Namun, di sini kita hanya akan menyimpulkan secara sederhana bahwa nenek moyang orang Palembang awalnya merupakan orang-orang sungai (dan bukan semata dalam artian “hidup di bantaran sungai”) - yang karenanya juga, pada masa itu banyak yang terlatih dalam pertempuran di perairan.
Tentu, kesimpulan ini dengan catatan: orang-orang yang ditemui oleh shifu Ma Huan adalah benar nenek moyang orang Palembang saat ini. Lebih lanjut, keberadaan rumah-rumah "rakit" ini sendiri bukan saja terbilang wajar tetapi juga dibutuhkan di tempat yang, menurut artikel Rumah Rakit dari situs Warisanbudaya.kemdikbud.go.id, memiliki lebih dari 100 sungai dan anak sungai.
Dengan alasan yang sama, catatan Belanda pada awal abad ke-19 menyebut Palembang sebagai Venesia Dari Timur.
Dari keterangan-keterangan yang kita dapatkan secara daring inilah, kita dapat menyimpulkan bahwa sebelum orang-orang Palembang “naik” dan bermukim di daratan, nenek moyang orang Palembang (kemungkinan) datang dan hidup di sungai(-sungai) dengan memanfaatkan rumah-rumah rakit – yang memudahkan mereka untuk berpindah-pindah tempat.
Entah kapan berakhirnya masa dari rumah-rumah ini, yang pasti, situs Warisanbudaya.kemdikbud.go.id menyebutkan bahwa: “perubahan pola pikir manusia dan keterbatasan bahan-bahan untuk membuat Rumah Rakit, jumlah Rumah Rakit semakin hari semakin sedikit”.
Lebih lanjut, keterangan dalam artikel pada situs tersebut juga menerangkan bahwa eksistensi Rumah Rakit semakin terancam dengan stigma: kehadiran rumah-rumah rakit menjadi sumber pencemaran dan simbol kekumuhan sungai.
Semua alasan yang menyudutkan Rumah Rakit ini bisa jadi benar adanya pada masa ini, tetapi pada awalnya rumah-rumah ini sebetulnya sangatlah bermanfaat bagi nenek moyang orang Palembang yang tinggal di wilayah yang memiliki banyak sungai-sungai. Keterangan lebih detail dapat dilihat pada artikel bertajuk Rumah Rakit dalam situs Warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Di sini, penulis semata ingin menunjukkan bahwa teknologi informasi, atau bahkan teknologi-teknologi lainnya, sebetulnya sudah cukup maju jika mau dimanfaatkan untuk melihat kebenaran dari keterangan sejarah yang kita temukan – di sini, khususnya secara daring.
Majapahit dan Suvarnabhumi
Selain contoh di atas, contoh lain yang mungkin berhubungan langsung dengan pembahasan, adalah jika kita mau membandingkan antara informasi-informasi yang kita temukan terkait topik yang sama – di mana mendapatkan informasi-informasi ini sendiri sulit dilakukan tanpa koneksi dalam jaringan (daring).
Dalam catatan kaki Mr. Mills, contohnya, beliau menyatakan bahwa "Jawa (yang disebutkan menguasai Palembang pada saat itu), yaitu (kerajaan) Majapahit, di mana penguasanya (atau rajanya) menduduki Palembang pada 1377 dan, menurut Sejarah Melayu, mengklaim hak untuk bertahta hingga setidaknya 1459" - keterangan ini beliau dapatkan dari Sejarah Melayu versi (CC) Brown (sumber beliau: halaman 82).
Namun, kita tahu sekarang bahwa yang diduduki/dikuasai oleh Jawa pada saat itu sebetulnya bukan (hanya) Palembang, melainkan San-bo-tsai (San Fo-ch’i) – yang di dalamnya juga termasuk Jambi, atau yang beliau identifikasi sebagai Sriwijaya.