Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

SIBBuK (Bag. 5): Palembang dalam Catatan Ma Huan (Yingyai Shenglan)

3 Juli 2024   00:54 Diperbarui: 27 November 2024   17:50 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar tampak depan buku versi Mr. JVG Mills - Dokpri

Catatan sejarah Cina tentang San-bo-tsai, setidaknya sebagaimana yang dikumpulkan oleh meester  Willem Pieter Groeneveldt dalam buku Notes on the Malay Archipelago and Malacca, sebetulnya selalu mengarah ke Jambi dan bukan Palembang – khususnya sebagai ibu kota lama. 

Dari pertama nama ini disebutkan pada catatan sejarah dinasti Sung (Song; 960-279) hingga catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III (1618), narasinya selalu mengarah pada Jambi dan orang-orangnya. 

Bahkan, sebutan untuk Palembang, yaitu “Ku-kang”, pada awalnya sangat mungkin diberikan untuk sungai Batang Hari yang terletak di Jambi sebagai “Sungai Tua” (arti dari nama Ku-kang) dan bukan sungai Musi – sebagaimana yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya.

Pun demikian, nama ini lalu kemudian digunakan untuk merujuk pada ibu kota baru kerajaan San-bo-tsai, yaitu Palembang (P’o-lin-pang), seiring dengan terjadinya perpindahan ibu kota. 

Penggunaan nama “Ku-kang” untuk ibu kota baru kerajaan San-bo-tsai ini yang kemungkinan menjadi dasar kesalahpahaman bahwa San-bo-tsai, yang juga diidentikkan dengan Sriwijaya, dianggap selalu berada di Palembang – dan bukan, pada awalnya, berada di Jambi. 

Tentu, pertanyaan menariknya, di sini, adalah: mengapa hal ini dapat terjadi?

Sejujurnya, sulit rasanya menjawab secara pasti mengapa para sejarawan Cina di masa lalu menganggap bahwa San-bo-tsai, yang lalu kemudian berganti nama menjadi Ku-kang, selalu berada di Palembang – sebagaimana yang dinyatakan oleh meester Groeneveldt (hal. 60) dan juga sensei Takakusu (hal. xliv) dalam buku mereka. 

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, penulis telah menjabarkan bahwa pergantian nama dan perpindahan ibu kota tampaknya memiliki peran penting dalam kesalahpahaman yang terjadi.

Namun, kedua peristiwa yang tidak terjadi secara bersamaan ini seharusnya tidak menghasilkan kesalahpahaman identifikasi yang terbilang fatal, sebab catatan sejarah Cina sendiri terbilang “rapi” (teratur) dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi – termasuk memberikan jeda waktu penjelasan antara pergantian nama dengan perpindahan ibu kota. Lalu, sekali lagi, mengapa kesalahpahaman dapat terjadi?

Jika kita melihat ke dalam catatan sejarah Cina yang disusun oleh meester Groeneveldt dalam bukunya, narasi penceritaan kerajaan San-bo-tsai yang selalu bercerita tentang wilayah dan orang-orang Jambi sebetulnya sempat mengalami pergeseran tempat penceritaan. Hal ini terjadi dalam catatan shifu Ma Huan: Ying-yai Sheng-lan yang bertarikh 1416.

Jika catatan-catatan sejarah Cina tentang kerajaan San-bo-tsai sebelum catatan shifu Ma Huan selalu bercerita tentang Jambi dan bahkan catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III (1618), atau catatan yang ditulis 202 tahun setelah Ying-yai Sheng-lan, masih bercerita tentang orang-orang Jambi (men of Djambi), catatan Ying-yai Sheng-lan secara khusus bercerita tentang Palembang dan orang-orangnya. Dan, sebab catatan tentang Palembang dan orang-orangnya ini berada di antara catatan-catatan yang sebenarnya sedang bercerita tentang Jambi, secara logis, sulit rasanya tidak mengaitkan kesalahpahaman terkait letak kerajaan San-bo-tsai dengan catatan ini.

 Karenanya, mungkin saja kita bisa mendapatkan suatu “pencerahan” jika kita melihat ke dalam catatan tersebut.

Keterangan-keterangan berikut penulis dapatkan bukan saja dari buku meester Groeneveldt, tetapi juga dari buku Mr. John Vivian Gottlieb (JVG) Mills yang menerjemahkan buku yang sama ke dalam bahasa Inggris. 

P’o-lin-pang

Hal yang pertama-tama mungkin harus dimengerti terkait catatan shifu Ma Huan adalah: beliau merupakan orang yang mendatangi langsung kerajaan San-bo-tsai (San Fo-ch’i) yang telah berganti nama menjadi "Ku-kang". Yang karenanya, dalam catatannya, beliau menjabarkan (mendeskripsikan) tempat-tempat yang beliau kunjungi. Shifu Ma Huan sepertinya memang sengaja melakukan pengamatan (observasi/survei) terkait tempat-tempat di luar wilayah laut Cina - di sini, terutama, di selatan laut Cina.

Mr. John Vivian Gottlieb (JVG) Mills, dalam menerjemahkan catatan shifu Ma Huan, menerjemahkan “Ying-yai Sheng-lan” menjadi “The Overall Survey of the Ocean’s Shores” (1970) – yang berbeda dari versi meester Groeneveldt: “General Account of the Shores of the Ocean”. Mr. JVG Mills menjabarkan beberapa versi penerjemahan judul ini dalam buku beliau pada bagian kata pengantar (hal. xi-xii).

Dalam buku ini, versi Mr. Mills, kita dapat melihat hubungan antara San-bo-tsai (San Fo-ch’i) dengan Sriwijaya – di mana beliau menyatakan bahwa bentuk lengkap dari San-bo-tsai, yaitu (San) Fo-ch’i-hu, merupakan transliterasi yang cukup baik dari nama “Vijayo” (bentuk lain dari Sri Vijaya: Sri Vijayo – hal. 98). Tetapi, kita tidak akan membahas tentang hal ini, sebab di sini kita hanya akan melihat bagaimana kesalahpahaman mengenai letak San-bo-tsai kemungkinan datang dari kesalahpahaman dalam memahami penjelasan shifu Ma Huan tentang kerajaan San-bo-tsai (San Fo-ch’i).

