Satu hal yang menarik dari (muara) sungai Batang Hari di Jambi adalah keberadaan pulau-pulau di muaranya. Keberadaan pulau-pulau di muara “sungai” (yang jelas mengindikasikan “air tawar”) ini sebetulnya menarik untuk dicermati sehubungan dengan penyebutan Tan-chiang atau Tan-kang – yang secara harfiah juga bermakna “muara atau sungai air tawar”: apakah shifu Ma Huan sebetulnya menjelaskan arah masuk ke sungai Musi dari muara sungai Batang Hari di Jambi?
Kesimpulan ini jelas bukan tanpa alasan, sebab sungai Batang Hari seharusnya merupakan sungai yang telah lama dikenal oleh orang-orang Cina yang berlayar ke nusantara - yang karenanya sungai ini disebut “Sungai Tua” (Ku-kang), sebelum Ku-kang berpindah ke Palembang.
Hal ini sebetulnya sesuai dengan kesimpulan yang dibuat oleh meester Groeneveldt, walau beliau salah mengidentifikasi sungai ini sebagai sungai Musi (hal. 76). Lalu, apakah Tan-chiang atau Tan-kang sesungguhnya mengarah pada muara sungai Batang Hari – khususnya pulau-pulau tersebut?
Untuk menjawab hal ini, kita jelas membutuhkan bukti-bukti – dan, sayangnya, penulis tidak dapat menunjukkan bukti-bukti tersebut.
Yang pasti, jika Tan-chiang atau Tan-kang memang mengarah pada muara sungai Batang Hari, khususnya pulau-pulau itu, mungkin masih terdapat bekas-bekas peninggalan lokasi persinggahan jaman dahulu di pulau-pulau ini - sekali lagi: mungkin...
Walau masih (akan sangat) sulit untuk dapat menemukan jejak-jejak peninggalan sebagai suatu “bukti” yang seharusnya ada, catatan sejarah Cina sendiri sebetulnya cukup jelas dalam menerangkan hal-hal yang semestinya ditemukan dalam menentukan letak wilayah-wilayah bersejarah ini.
Salah satu contohnya, kapal-kapal yang menuju Palembang, diceritakan akan ditambatkan (di suatu lokasi) di Selat Bangka – dekat dengan tempat di mana terdapat menara-menara (pagoda-pagoda) yang terbuat dari (batu) bata.
Keterangan ini yang sesungguhnya justru mengantarkan kita pada muara sungai Musi yang berada di Selat Bangka – di mana, dari tempat ini, perjalanan akan dilanjutkan dengan perahu-perahu kecil ke ibu kota (Palembang).
Jika benar lokasi yang terletak di Selat Bangka ini merupakan muara sungai Musi, seharusnya, temuan dari (bekas-bekas) menara-menara atau pagoda-pagoda dari batu bata yang disebutkan dalam catatan tersebut akan menjadi “bukti” dari keterangan yang diberikan oleh shifu Ma Huan – jika peninggalan ini memang masih dapat ditemukan, tentunya.
Temuan-temuan ini, katakanlah; jika memang masih ada, akan sangat penting untuk ditemukan, sebab temuan-temuan tersebut bukan saja akan membenarkan keterangan-keterangan yang diberikan dalam catatan shifu Ma Huan – tetapi juga akan menceritakan sejarah Indonesia yang terlupakan. Namun, apakah peninggalan-peninggalan seperti ini masih dapat ditemukan?
Sejujurnya, penulis jelas tidak mengetahui apakah peninggalan-peninggalan yang disebutkan masih dapat ditemukan atau tidak. Hanya saja, satu hal yang mungkin harus kita ingat adalah: kemajuan teknologi yang saat ini kita miliki sudah sangat berbeda dengan teknologi-teknologi pada abad-abad sebelumnya.