadu silakan ajukan gugatan perceraian."
Ucapan ibu bagaikan halilintar menyambar dengan kilatan dahsyat, teliga Friska seakan-akan tersumpat bara. Dadanya bergemuruh, tangannya gemetar. Keringat dingin terasa membasahi bajunya. Friska tak sangggup berkata-kata. Tiba-tiba terdengar teriakan dan kaca almari pecah berserakan. Tangan Barly berdarah. Bergegas Friska bangkit dan membalut tangan suaminya dengan handuk yang ada didekatnya. Serly pun mendekati Barly dan Friska didorong sambil mengambil tangan Barly. Barly menepis tangan Serly. Friska menahan amarah dan segala rasanya. Mencoba menata hatinya dan memandangi suaminya yang tepekur dipinggir ranjang  duduk dilantai tanpa memperdulikan  serakan pecahan kaca almari, terlihat jelas Barly tidak berdaya atas perlakuan ibunya. Lalu Friska mendekati suaminya, dan memeluknya.
"Tenanglah, Yah, semaunya akan baik-baik saja. Tenanglah, Bunda tidak akan marah dan tidak akan terluka," ucapnya setegar mungkin walaupun dengan suara yang bergetar menahan sakit hatinya yang amat sangat.
Suasana hening kembali. Barly menundukkan kepalanya dibahu sang istri, Friska merasakan baju dipahanya basah, airmata suaminya menetes tanpa isak.
"Jadi, saya dipanggil kesini hanya untuk dipermalukan dan disakiti oleh kalian?" gumana Friska.