Sebagaimana yang telah penulis nyatakan sebelumnya, pemahaman bahwa shifu Ma Huan merupakan orang yang mendatangi langsung tempat ini, khususnya untuk melakukan pengamatan-pengamatan (observasi/survei), cukup penting untuk dipahami. 

Karenanya, dalam catatannya, beliau menjelaskan berbagai hal yang beliau lihat dan ketahui dari tempat tersebut. Contohnya, beliau menjelaskan bahwa tempat yang ia datangi dikenal sebagai “Ku-kang” (versi Mr. Mills: Chiu-chiang, yang beliau terjemahkan sebagai “Old Haven” atau Pelabuhan Tua). Dalam versi Mr. Mills, beliau juga menyertakan keterangan bahwa “orang asing” (foreigners) mengenal negeri ini dengan sebutan “P’o-lin-pang” (hal. 98).

Lebih lanjut, shifu Ma Huan juga menjelaskan bahwa tempat ini merupakan negeri yang sama dengan negeri yang sebelumnya disebut San-bo-tsai (San Fo-ch’i). Namun, menariknya, shifu Ma Huan tidak menceritakan tentang pergantian nama ataupun perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai maupun keterangan tentang Ku-kang atau Palembang sebagai ibu kota baru kerajaan San-bo-tsai. Hal ini, jika kita lepaskan dari konteks sejarah kerajaan San-bo-tsai - terutama mengenai letak kerajaan tersebut, bisa dibilang tidak cukup signifikan untuk diceritakan. 

Namun, jika kita masukkan konteks ini ke dalam keterangan shifu Ma Huan, kedua hal tersebut cukup penting untuk disebutkan - sebab keterangan-keterangan itu akan memperjelas sejauh mana pengetahuan shifu Ma Huan terkait sejarah kerajaan San-bo-tsai.

Dan, dikarenakan shifu Ma Huan tidak menjelaskan terkait hal-hal tersebut dalam tulisannya, asumsi dasarnya adalah: bisa saja beliau menduga tempat ini selalu menjadi letak dari kerajaan San-bo-tsai, sesuatu yang sebetulnya bertentangan dengan keterangan yang diberikan dalam catatan sejarah Cina itu sendiri - khususnya catatan sejarah dinasti Ming, dinasti yang berkuasa semasa beliau hidup. 

Hal ini, dalam “proses” identifikasi letak kerajaan San-bo-tsai, dapat menjadi indikasi awal kesalahpahaman yang terjadi. 

Namun, pun demikian, setidaknya kita dapat mengetahui bahwa tempat yang didatangi oleh shifu Ma Huan adalah Palembang dari keterangan-keterangan yang beliau berikan.

Misteri Tan-kang/Tan-chiang

Salah satu contoh yang bisa diberikan bahwa keterangan beliau mengarahkan kita pada wilayah Palembang adalah keterangan beliau yang menyebutkan bahwa kapal-kapal yang datang masuk ke Selat Ban(g)ka (P’eng-chia) di sungai Tan-kang (Fresh Water/Air Tawar) yang, menurut meester Groeneveldt, merupakan sebutan orang Cina untuk sungai di Palembang. Penyebutan “P’eng-chia” (Selat Bangka) dalam catatan beliau ini jelas mengarahkan kita pada Palembang – khususnya jika kita masuk ke Palembang dari muara sungai Musi. Namun, keterangan ini sendiri sebetulnya bukan tanpa tanda tanya.  Hal ini dapat kita lihat dari catatan kaki yang diberikan Mr. Mills; yang sekaligus akan menunjukkan bagaimana memahami posisi shifu Ma Huan, sebagai seorang saksi mata, akan sangat mempengaruhi pemahaman kita terkait catatan yang beliau tinggalkan.

Dalam terjemahan versi Mr. Mills, beliau menjelaskan bahwa keterangan terkait urutan "masuk" kapal-kapal ke Palembang yang terdapat dalam catatan shifu Ma Huan sebetulnya terbilang aneh. Hal ini dikarenakan catatan tersebut menyebutkan bahwa: kapal-kapal pertama-tama melalui Tan-chiang atau Tan-kang, yang beliau pahami sebagai "muara Air Tawar" (Fresh Water estuary) atau Sungai Palembang, sebelum masuk ke Selat Ban(g)ka (P’eng-chia strait). 

Lalu, kapal-kapal akan ditambatkan dekat dengan menara-menara yang terbuat dari batu bata (meester Groeneveldt menyebut kata “pagoda-pagoda” yang terbuat dari bata – hal. 73), sebelum melanjutkan perjalanan dengan kapal-kapal kecil untuk menuju ke ibu kota (Palembang).

Urutan ini jelas terbalik jika yang dijelaskan adalah urutan “masuknya” kapal-kapal dari Selat Bangka ke Palembang, sebab kapal-kapal seharusnya melewati Selat Bangka sebelum masuk ke sungai Musi - dan bukan sebaliknya. Keanehan ini menimbulkan tanda tanya bagi siapa pun yang membaca catatan tersebut. 

Karenanya, Mr. Mills menjelaskan kemungkinan bahwa shifu Ma Huan semata “mengutip” keterangan ini dari catatan orang lain; atau dari Wang Ta-yuan yang menulis (tentang) Chiu-chiang (Ku-kang).

