“Jadi, Eduardo sudah mengatakannya padamu?”
“Ya Ibu. Aku... Aku saja sudah cukup menyesal terlahir sebagai anggota keluarga dari seorang duke. Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup, jika aku sampai menikah dengan seorang pangeran.”
“Kau menyesal menjadi putriku?”
Nivea menghela nafas, “Bukan begitu maksudku Bu. Hanya saja, aku... Seandainya aku bisa memilih dilahirkan di keluarga mana, tentu aku akan memilih menjadi rakyat biasa. Mereka tampak bahagia dapat melakukan apapun yang mereka mau tanpa harus peduli pada penilaian orang lain.”
“Jadi selama ini, kau tidak bahagia Nivea?”
“Tidak sepenuhnya Ibu. Aku beruntung memiliki Ibu sepertimu dalam hidupku. Tapi aku merasa selama ini, aku harus sangat berhati-hati menjaga sikapku. Karena aku anak gadis dari seorang duke. Hampir semua orang di negeri ini akan menyoroti sikapku. Bahkan mungkin hal lainnya tentangku. Jujur saja, bagiku hal itu sangat konyol, Ibu.”
“Aku mengerti Nivea. Kau tak bisa merubah takdirmu, Nak.”
“Besok aku akan ikut pergi ke istana. Tapi aku sudah mengatakan pada ayah, bahwa aku melakukan itu hanya karena aku... menjaga martabatnya di hadapan baginda raja.”
“Terserah kau saja Nivea. Pergilah mandi dan istirahat!” duchess Elvira mengecup lembut kening Nivea lalu beranjak pergi lebih dulu meninggalkan tempatnya.
Satu jam berlalu.
Nivea telah selesai membersihkan diri, kini dirinya telah mengenakan gaun tidur dan duduk selonjoran di atas ranjangnya. Dia menegakkan punggungnya pada sandaran dipan yang dilapisi busa itu. Rambut khas berwarna burgundy miliknya tengah terurai manis sedikit melewati bahu.