Klik.
Tiada yang lebih menyakitkan hati seorang ibu selain dibenci darah dagingnya sendiri. Karenanya, anak sungai di mata Arin mengalir jauh. Jauh sampai ke lautan rindu yang membentang membatasi mereka.
"Bu! Bu Arin!" Ketukan disertai seruan berulang-ulang mengagetkan Arin yang bersimbah airmata di atas ranjangnya.
"Ada apa, Mpok?"
"Maap, Bu. Saya mau ngomong," ujar Mpok Nasipe takut-takut. "Eh, Ibu abis nangis ye?"
Arin meletup. Ia sudah bersusah-payah menghapus airmatanya lalu tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dan hanya mendapati pertanyaan sepele itu.
"Dari tadi itu aja pertanyaanmu. Bosen!" sahutnya tajam. "Iya, saya nangis. Emang kenapa? Sekarang kamu mau ngomong apa?!"
Nyali Mpok Nasipe ciut. "Eh, maap, Bu. Maksudnye..."
"Saya sibuk. Tidak mau diganggu. Upah nyuci kamu kan nanti akhir bulan. Masih tiga minggu lagi. Sudah sana!"
Nah, itu maksudnye. Mau kasbon!
Sayang sudah nasib suara hati untuk tak terdengar orang. Pintu kamar sudah ditutup keras. Setengah dibanting.