Dalam catatannya, Wang Ta-yuan menyatakan "dari Tan-chiang (Tan-kang), masuk ke P’eng-chia men". Namun, beliau tidak menyebutkan arah tujuan kapal-kapal tersebut. Menurut Mr. Mills, shifu Ma Huan melakukan kesalahan dalam kutipan beliau dan, alih-alih menjelaskan tentang “keluarnya” kapal-kapal dari Palembang, beliau justru menunjukkan arah masuk ke Palembang.

Pada titik inilah, pemahaman kita terkait posisi shifu Ma Huan sebagai orang yang mendatangi langsung tempat tersebut dapat memainkan perannya: mengapa shifu Ma Huan, sebagai orang yang mendatangi langsung tempat tersebut, harus mengutip keterangan orang lain? Bukankah hal ini justru menjadi semakin aneh? Lagi pula, menurut Mr. Mills sendiri, Wang Ta-yuan tidak menyebutkan arah tujuan kapal-kapal tersebut. 

Lalu, bagaimana beliau bisa tahu bahwa yang dituliskan oleh Wang Ta-yuan berbeda dari yang dijelaskan oleh shifu Ma Huan? Karenanya, walau shifu Ma Huan menyebutkan tentang Selat Bangka (P’eng-chia), perihal masuknya kapal-kapal ke Palembang dari muara sungai Musi dalam catatan beliau sebetulnya masih menyisakan tanya: apa yang sebenarnya terjadi?

Jika mau mudah, bisa saja sebetulnya kita asumsikan bahwa shifu Ma Huan semata melakukan kesalahan dalam penjelasan beliau. Dengan demikian, kita tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan apa yang terjadi. 

Namun, benarkah demikian? Jika kita cermati keterangan-keterangan yang diberikan, teka-tekinya sebetulnya berpusat pada penyebutan "Tan-chiang" atau "Tan-Kang" itu sendiri - apakah sebutan ini betul-betul mengarah pada sungai (di) Palembang? Ataukah, sebutan ini mengarah pada hal yang lain?

Yang harus dimengerti di sini, baik Mr. Mills dan meester Groeneveldt sama-sama menerjemahkan kata ini menjadi “air tawar”. Bedanya, meester Groeneveldt mengartikan hal ini sebagai “sungai air tawar” (fresh-water river – hal. 73), sedangkan Mr. Mills mengartikannya sebagai “muara air tawar” (Fresh Water estuary). 

Muara dan sungai, walau satu kesatuan, tetaplah merujuk pada dua hal yang berbeda. Pemahaman ini, jika kita mau melihat pada peta Sumatera Selatan, sebetulnya bukan saja menambah misteri yang ada, tetapi juga menjadi jalan bagi kesimpulan yang berbeda.

Muara sungai Musi yang berada tepat di Selat Bangka - Dokpri
Muara sungai Musi yang berada tepat di Selat Bangka - Dokpri

Jika saja kita mau melihat ke dalam peta Sumatera Selatan dan Pulau Bangka, kita akan melihat bahwa muara sungai Musi sebetulnya berada tepat di Selat Bangka. Hal ini jelas menjadikan keterangan shifu Ma Huan semakin aneh: mengapa shifu Ma Huan menjelaskan arah dari muara sungai Musi ke Selat Bangka, jika muara sungai Musi tepat berada di Selat Bangka? 

Karenanya, dari keanehan ini, kita dapat menarik suatu kesimpulan yang tidak bertentangan dari “fakta” tersebut: bahwa Tan-chiang atau Tan-kang yang beliau sebutkan, kemungkinan tidak mengarah ke sungai Musi itu sendiri.

Hal ini disebabkan: tidak mungkin rasanya menjelaskan bahwa kapal-kapal yang akan “masuk” ke Palembang akan melalui muara/sungai Musi sebelum ke Selat Bangka, sedangkan muara sungai Musi itu sendiri tepat berada di Selat Bangka. 

Dengan alasan inilah, sekali lagi, Tan-chiang atau Tan-kang kemungkinan merujuk tempat yang berada di luar Selat Bangka itu sendiri – dan bukan sesuatu yang justru berada di selat tersebut, seperti muara sungai Musi. Lalu, di mana tempat ini berada?

Jika kita menghubungkan narasi penceritaan catatan-catatan sejarah Cina yang selalu menghubungkan San-bo-tsai dengan Jambi, secara logis, arah pencariannya (seharusnya) mengikuti alur narasi yang sama. Karenanya, asumsi dasarnya adalah: Tan-chiang atau Tan-kang ini mestilah berhubungan dengan Jambi itu sendiri. 

Dan, jika kita mau melihat ke dalam peta Jambi, kita akan menemukan satu hal lain yang menarik untuk dipertimbangkan.

Pulau Paritbawoeng yang berada tepat di muara sungai Batang Hari - Dokpri
Pulau Paritbawoeng yang berada tepat di muara sungai Batang Hari - Dokpri

Satu hal yang menarik dari (muara) sungai Batang Hari di Jambi adalah keberadaan pulau-pulau di muaranya. Keberadaan pulau-pulau di muara “sungai” (yang jelas mengindikasikan “air tawar”) ini sebetulnya menarik untuk dicermati sehubungan dengan penyebutan Tan-chiang atau Tan-kang – yang secara harfiah juga bermakna “muara atau sungai air tawar”: apakah shifu Ma Huan sebetulnya menjelaskan arah masuk ke sungai Musi dari muara sungai Batang Hari di Jambi?

Kesimpulan ini jelas bukan tanpa alasan, sebab sungai Batang Hari seharusnya merupakan sungai yang telah lama dikenal oleh orang-orang Cina yang berlayar ke nusantara - yang karenanya sungai ini disebut “Sungai Tua” (Ku-kang), sebelum Ku-kang berpindah ke Palembang. 

Hal ini sebetulnya sesuai dengan kesimpulan yang dibuat oleh meester Groeneveldt, walau beliau salah mengidentifikasi sungai ini sebagai sungai Musi (hal. 76). Lalu, apakah Tan-chiang atau Tan-kang sesungguhnya mengarah pada muara sungai Batang Hari – khususnya pulau-pulau tersebut?

