"Dek, kamu ga mau pulang aja, ngapain disana, cuman masak aja?", bujuk mamaku melalui video call.Â
"Lumayan lho, Ma, gajinya, 'kan Tika juga bisa kirim uang, bantu mama papa".Â
Mama memang paling berat melepasku merantau, ketimbang melepas kakakku, Mirah.Â
Mungkin karena dari SMP hingga SMA, aku bersekolah di Pesantren, yang jaraknya tiga jam dari rumahku.Â
Sebulan sekali, papa mamaku pasti datang ke asrama pesantren, untuk membawakan baju ataupun makanan kesukaanku, tapi hanya beberapa jam saja.Â
Aku sendiri pulang ke rumah paling enam bulan sekali untuk menghemat biaya, itu pun hanya bisa  menginap di hari Sabtu dan Minggu.Â
Untuk papa, pendidikan sangat penting, ia rela utang sana sini, supaya aku dan kakakku bisa bersekolah di sekolah yang terbaik.
"Gapapa Tika disini, Ma. Jadi dia ada pengalaman kerja, mumpung masih muda, lagian dia sekarang chef, Ma, bukan masak doang", Kak Mirah yang daritadi ada disebelahku, langsung menyambar.Â
Ia pasti mengerti betapa suramnya masa depanku kalau kembali ke kampung, lapangan kerja sedikit, gajinya pun belum tentu bisa membiayai kebutuhan sendiri. Akhirnya nanti aku seperti mama papaku, dan tetangga kampung lainnya, kerja serabutan agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Chef juga intinya masak. Sini lah bantu mama aja kalau gitu, kan mama juga chef untuk catering mama".Â
Catering pernikahan menjadi salah satu dari sekian banyak pekerjaan mamaku. Masakan mamaku tidak ada yang gagal, sehingga mama punya banyak sekali pelanggan.Â