Mpok Nasipe gemetar. Kok Bu Arin tumben galak amat ye? Ape lagi dapet?
Ia pun beranjak keluar. Kepalanya pening memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya kepada Aman. Jawaban yang ditunggu sejak seminggu lalu.
Duh, idup kok susah amat ye!
***
Aman cemberut. Ia membuang muka. Tangan Mpok Nasipe mengelus-elus rambut ikal putera semata wayangnya itu.
Lampu neon dua puluh lima watt meredup. Garis-garis kehitaman mulai merajahi batang lampu. Sudah waktunya diganti. Seperti juga TV 14 inci di atas buffet yang layarnya sudah banyak "semut" yang tiap kali harus digebrak agar gambarnya layak dilihat.
"Maap ye, Man. Emak belom punye duit..."
Aman bergeming. Mulutnya kian manyun.
"Kok Aman nggak mau nurut Emak sih?!" Mpok Nasipe mulai dongkol dengan sikap Aman.
Aman adalah satu-satunya buah perkawinan Mpok Nasipe dengan sang suami yang pengkhianat.
Selama lima tahun perkawinan ia menderita lahir dan batin. Gara-garanya ia dituduh mandul. Padahal, karena keterbatasan biaya, tak pernah sekalipun mereka berdua memeriksakan diri ke dokter. Hanya karena ingin menjaga nama baik suami di depan keluarga, ia kunci mulutnya rapat-rapat.