Untuk menjawab hal ini, kita jelas membutuhkan bukti-bukti – dan, sayangnya, penulis tidak dapat menunjukkan bukti-bukti tersebut. 

Yang pasti, jika Tan-chiang atau Tan-kang memang mengarah pada muara sungai Batang Hari, khususnya pulau-pulau itu, mungkin masih terdapat bekas-bekas peninggalan lokasi persinggahan jaman dahulu di pulau-pulau ini - sekali lagi: mungkin...

Walau masih (akan sangat) sulit untuk dapat menemukan jejak-jejak peninggalan sebagai suatu “bukti” yang seharusnya ada, catatan sejarah Cina sendiri sebetulnya cukup jelas dalam menerangkan hal-hal yang semestinya ditemukan dalam menentukan letak wilayah-wilayah bersejarah ini. 

Salah satu contohnya, kapal-kapal yang menuju Palembang, diceritakan akan ditambatkan (di suatu lokasi) di Selat Bangka – dekat dengan tempat di mana terdapat menara-menara (pagoda-pagoda) yang terbuat dari (batu) bata. 

Keterangan ini yang sesungguhnya justru mengantarkan kita pada muara sungai Musi yang berada di Selat Bangka – di mana, dari tempat ini, perjalanan akan dilanjutkan dengan perahu-perahu kecil ke ibu kota (Palembang).

Jika benar lokasi yang terletak di Selat Bangka ini merupakan muara sungai Musi, seharusnya, temuan dari (bekas-bekas) menara-menara atau pagoda-pagoda dari batu bata yang disebutkan dalam catatan tersebut akan menjadi “bukti” dari keterangan yang diberikan oleh shifu Ma Huan – jika peninggalan ini memang masih dapat ditemukan, tentunya. 

Temuan-temuan ini, katakanlah; jika memang masih ada, akan sangat penting untuk ditemukan, sebab temuan-temuan tersebut bukan saja akan membenarkan keterangan-keterangan yang diberikan dalam catatan shifu Ma Huan – tetapi juga akan menceritakan sejarah Indonesia yang terlupakan. Namun, apakah peninggalan-peninggalan seperti ini masih dapat ditemukan?

Sejujurnya, penulis jelas tidak mengetahui apakah peninggalan-peninggalan yang disebutkan masih dapat ditemukan atau tidak. Hanya saja, satu hal yang mungkin harus kita ingat adalah: kemajuan teknologi yang saat ini kita miliki sudah sangat berbeda dengan teknologi-teknologi pada abad-abad sebelumnya

Pertanyaannya tentu: apakah kemajuan teknologi ini tidak dapat membantu kita untuk menyibakkan misteri-misteri yang ada di masa lalu? Satu contoh nyata sederhana yang bisa penulis berikan di sini adalah keterangan shifu Ma Huan terkait keberadaan “rumah (ter)apung”.

Dalam catatannya, shifu Ma Huan menyebutkan tentang rumah-rumah terapung (houses on raft/on wooden rafts) yang diikatkan di tiang-tiang (versi Mr. Mills: diikatkan ke daratan dengan tali-tali dan tongak-tonggak). 

Hal ini disebabkan wilayah yang ditempati oleh orang-orang Palembang, atau setidaknya wilayah yang dikunjungi oleh shifu Ma Huan, pada saat itu lebih banyak perairan dibandingkan daratan. Jadi, saat air naik (pasang), rumah-rumah mereka tidak hanyut terbawa air. 

Dan juga sebaliknya, saat orang-orang ini hendak pindah dari satu tempat ke tempat lain, mereka hanya tinggal melepaskan tiang-tiang atau pancang-pancang dari tempatnya – sehingga mereka bisa berpindah beserta dengan rumah mereka. Pertanyaannya sampai sini, tentunya, adalah: seperti apa rumah-rumah ini?

Entah apakah hal ini dapat kita ketahui dengan mudah pada masa-masa pra-internet, yang pasti, saat ini kita mampu mendapatkan acuan terkait bentuk rumah tersebut dengan menggunakan teknologi informasi yang kita miliki. 

Dalam situs Wikipedia: Suku Palembang, contohnya, terdapat informasi mengenai “Rumah Rakit”. Rumah Rakit ini bahkan telah disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 

Dan entah apakah rumah yang disebutkan oleh shifu Ma Huan serupa dengan Rumah Rakit yang ada pada laman Wikipedia, yang pasti foto-foto yang ada dalam laman-laman itu setidaknya dapat memberikan kita gambaran tentang “rumah (ter)apung” yang diceritakan oleh shifu Ma Huan dalam catatannya:

Foto milik Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures - Wikipedia Rumah Rakit
Foto milik Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures - Wikipedia Rumah Rakit

Berdasarkan catatan shifu Ma Huan, rumah-rumah seperti inilah yang beliau lihat saat beliau berkunjung ke Palembang pada sekitar tahun 1416 – yang, karenanya, rumah-rumah terapung seperti ini telah ada di Palembang lebih dari 608 tahun yang lalu. 

Lebih lanjut, beliau juga mencatat bahwa selain rumah-rumah para pemimpin (chiefs) yang berada di tepian sungai, rakyat jelata semuanya tinggal di rumah-rumah rakit. Rumah-rumah ini sendiri, dari keterangan catatan tersebut, berada di sungai-sungai yang memiliki dua siklus air pasang setiap harinya (Groeneveldt, hal. 74) – Mr. Mills menambahkan: pada siang dan malam hari (hal. 99).

Keterangan terkait siklus air pasang sungai ini sebetulnya juga menarik untuk dicermati, sebab keterangan tentang pasang yang terjadi dua kali dalam sehari ini bisa jadi mengindikasikan suatu lokasi spesifik - jika tidak semua sungai di Palembang atau bahkan tidak semua sungai di Sumatra mengalami waktu pasang-surut yang sama. 

