Dalam penjelasannya, catatan sejarah Cina menerangkan bahwa, setelah peristiwa tersebut, San-bo-tsai perlahan menjadi lebih miskin dan tidak lagi membawa persembahan untuk kaisar Cina (hal. 69) – setidaknya hingga saat Liang Tau-ming, orang yang dipilih oleh orang-orang Cina di San-bo-tsai (pada saat ini masih di Jambi), dipanggil oleh kaisar Cina untuk menghadap di sekitar tahun 1405 (hal. 71).
Keterangan yang hampir sama dinyatakan kembali pada akhir catatan dinasti Ming yang menjelaskan bahwa semenjak pendudukan Jawa, San-bo-tsai perlahan/bertahap (gradually) menjadi lebih miskin dan hanya sedikit kapal dagang yang (saat itu) singgah ke tempat ini (hal. 73).
Keterangan ini tampaknya berkaitan dengan keterangan akhir dalam catatan Tung Hsi Yang Káu (1618) yang menyatakan bahwa: San-bo-tsai tadinya dikenal sebagai tempat yang makmur, tetapi sejak pendudukan Jawa (Majapahit), ibu kota (lama) telah ditinggalkan dan hanya beberapa pedagang yang datang ke tempat itu pada saat catatan ini dibuat. Keterangan terkait perpindahan ibu kota ini juga yang kembali menerangkan kepada kita bagaimana pada akhirnya ibu kota kerajaan San-bo-tsai berpindah ke Palembang.
Dari keterangan-keterangan yang ada, kita sesungguhnya dapat memperkirakan bahwa awal keruntuhan San-bo-tsai/San Fo-ch’i/Sriwijaya, setidaknya menurut sudut pandang catatan sejarah Cina, dimulai dari sekitar tahun 1377 atau sekitar 647 tahun yang lalu - sekali lagi, saat yang bersamaan dengan pendudukan Suvarnabhumi oleh Maharaja Prabu Hayam Wuruk. Dan, sebagaimana yang telah penulis nyatakan dalam artikel sebelumnya, (salah satu) imbas dari keruntuhan ini, sebagaimana tercermin dalam keterangan catatan Tung Hsi Yang Káu (1618), orang-orang Jambi (men of Djambi) tidak lagi dikenali sebagai bagian dari orang-orang Ku-kang, yang saat itu sudah semata diidentikkan dengan Palembang – dan bukan sebagai kerajaan yang, awalnya, ibu kotanya justru mengarah ke Chan-pi (Jambi).
Hubungan Palembang-Jawa
Sedikit catatan tambahan dari keterangan shifu Ma Huan, beliau menyebutkan bahwa budaya dan kebiasaan, adat pernikahan dan pemakaman, bahkan bahasa orang-orang Palembang sama dengan orang-orang Jawa (Groeneveldt, hal. 74) – Mr. Mills menambahkan bahkan hingga minuman, makanan, pakaian, dan hal-hal lainnya sama dengan orang-orang “Chao-wa” atau Jawa (hal. 99). Contoh yang bisa diberikan, setidaknya dalam hal bahasa, dapat ditemukan pada tulisan Tome Pires: Suma Oriental (The Suma Oriental of Tomé Pires And The Book of Francisco Rodrigues).
Pada catatan penjelajah Portugis yang ditulis pada abad 1512-15 (hal. xiii) ini, terdapat penyebutan "Parameswara" (Paramjçura). Senhor Pires menjelaskan bahwa kata ini bermakna "manusia (laki-laki) paling berani" (The bravest man) dalam bahasa Jawa-Palembang (Palembang Javanese tongue - hal. 231).
Penyebutan bahasa Jawa-Palembang pada abad ke-16 ini, jika dihubungkan dengan keterangan shifu Ma Huan terkait kesamaan bahasa antara Jawa dan Palembang sekitar 100 tahun sebelumnya, sebenarnya menunjukkan perubahan yang terjadi - tetapi setidaknya tetap masih dapat menunjukkan hubungan kebahasaan yang ada di antara kedua suku sekitar 509 tahun yang lalu.
Dari keterangan-keterangan yang telah diberikan, entah apa yang terjadi dalam kurun waktu sekitar 608 tahun sejak catatan itu diterbitkan, pada masa ini kita tahu bahwa orang Palembang dan orang Jawa adalah dua kelompok orang atau suku yang cukup berbeda. Tetapi pada suatu masa, berdasarkan keterangan dari catatan Ying-yai Sheng-lan (Yingya Shenglan), orang-orang ini sebetulnya merupakan orang-orang yang sama secara adat, budaya, atau kebiasaan.
Keterangan terkait kesamaan antara orang-orang Jawa dan Palembang ini kembali mengantarkan kita pada “hubungan” antara keduanya – yang, pada akhirnya, sebetulnya turut menghubungkan antara orang-orang Jambi (sebagai keturunan dari orang-orang kerajaan San-bo-tsai) dan orang-orang Jawa. Dapatkah kita katakan bahwa: walau pada saat ini budaya, kebiasaan, bahkan bahasa orang-orang ini tidak lagi sama, pada masanya orang-orang ini sebetulnya adalah "kaum" yang sama?
Keterangan-keterangan yang kita temukan juga diam-diam memberikan “sinyal” bahwa, walau negara ini diproklamasikan berdiri pada tahun 1945, cikal bakal negara ini sebetulnya bisa ditarik jauh hingga (setidaknya) sekitar 1000 tahun sebelum negara ini berdiri – tentu dengan dinamika politik, pergeseran peta kekuasaan, bahkan perpindahan wilayah yang sudah seharusnya atau sewajarnya terjadi dalam aliran sang waktu.