Pertanyaannya tentu: apakah kemajuan teknologi ini tidak dapat membantu kita untuk menyibakkan misteri-misteri yang ada di masa lalu? Satu contoh nyata sederhana yang bisa penulis berikan di sini adalah keterangan shifu Ma Huan terkait keberadaan “rumah (ter)apung”.
Dalam catatannya, shifu Ma Huan menyebutkan tentang rumah-rumah terapung (houses on raft/on wooden rafts) yang diikatkan di tiang-tiang (versi Mr. Mills: diikatkan ke daratan dengan tali-tali dan tongak-tonggak).
Hal ini disebabkan wilayah yang ditempati oleh orang-orang Palembang, atau setidaknya wilayah yang dikunjungi oleh shifu Ma Huan, pada saat itu lebih banyak perairan dibandingkan daratan. Jadi, saat air naik (pasang), rumah-rumah mereka tidak hanyut terbawa air.
Dan juga sebaliknya, saat orang-orang ini hendak pindah dari satu tempat ke tempat lain, mereka hanya tinggal melepaskan tiang-tiang atau pancang-pancang dari tempatnya – sehingga mereka bisa berpindah beserta dengan rumah mereka. Pertanyaannya sampai sini, tentunya, adalah: seperti apa rumah-rumah ini?
Entah apakah hal ini dapat kita ketahui dengan mudah pada masa-masa pra-internet, yang pasti, saat ini kita mampu mendapatkan acuan terkait bentuk rumah tersebut dengan menggunakan teknologi informasi yang kita miliki.
Dalam situs Wikipedia: Suku Palembang, contohnya, terdapat informasi mengenai “Rumah Rakit”. Rumah Rakit ini bahkan telah disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Dan entah apakah rumah yang disebutkan oleh shifu Ma Huan serupa dengan Rumah Rakit yang ada pada laman Wikipedia, yang pasti foto-foto yang ada dalam laman-laman itu setidaknya dapat memberikan kita gambaran tentang “rumah (ter)apung” yang diceritakan oleh shifu Ma Huan dalam catatannya:
Berdasarkan catatan shifu Ma Huan, rumah-rumah seperti inilah yang beliau lihat saat beliau berkunjung ke Palembang pada sekitar tahun 1416 – yang, karenanya, rumah-rumah terapung seperti ini telah ada di Palembang lebih dari 608 tahun yang lalu.
Lebih lanjut, beliau juga mencatat bahwa selain rumah-rumah para pemimpin (chiefs) yang berada di tepian sungai, rakyat jelata semuanya tinggal di rumah-rumah rakit. Rumah-rumah ini sendiri, dari keterangan catatan tersebut, berada di sungai-sungai yang memiliki dua siklus air pasang setiap harinya (Groeneveldt, hal. 74) – Mr. Mills menambahkan: pada siang dan malam hari (hal. 99).
Keterangan terkait siklus air pasang sungai ini sebetulnya juga menarik untuk dicermati, sebab keterangan tentang pasang yang terjadi dua kali dalam sehari ini bisa jadi mengindikasikan suatu lokasi spesifik - jika tidak semua sungai di Palembang atau bahkan tidak semua sungai di Sumatra mengalami waktu pasang-surut yang sama.