Namun, di sini kita hanya akan menyimpulkan secara sederhana bahwa nenek moyang orang Palembang awalnya merupakan orang-orang sungai (dan bukan semata dalam artian “hidup di bantaran sungai”) - yang karenanya juga, pada masa itu banyak yang terlatih dalam pertempuran di perairan.

Tentu, kesimpulan ini dengan catatan: orang-orang yang ditemui oleh shifu Ma Huan adalah benar nenek moyang orang Palembang saat ini. Lebih lanjut, keberadaan rumah-rumah "rakit" ini sendiri bukan saja terbilang wajar tetapi juga dibutuhkan di tempat yang, menurut artikel Rumah Rakit dari situs Warisanbudaya.kemdikbud.go.id, memiliki lebih dari 100 sungai dan anak sungai. 

Dengan alasan yang sama, catatan Belanda pada awal abad ke-19 menyebut Palembang sebagai Venesia Dari Timur.

Foto milik Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures - Wikipedia : Suku Palembang
Foto milik Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures - Wikipedia : Suku Palembang

Dari keterangan-keterangan yang kita dapatkan secara daring inilah, kita dapat menyimpulkan bahwa sebelum orang-orang Palembang “naik” dan bermukim di daratan, nenek moyang orang Palembang (kemungkinan) datang dan hidup di sungai(-sungai) dengan memanfaatkan rumah-rumah rakit – yang memudahkan mereka untuk berpindah-pindah tempat. 

Entah kapan berakhirnya masa dari rumah-rumah ini, yang pasti, situs Warisanbudaya.kemdikbud.go.id menyebutkan bahwa: “perubahan pola pikir manusia dan keterbatasan bahan-bahan untuk membuat Rumah Rakit, jumlah Rumah Rakit semakin hari semakin sedikit”. 

Lebih lanjut, keterangan dalam artikel pada situs tersebut juga menerangkan bahwa eksistensi Rumah Rakit semakin terancam dengan stigma: kehadiran rumah-rumah rakit menjadi sumber pencemaran dan simbol kekumuhan sungai.

Semua alasan yang menyudutkan Rumah Rakit ini bisa jadi benar adanya pada masa ini, tetapi pada awalnya rumah-rumah ini sebetulnya sangatlah bermanfaat bagi nenek moyang orang Palembang yang tinggal di wilayah yang memiliki banyak sungai-sungai. Keterangan lebih detail dapat dilihat pada artikel bertajuk Rumah Rakit dalam situs Warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Di sini, penulis semata ingin menunjukkan bahwa teknologi informasi, atau bahkan teknologi-teknologi lainnya, sebetulnya sudah cukup maju jika mau dimanfaatkan untuk melihat kebenaran dari keterangan sejarah yang kita temukan – di sini, khususnya secara daring.

Majapahit dan Suvarnabhumi

Selain contoh di atas, contoh lain yang mungkin berhubungan langsung dengan pembahasan, adalah jika kita mau membandingkan antara informasi-informasi yang kita temukan terkait topik yang sama – di mana mendapatkan informasi-informasi ini sendiri sulit dilakukan tanpa koneksi dalam jaringan (daring). 

Dalam catatan kaki Mr. Mills, contohnya, beliau menyatakan bahwa "Jawa (yang disebutkan menguasai Palembang pada saat itu), yaitu (kerajaan) Majapahit, di mana penguasanya (atau rajanya) menduduki Palembang pada 1377 dan, menurut Sejarah Melayu, mengklaim hak untuk bertahta hingga setidaknya 1459" - keterangan ini beliau dapatkan dari Sejarah Melayu versi (CC) Brown (sumber beliau: halaman 82).

 Namun, kita tahu sekarang bahwa yang diduduki/dikuasai oleh Jawa pada saat itu sebetulnya bukan (hanya) Palembang, melainkan San-bo-tsai (San Fo-ch’i) – yang di dalamnya juga termasuk Jambi, atau yang beliau identifikasi sebagai Sriwijaya.

Tangkapan layar dari buku Mr. Mills tentang Majapahit dan Sriwijaya pada tahun 1377 (hal. 98) - Dokpri
Tangkapan layar dari buku Mr. Mills tentang Majapahit dan Sriwijaya pada tahun 1377 (hal. 98) - Dokpri

Peristiwa yang Mr. Mills sebutkan terjadi pada 1377 adalah peristiwa di mana (Maha)raja Jawa mengirimkan orang untuk menghentikan dan menghabisi/mengirim pulang utusan-utusan kaisar Cina (Groeneveldt, hal. 69). 

Sedangkan, pendudukan Jawa atas San-bo-tsai/San Fo-ch’i/Sriwijaya sendiri sudah tercatat dalam catatan sejarah dinasti Sung (Song) pada sekitar tahun 992 (Groeneveldt, hal. 65). 

Karenanya juga, peristiwa yang beliau sebutkan sebetulnya tidak terjadi di Palembang, tetapi justru di Chan-pi (Jambi), sebagai ibu kota lama kerajaan San-bo-tsai/San Fo-ch’i/Sriwijaya. Dan peristiwa pendudukan itu sendiri, berdasarkan catatan sejarah Cina, tidak dimulai pada masa itu - tetapi sudah berjalan selama (kurang-lebih) 385 tahun.

Dari keterangan beliau ini, kita mendapatkan kepastian bahwa "Jawa" yang disebutkan dalam catatan sejarah Cina menduduki kerajaan San-bo-tsai adalah Kemaharajaan Majapahit, walau informasi dalam catatan sejarah Cina menerangkan bahwa pendudukannya sendiri sudah dimulai bahkan sebelum kemaharajaan ini berdiri (1293) - entah apa yang sebenarnya terjadi. 

Sebab kita mendapatkan nama "Majapahit" dalam catatan kaki Mr. Mills, kita bisa membuat perkiraan bahwa Maharaja Prabu (Ma-ha-la-cha-pa-la-pu) yang disebutkan mengirim utusan-utusan dan persembahan kepada kaisar Cina pada tahun 1371 adalah Maharaja Prabu Hayam Wuruk yang berkuasa pada 1350–1389. Beliau jugalah yang disebut-sebut menghentikan dan menghabisi/mengirim pulang utusan-utusan kaisar Cina (yang menurut kaisar Cina sendiri: "dengan sangat santun" [with great politeness], Groeneveldt, hal. 70) pada sekitar tahun 1377.

Tangkapan layar situs Wikipedia: Hayam Wuruk terkait peristiwa di tahun 1377 - Dokpri
Tangkapan layar situs Wikipedia: Hayam Wuruk terkait peristiwa di tahun 1377 - Dokpri

Satu catatan kecil yang membuat penyebutan tahun ini sangat menarik, setidaknya berdasarkan informasi yang ada dalam situs Wikipedia (yang, harus diakui, masih sangat patut dipertanyakan keabsahannya), pada tahun ini jugalah Maharaja Prabu Hayam Wuruk disebut-sebut menundukkan Suvarnabhumi "karena pelanggaran yang dilakukan penguasanya saat itu". 

Jika kita menggunakan keterangan yang didapat dari catatan sejarah Cina, kita tahu pelanggaran apa yang dimaksudkan di sini, tindakan apa yang lalu dilakukan oleh Maharaja Prabu Hayam Wuruk, dan apa yang sebetulnya terjadi secara keseluruhan.

Keterangan dalam buku meester Groeneveldt terkait peristiwa tahun 1377 - Dokpri
Keterangan dalam buku meester Groeneveldt terkait peristiwa tahun 1377 - Dokpri

Namun, hal yang paling menarik bagi penulis dari keterangan-keterangan ini adalah penyebutan nama "Suvarnabhumi". Keterangan-keterangan yang kita dapatkan, pada akhirnya, bukan saja menghubungkan antara San-bo-tsai/San Fo-ch’i dengan Sriwijaya, tetapi juga dengan daerah yang disebut sebagai "Negeri Emas" (Suvaṇṇabhumī). 

Sayangnya, keterangan dalam Wikipedia tentang Maharaja Prabu Hayam Wuruk yang menaklukkan Suvarnabhumi tidak turut serta memberikan sumber-sumber utama - dan oleh karena itu keterangan ini, dapat dikatakan, masih terbilang sangat lemah atau meragukan.

Jika saja ada yang mau berbaik hati untuk memberikan sumber utama dari keterangan tersebut, mungkin kita dapat melangkah lebih jauh. 

Akan tetapi, perihal nama-nama yang berbeda-beda ini sebetulnya juga cukup penting untuk dipahami - yang karenanya, penulis akan menjelaskan sedikit terkait perbedaan nama-nama itu di akhir tulisan-tulisan ini. 

Tetapi, pada titik ini, kita sangat butuh untuk kembali pada catatan Ying-yai Sheng-lan dari shifu Ma Huan.

Salah satu pernyataan penting shifu Ma Huan dalam catatan beliau, khususnya mengenai kesalahpahaman identifikasi letak kerajaan San-bo-tsai, sesungguhnya adalah pernyataan bahwa Ku-kang yang dulu dikenal sebagai San-bo-tsai "tidaklah luas" (Groeneveldt, hal. 73 – Mills, hal. 99). 

Keterangan ini sebetulnya kurang tepat secara historis, sebab kita sekarang tahu bahwa kerajaan ini tidak saja terhubung dengan Palembang, tetapi juga dengan Jambi. Lalu, mengapa shifu Ma Huan menyatakan bahwa Ku-kang "tidaklah luas"?

Pernyataan shifu Ma Huan sebetulnya tidak salah, jika Ku-kang yang beliau sebutkan hanyalah wilayah Palembang. Hanya saja, dengan menghubungkan wilayah ini dengan "San-bo-tsai", beliau sejatinya menyiratkan bahwa yang beliau maksud adalah "Ku-kang" sebagai kerajaan - inilah yang sebenarnya menimbulkan masalah. 

Hal ini disebabkan kerajaan San-bo-tsai sebenarnya adalah kerajaan yang luas, di mana wilayahnya termasuk Jambi dan daerah-daerah lainnya. Namun, pada saat kedatangan shifu Ma Huan, kerajaan ini telah mengalami "penyusutan". Hal ini sesuai dengan keterangan yang diberikan dalam catatan dinasti Ming tentang peristiwa yang terjadi pada sekitar tahun 1407.

Keterangan terkait "penyusutan" kerajaan San-bo-tsai diberikan pada saat kaisar Cina menunjuk seseorang bernama Chin-ch’ing sebagai Penjaga Perdamaian (di) Ku-kang (Pacificator of Ku-kang), terdapat pernyataan yang menyatakan bahwa: wilayah yang beliau kuasai tidaklah luas dan tidak dapat disandingkan dengan kerajaan San-bo-tsai yang dulu (hal. 71-72). 

Hal ini dikarenakan, walau beliau ditunjuk oleh kaisar Cina, beliau sejatinya juga berada di bawah kekuasaan Jawa (Majapahit yang pada saat itu dipimpin oleh Maharaja Wikramawardhana).

Jika kita menambahkan informasi yang kita dapat dari catatan dinasti Ming ke dalam pernyataan shifu Ma Huan, kita dapat memahami bahwa shifu Ma Huan, sebagai seorang saksi mata, sebetulnya hanya sebatas menjabarkan apa yang beliau lihat; yaitu Palembang (Ku-kang) sebagai suatu wilayah - tetapi tidak sebagai kerajaan. 

Beliau menjabarkan hal ini dari cakupan penglihatan dan pemahaman beliau – tetapi belum tentu dari narasi historis kerajaan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i atau yang Mr. Mills identifikasi sebagai kerajaan Sriwijaya. 

Karenanya juga, beliau tidak memberikan informasi historis yang relevan, sebagaimana catatan dinasti Ming, khususnya tentang "penyusutan" wilayah kekuasaan San-bo-tsai, pergantian nama, dan perpindahan ibu kota.

Akan tetapi, pun shifu Ma Huan tidak menyertakan informasi-informasi sejarah yang relevan, sepertinya pernyataan beliau sebagai orang yang pernah menginjakkan kaki di (ibu kota baru) kerajaan San-bo-tsai digunakan sebagai acuan bahwa kerajaan San-bo-tsai berada di Palembang. 

Hal ini terlihat jelas dalam keterangan yang diberikan meester Groeneveldt pada catatan akhir beliau mengenai catatan sejarah dinasti Ming. Beliau menyatakan bahwa catatan shifu Ma Huan dalam Ying-yai Sheng-lan “terbukti” (evidently) juga digunakan oleh penulis catatan sejarah dinasti Ming (Groeneveldt, hal. 73) – walau beliau sendiri sebetulnya tidak menunjukkan/menjelaskan bukti-buktinya.

Dengan mengacu pada keterangan yang diberikan oleh meester Groeneveldt inilah, kesimpulan itu bisa didapatkan bahwa: kesalahpahaman identifikasi tentang San-bo-tsai yang dikatakan berada di Palembang kemungkinan baru terjadi setelah kedatangan shifu Ma Huan - atau setelah catatan beliau, Ying-yai Sheng-lan, yang bertarikh 1416 ini dibuat

Hal ini disebabkan, kemungkinannya, catatan inilah yang kemudian dijadikan rujukan - catatan yang dibuat oleh seorang saksi mata atau narasumber yang pernah datang langsung ke (ibu kota baru) kerajaan San-bo-tsai. 

Padahal, penceritaan catatan-catatan sejarah dinasti-dinasti di Cina tentang San-bo-tsai sebetulnya selalu mengarah pada “Chan-pi” (Jambi).

Jika shifu Ma Huan mengira bahwa San-bo-tsai yang telah berganti nama menjadi Ku-kang hanya sebatas wilayah Palembang (P’o-lin-pang), atau beliau menduga bahwa saat itu wilayah kerajaan San-bo-tsai hanya tinggal seluas wilayah ini, wajarlah jika beliau menyatakan bahwa wilayah kerajaan ini "tidaklah luas" (Groeneveldt, hal. 73 – Mills, hal. 99). 

Padahal, sekali lagi, wilayah kekuasaan kerajaan San-bo-tsai yang lama tidak semata berada di wilayah Palembang - tetapi juga di Jambi dan bahkan wilayah-wilayah lainnya, sebagaimana yang tertera pada awal catatan dinasti Sung (Song) bahwa kerajaan ini menguasai lebih dari 15 wilayah yang berbeda (Groeneveldt, hal. 62). 

Keterangan shifu Ma Huan ini juga memperkuat kesimpulan bahwa pada saat beliau mengunjungi kerajaan San-bo-tsai (yang pada saat itu sudah disebut “Ku-kang"), San-bo-tsai yang lama mungkin sudah runtuh atau tengah dalam proses keruntuhan.

Perihal keruntuhan San-bo-tsai ini sendiri pun sejatinya tersirat dalam keterangan-keterangan yang diberikan oleh catatan sejarah Cina, seperti keterangan yang diberikan setelah peristiwa raja Jawa yang mengirim orang untuk menghentikan dan menghabisi atau mengirim pulang utusan-utusan kaisar Cina pada sekitar 1377 - tahun yang sama dengan tahun Maharaja Prabu Hayam Wuruk disebut-sebut menundukkan Suvarnabhumi. 

Dalam penjelasannya, catatan sejarah Cina menerangkan bahwa, setelah peristiwa tersebut, San-bo-tsai perlahan menjadi lebih miskin dan tidak lagi membawa persembahan untuk kaisar Cina (hal. 69) – setidaknya hingga saat Liang Tau-ming, orang yang dipilih oleh orang-orang Cina di San-bo-tsai (pada saat ini masih di Jambi), dipanggil oleh kaisar Cina untuk menghadap di sekitar tahun 1405 (hal. 71).

Keterangan yang hampir sama dinyatakan kembali pada akhir catatan dinasti Ming yang menjelaskan bahwa semenjak pendudukan Jawa, San-bo-tsai perlahan/bertahap (gradually) menjadi lebih miskin dan hanya sedikit kapal dagang yang (saat itu) singgah ke tempat ini (hal. 73). 

Keterangan ini tampaknya berkaitan dengan keterangan akhir dalam catatan Tung Hsi Yang Káu (1618) yang menyatakan bahwa: San-bo-tsai tadinya dikenal sebagai tempat yang makmur, tetapi sejak pendudukan Jawa (Majapahit), ibu kota (lama) telah ditinggalkan dan hanya beberapa pedagang yang datang ke tempat itu pada saat catatan ini dibuat. Keterangan terkait perpindahan ibu kota ini juga yang kembali menerangkan kepada kita bagaimana pada akhirnya ibu kota kerajaan San-bo-tsai berpindah ke Palembang.

Dari keterangan-keterangan yang ada, kita sesungguhnya dapat memperkirakan bahwa awal keruntuhan San-bo-tsai/San Fo-ch’i/Sriwijaya, setidaknya menurut sudut pandang catatan sejarah Cina, dimulai dari sekitar tahun 1377 atau sekitar 647 tahun yang lalu - sekali lagi, saat yang bersamaan dengan pendudukan Suvarnabhumi oleh Maharaja Prabu Hayam Wuruk. Dan, sebagaimana yang telah penulis nyatakan dalam artikel sebelumnya, (salah satu) imbas dari keruntuhan ini, sebagaimana tercermin dalam keterangan catatan Tung Hsi Yang Káu (1618), orang-orang Jambi (men of Djambi) tidak lagi dikenali sebagai bagian dari orang-orang Ku-kang, yang saat itu sudah semata diidentikkan dengan Palembang – dan bukan sebagai kerajaan yang, awalnya, ibu kotanya justru mengarah ke Chan-pi (Jambi).

Hubungan Palembang-Jawa

Sedikit catatan tambahan dari keterangan shifu Ma Huan, beliau menyebutkan bahwa budaya dan kebiasaan, adat pernikahan dan pemakaman, bahkan bahasa orang-orang Palembang sama dengan orang-orang Jawa (Groeneveldt, hal. 74) – Mr. Mills menambahkan bahkan hingga minuman, makanan, pakaian, dan hal-hal lainnya sama dengan orang-orang “Chao-wa” atau Jawa (hal. 99). Contoh yang bisa diberikan, setidaknya dalam hal bahasa, dapat ditemukan pada tulisan Tome Pires: Suma Oriental (The Suma Oriental of Tomé Pires And The Book of Francisco Rodrigues).

Pada catatan penjelajah Portugis yang ditulis pada abad 1512-15 (hal. xiii) ini, terdapat penyebutan "Parameswara" (Paramjçura). Senhor Pires menjelaskan bahwa kata ini bermakna "manusia (laki-laki) paling berani" (The bravest man) dalam bahasa Jawa-Palembang (Palembang Javanese tongue - hal. 231). 

Penyebutan bahasa Jawa-Palembang pada abad ke-16 ini, jika dihubungkan dengan keterangan shifu Ma Huan terkait kesamaan bahasa antara Jawa dan Palembang sekitar 100 tahun sebelumnya, sebenarnya menunjukkan perubahan yang terjadi - tetapi setidaknya tetap masih dapat menunjukkan hubungan kebahasaan yang ada di antara kedua suku sekitar 509 tahun yang lalu.

Sampul buku The Suma Oriental of Tomé Pires And The Book of Francisco Rodrigues - Dokpri
Sampul buku The Suma Oriental of Tomé Pires And The Book of Francisco Rodrigues - Dokpri

Dari keterangan-keterangan yang telah diberikan, entah apa yang terjadi dalam kurun waktu sekitar 608 tahun sejak catatan itu diterbitkan, pada masa ini kita tahu bahwa orang Palembang dan orang Jawa adalah dua kelompok orang atau suku yang cukup berbeda. Tetapi pada suatu masa, berdasarkan keterangan dari catatan Ying-yai Sheng-lan (Yingya Shenglan), orang-orang ini sebetulnya merupakan orang-orang yang sama secara adat, budaya, atau kebiasaan. 

Keterangan terkait kesamaan antara orang-orang Jawa dan Palembang ini kembali mengantarkan kita pada “hubungan” antara keduanya – yang, pada akhirnya, sebetulnya turut menghubungkan antara orang-orang Jambi (sebagai keturunan dari orang-orang kerajaan San-bo-tsai) dan orang-orang Jawa. Dapatkah kita katakan bahwa: walau pada saat ini budaya, kebiasaan, bahkan bahasa orang-orang ini tidak lagi sama, pada masanya orang-orang ini sebetulnya adalah "kaum" yang sama?

Keterangan-keterangan yang kita temukan juga diam-diam memberikan “sinyal” bahwa, walau negara ini diproklamasikan berdiri pada tahun 1945, cikal bakal negara ini sebetulnya bisa ditarik jauh hingga (setidaknya) sekitar 1000 tahun sebelum negara ini berdiri – tentu dengan dinamika politik, pergeseran peta kekuasaan, bahkan perpindahan wilayah yang sudah seharusnya atau sewajarnya terjadi dalam aliran sang waktu. 

Mungkin, dan hanya sebatas kemungkinan, dapat dikatakan bahwa "embrio" negara ini terus berkembang selama lebih dari 1000 tahun hingga menjadi fetus dan, lalu, menjelma dalam perwujudannya yang sempurna, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia - alias negara ini. Mungkin, selama ini kita hanya fokus pada perbedaan-perbedaan saja, tetapi sejarah, dalam sunyinya, berkata lain...

Hubungan sejarah antara orang-orang yang berada di nusantara sebagaimana yang dijabarkan dalam tulisan ini, sesungguhnya juga masih belum menyentuh keterkaitan yang mendalam, sebab hubungan-hubungan ini sudah ada jauh sebelum keterangan-keterangan yang (saat ini) masih berkutat pada narasi kerajaan San-bo-tsai - khususnya setelah abad ke-10. Hubungan yang ada antara orang-orang Jawa dengan Sumatra, semisal, sebetulnya masih jauh lebih dalam lagi. 

Hanya saja, hubungan ini terentang cukup panjang dalam alur waktu, yang membuat hubungan ini tidak dapat diungkapkan dengan mudah - seperti hubungan yang hanya bisa kita temukan, simpulkan, lalu jabarkan dalam baris-baris tulisan-tulisan yang cukup panjang ini...

Kemungkinannya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa kerajaan yang dikenal sebagai Sriwijaya, sebetulnya masih berhubungan dengan orang-orang Jawa Timur. Hubungan ini baru dapat diungkapkan melalui pemahaman terkait nama-nama yang digunakan. Akan tetapi, untuk memahami hubungan ini, kesalahpahaman-kesalahpahaman harus diluruskan terlebih dahulu. Seperti, kesalahpahaman terkait "letak" dari kerajaan San-bo-tsai yang telah kita lalui, yang sebetulnya mengarah ke Jambi, kesalahpahaman berikutnya yang harus kita lalui adalah memahami perbedaan antara Jambi dan Melayu secara historis. Dan, untuk itu, kita harus kembali menyusuri benang sejarah secara berurutan - yang kali ini akan menuntun kita pada monsieur George Cœdès, setidaknya sedekat-dekat peneliti terkait yang penulis bisa temukan...

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun