Teknik flame aku pamerkan dalam membuat hidangan dendeng balado di hadapan para penonton dan para juri.Â
"Uwooowww!! Tika memamerkan kebolehannya", teriak MC.Â
Daun singkong segera kurebus sebentar, kemudian mencelupkannya dalam air dingin, supaya warnanya masih segar.
Aku juga mengecek nasi putih yang ditanak melalui ketel.Â
Harumnya benar-benar mengingatkanku pada masakan mamaku di kampung.
Sumatera, menjadi tema masakanku hari ini, pulau kelahiranku, sekaligus ku persembahkan untuk Kak Darra, orang yang terus mendukungku hingga ada disini.
Kak Darra, doakan aku.
Air mataku serasa menggenang. Aku harus menang.
***
Satu tahun lalu...
"Dek, kamu ga mau pulang aja, ngapain disana, cuman masak aja?", bujuk mamaku melalui video call.Â
"Lumayan lho, Ma, gajinya, 'kan Tika juga bisa kirim uang, bantu mama papa".Â
Mama memang paling berat melepasku merantau, ketimbang melepas kakakku, Mirah.Â
Mungkin karena dari SMP hingga SMA, aku bersekolah di Pesantren, yang jaraknya tiga jam dari rumahku.Â
Sebulan sekali, papa mamaku pasti datang ke asrama pesantren, untuk membawakan baju ataupun makanan kesukaanku, tapi hanya beberapa jam saja.Â
Aku sendiri pulang ke rumah paling enam bulan sekali untuk menghemat biaya, itu pun hanya bisa  menginap di hari Sabtu dan Minggu.Â
Untuk papa, pendidikan sangat penting, ia rela utang sana sini, supaya aku dan kakakku bisa bersekolah di sekolah yang terbaik.
"Gapapa Tika disini, Ma. Jadi dia ada pengalaman kerja, mumpung masih muda, lagian dia sekarang chef, Ma, bukan masak doang", Kak Mirah yang daritadi ada disebelahku, langsung menyambar.Â
Ia pasti mengerti betapa suramnya masa depanku kalau kembali ke kampung, lapangan kerja sedikit, gajinya pun belum tentu bisa membiayai kebutuhan sendiri. Akhirnya nanti aku seperti mama papaku, dan tetangga kampung lainnya, kerja serabutan agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Chef juga intinya masak. Sini lah bantu mama aja kalau gitu, kan mama juga chef untuk catering mama".Â
Catering pernikahan menjadi salah satu dari sekian banyak pekerjaan mamaku. Masakan mamaku tidak ada yang gagal, sehingga mama punya banyak sekali pelanggan.Â
Tapi yaa.. pesta pernikahan tidak berlangsung setiap hari. Jadi ramainya catering harus dilihat musimnya juga.
"Tar ya, Ma... Tika masih mau kerja di kota".Â
Sebenarnya rasa hati berat sekali menolak keinginan mama, tapi kasihan nanti kedua orang tuaku  di masa tua, kalau aku di kampung saja.
Aku dan Kak Mirah sepakat untuk menabung uang pensiun mama dan papa, jadi nanti mereka tidak perlu kerja serabutan lagi. Juga, aku ingin membangun karierku disini.Â
Belum tentu kaya, minimal, tidak menyusahkan orang tua.
**
"Ayamnya enak sekali, Mba Ni. Pengen deh bikin ayam seenak ini!".Â
Aku memuji sambil mengunyah ayam goreng lengkuas masakan Mba Ni, tetanggaku, yang juga berjualan. Tiga kali seminggu, aku pasti membeli ayam dadanya untuk makan malamku.
"Mau belajar?", sahut Mba Ni yang tersenyum, sambil menggoreng ayam pesanan online.
"Mba Ni, mau ajarin?", tanyaku tidak percaya.Â
Ini kan rahasia dapurnya, becanda saja, Mba Ni.
"Mau, dong.. lagian zaman sekarang resep kayaknya udah ga ada yang rahasia lagi. Semua terbuka kayak buku".Â
Mba Ni menjawabnya dengan santai, sambil membungkus pesanan.Â
"Wah, boleh, Mba... kapan bisa belajar?", aku sangat antusias sekali Mba Ni mau mengajarkan ayam goreng selezat ini.
"Malam ini, sekalian aku mau bikin stok buat besok. Sebentar, ya".
*
"Bawang putihnya diuleg dulu, biar air yang ada di bawang putih keluarin aroma yang khas. Nah, sudah agak halus begini, baru masukkan bawang merah uleg lagi, biar ada rasa gurih pedasnya. Kemudian masukkin satu-satu, ketumbar, kemiri, kunyit dan jahenya sedikit aja. Uleg sampai halus merata", Mba Ni menguleg bumbu sambil menjelaskannya padaku.Â
"Kamu bantu parut lengkuasnya, Tika, yang halus ya."
"Siap, Mba". Â
Setelah uleg-an Mba Ni halus dan lengkuas sudah selesai diparut, ia pun menumisnya. Ditambah dengan daun salam dan sereh yang sudah digeprek.Â
Wah, harum sekali.Â
Kemudian ia mengambil panci dan mengisinya dengan sedikit air. Bumbu yang ditumis dimasukkan, kemudian diberi garam dan kaldu bubuk.Â
"Icip, Tika, sudah pas belum?"
"Kurang gurih, sepertinya, Mba", nadaku agak pelan, takut menyinggung perasaannya.
"Benar, kamu. Lidahmu bagus", pujian Mba Ni benar-benar membuatku melayang. Ia pun menambah kaldu bubuk hingga gurihnya pas.
"Sekarang ayamnya dimasukkan..."
Wah, boleh nih untuk menu di Wita.
**
"Kak Darra, aku kemarin belajar bikin ayam lengkuas. Kalau kita bikin pan chicken, terus nasinya kita taburin bumbu lengkuas, gimana, Kak, pelengkapnya sambal bawang?"
Setibanya aku di restoran Wita, tempatku bekerja, aku langsung menemui atasanku, Kak Darra.Â
"Coba aja bikin, tar kita cicip bareng", sahut Kak Darra antusias.Â
Kak Darra selalu mendukung semua ideku, seakan aku, pemilik saham dari restorannya.Â
Restoran Kak Darra dan Kak Juwita, adiknya, bisa dibilang resto kecil. Ada pengunjung setia, tapi bukan yang ramai sekali.
Chef sebelumnya adalah tunangan Kak Juwita. Namun karena ada kasus pinjaman online yang berakhir dengan kekisruhan di resto Wita ini, akhirnya tunangan Kak Juwita resign.Â
Berikut dengan hubungan asmara mereka, resign alias selesai.Â
Sejak itu Kak Juwita memintaku untuk menjadi chef di resto ini, padahal pengalamanku menjadi chef belum satu tahun di tempat kerja sebelumnya.
Nah, sejak itu lah Kak Darra baru muncul dan nimbrung di Wita ini. Â
Ia sangat senang mencoba berbagai menu masakan dan minuman yang bertema Asia, terutama Nusantara, tapi lucunya, dia tidak bisa membuatnya sama sekali.Â
Jadi kalau dia terpikir sesuatu, atau mungkin mendapat resep dari tontonan, teman ataupun bacaan, dia langsung memberitahuku, dan memintaku untuk membuatnya. Bahan-bahan tentunya sudah dibeli oleh Kak Darra.
Saking seringnya, aku tidak lagi meragukan kemampuan memasakku, apalagi sepertinya Kak Darra cukup nge-fans dengan masakanku.
"Tika, saya laper! Order nasi goreng kencur, dong!"
Sesampainya di sore hari, Kak Darra langsung order menu khas Wita ini. Kak Dara selalu tiba pas sore hari, baru pulang dari kerjaan kantor.
Hampir setiap hari Kak Darra pasti order makanan disini.Â
Kadang aku bertanya-tanya juga, apa dia ga bosan dengan masakanku.
"Tika...! masakan kamu enak banget!! Sampai terbayang-bayang sama nasi goreng kencurnya! Mau ga sekolah kuliner? Biaya saya yang tanggung" pujinya sambil mengunyah nasi goreng kencur dengan begitu lahap,
Kata sekolah sempat membuatku berbinar.Â
Ya, aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku. Tapi aku tidak enak kalau harus membebani Kak Darra. Pasalnya, resto ini saja masih belum balik modal..
***
"Kalau buat teriyaki, kecap asin Jepang yang dipakai, jangan kecap asin Indonesia", kata teman Kak Juwita, Fannan, chef di salah satu restoran bergaya Jepang.Â
"Kenapa, Bang?". Sedari awal teman Kak Juwita ini maunya dipanggil Bang Fannan, menolak keras dipanggil Kak. Apa dia orang Sumatera?
Setiap satu bulan sekali, Wita pasti libur. Aku dan Akila, rekan kerja sekaligus teman baikku, diajak jalan oleh Kak Darra dan Kak Juwita untuk mencoba berbagai resep makanan.Â
Hari itu temanya adalah makanan Jepang, salah satu makanan favorit Kak Juwita. Maka, disinilah aku, sedang diajari oleh Bang Fannan, yang sepertinya senang berbagi ilmu.
"Dua-duanya hasil fermentasi kedelai, tapi kecap asin Indonesia pakai garamnya lebih banyak. Kalau kecap asin Jepang, murni fermentasi kedelai, sehingga rasanya kedelainya lebih kuat".
Aku langsung mengangguk-angguk, sambil mengetik penjelasan Bang Fannan di notes hpku.Â
"Fan, kira-kira menurut lu oke ga, kalau Tika sekolah kuliner? Dia berbakat, kalau gue bilang", Pertanyaan Kak Darra pada Kak Fannan membuatku terkejut. Duh, apa nih jawabannya? Ga oke, jangan-jangan.
"Bagus, sih. Tapi ga apa-apa sebenarnya dia nanya begini langsung sama yang masak, jadi lebih kenal rasa, kan yang dibutuhkan itu praktek. Nanti kalau dia tertarik lebih dalam, baru sekolah", Bang Fannan menjawab sambil menatapku dengan dalam, "kamu biasa pulang jam berapa, Tika?".Â
"Sembilan, Kak." Entah mengapa wajahku begitu tersipu ditatap oleh Kak Fannan. Ganteng juga..
"Setelah itu ada kegiatan lain, ga? Kalau ga ada, kita mulai belajar". Tawaran Bang Fannan benar-benar membuatku kaget sekaligus senang, aku langsung menatap Kak Darra dan Kak Juwita, reflek minta persetujuan mereka.
"Di Wita aja, kalau mau", Kak Darra langsung menyambar, Kak Juwita langsung mengangguk dengan cepat. Mereka pasti senang sekali kalau ada yang mau mengajari aku memasak.
"Ya sudah kalau gitu, mulai besok, ya. Kita belajarnya ga cuman praktek, tapi juga bakal belajar dari orang-orang yang jualan di pinggir jalan. Gimana?", nada suara Bang Fannan terlihat antusias.Â
Aku mengangguk dengan sangat antusias.Â
"Akila, bisa ikutan?", Kak Darra menanyakan pada Akila, pasti urusannya konten.Â
"Bisa, Kak", Akila menjawabnya dengan tertawa. Tangannya sambil menggenggam erat tanganku dibawah meja, menunjukkan dia ikut senang. Akila, salah satu teman baikku yang sangat mendukung aku belajar masak.
**
Sejak hari itu Bang Fannan selalu ke Wita setiap pukul 21.00, saat Wita sudah tutup.Â
Akila tidak bisa tiap hari mendampingiku, karena ada beberapa kelas kuliahnya yang mengharuskan dirinya hadir.
Sebulan kemudian, Bang Fannan sering mengajakku makan di luar, sambil interview orang-orang yang berjualan makanan di pinggir jalan.
Bila sangat ramai, Bang Fannan menyuruhku untuk melihat cara penjualnya memasak dan meracik bumbu.Â
Dan setelahnya, pasti Bang Fannan memintaku untuk mencatatnya, kemudian mengajakku berdiskusi.Â
Pulangnya, Bang Fannan pasti mengantarku pulang.Â
Karena ternyata kontrakan kami dekat dan jam kerjanya sama, paginya Bang Fannan pasti mengajakku ke pasar terlebih dahulu, untuk belajar mencium masing-masing bahan makanan, sebelum mengantarku ke Wita.Â
Apabila ada bahan makanan yang aku tidak tahu rasanya, ia pasti langsung membelinya, supaya aku mencicipinya langsung secara mentah.
Pelan, tapi pasti, ilmuku bertambah, dan sudah pasti menikmati waktu yang dihabiskan bersama Bang Fannan.
Sangat terpukau dengan gestur tubuhnya saat memasak, terlihat begitu lihai. Terpesona cara dia mengobrol dengan orang-orang yang berjualan makanan di pinggir jalan, sangat humble dan humoris. Hebatnya, semua orang yang dia ajak ngobrol sangat antusias untuk berbagi ilmu.
"Hari ini kita mau coba makanan yang mana, Bang?" tanyaku sambil berjalan disampingnya.
Hari ini kami ke pasar lama, pusatnya kuliner. Disini banyak sekali deretan makanan yang dijual, juga tentu banyak pengunjung yang datang untuk makan, berwisata dan berselfie.
Bang Fannan hanya tersenyum, "hmm... hari ini coba apa lagi ya..?", kemudian tangannya menggandeng tanganku.Â
Aku terkesiap sejenak, menyembunyikan senyumku, tapi tanganku menggandeng tangannya. Aku tidak berani menengadahkan kepalaku ke wajahnya, takut ini hanya fantasi. Aku hanya ingin menikmati saja.
***
Di tahun ini...
"Tika, saya daftarin kamu untuk ikut MasterCook". Kak Darra datang dengan wajah yang begitu sumringah.Â
"Kak! Aku belum bisa, belum PD", sergahku. Wah, Kak Darra benar-benar gila...
"Coba saja dulu! Jadi kan bisa tahu kemampuanmu sampai mana" Kak Darra menunjukkan gigi-giginya yang putih.
Yang benar saja... aku belum siap...
"Tapi, Kak, Wita nanti gimana, kalau aku ikut MasterCook?" Mengingat hanya aku dan Akilla yang bisa masak. Akilla sendiri tidak bisa setiap hari standby, kalau ada kelas kuliah offline.
Sejak skill masakanku meningkat, pengunjung Wita semakin banyak. Setiap hari ada saja orang yang datang untuk makan disini.
Apalagi Akila begitu rajin mempromosikan masakanku melalui sosial media, berikut dengan meminta review dari pembeli-pembeli yang datang.
"Tenang, itu bisa diatur. Yang penting kamu ikut. Coba dulu, siapa tahu ini pintu kesuksesanmu". Kak Darra begitu antusias, sambil menangkup wajahku yang bundar dengan kedua tangannya.Â
Sebagai atasan, ia benar-benar peduli padaku, bahkan aku menganggap dirinya sudah seperti kakak kandungku, begitu juga dengan Kak Juwita.
Mereka berdua benar-benar sangat mendukungku, dan memperhatikanku.
**
Sangat tidak disangka, aku lolos babak seleksi pertama dan kedua.
Babak berikutnya, aku diminta untuk membawa peralatan masakan dan bahan baku sendiri, karena panitia hanya menyediakan kompor.
Aku rencana ingin membuat Gulai Ikan Kakap Padang, sesuai resep yang diberikan mamaku. Aku ingin membuat mamaku bangga. Anak dari jawara masakan sekampung, sekarang ikut MasterCook.
Semoga bisa lolos. Amin.
Hari itu Wita libur, supaya Kak Darra, Kak Juwita dan Akilla bisa menemaniku. Bang Fannan dan Kak Mirah juga minta izin cuti, supaya bisa memberikan dukungan.
Semua bahan dan bumbu sudah lengkap.Â
Butir keringatku serasa bermunculan karena tegang sekali. Tim kreatif MasterCook memberikanku  pengarahan saat nanti kamera on dan script pendek saat aku berada di depan para juri.
"Santai aja, jangan tegang, muka kamu camera face, kok", kata salah satu kakak tim kreatif menenangkanku. Sepertinya penampilan peserta menjadi salah satu syarat tak terucap kalau masuk MasterCook.
Untuk menutupi kegugupanku, aku cek kembali bahan yang kubawa.
Ikan kakap sudah ada, santan kelapa, jeruk nipis, cabai merah, bawang merah, bawang putih, ketumbar butir, kunyit, kemiri, jahe, cabai hijau, daun salam, daun kunyit, serai, kaldu bubuk, gula,gara. Pas semua sudah terbawa.
Tuhan, berkati aku... aku menarik napas dalam-dalam... tolong saya...
*
"Gimana???", tanya Kak Juwita dan Kak Mirah dengan lantang dan bersamaan saat aku keluar dari ruangan.Â
Kak Darra berpegangan tangan dengan Akilla dengan wajah berharap.Â
Mereka berkelompok secara alami, ekstrovert sama ekstrovert, introvert dengan introvert.
"Taraaaaa!!!" Aku melompat girang sambil menunjukkan tiket lolos yang tadinya aku umpatkan dibelakangku.
Mereka berempat langsung menghambur dan memelukku, sambil melompat kegirangan bersama.
Kak Darra dan Kak Mirah mengeluarkan air mata bahagia.
Bang Fannan ada didepanku, ia tersenyum. Aku pun turut tersenyum. Ingin memeluknya, tapi ragu...
"Udah peluk aja! Jangan ditahan-tahan!" Kak Juwita memang selalu ceplas-ceplos kalau bicara. Tapi membuatku senang.
Bang Fannan langsung lari, dan memelukku, kemudian menggendongku berputar.
Kita tertawa bersama.Â
"Selamat yaa...!" Bang Fannan mengelus kepalaku sambil tertawa girang. Tentu sebagai guruku, dia pasti sangat bangga.
***
Babak demi babak sudah kulewati.
Aku hampir nyaris selalu dieliminasi. Huhuhu...Â
Benar-benar reality show ini sangat menegangkan.Â
Diantara semua peserta, bisa dibilang keahlianku sangat minimalis. Benar-benar tekad adalah modal utamaku.
Walaupun bersaing, para peserta akrab satu sama lain, kami saling bergurau, dan saling berbagi pengalaman memasak. Aku jadi belajar lebih banyak lagi. Setidaknya aku memiliki pengalaman.
Bahagia juga saat mendengar, Kak Darra sudah bisa memasak menu makanan di Wita, membantu Akilla.Â
Akilla pun sekarang ikut kursus digital marketing.Â
"Katanya Kak Darra dan Kak Juwita, aku mesti belajar juga, ga boleh cuman ikut senang buat kamu aja, jadi aku didaftarkan kursus sama Kak Darra", lapor Akilla melalui telepon.Â
Kami langsung tertawa bersama.Â
Benar-benar beruntung kami memiliki atasan yang sangat mendukung pertumbuhan kami berdua.Â
"Semangat ya, Tika! Kamu pasti menang!".
Andai Akilla ada disini, pasti aku memeluknya dengan erat. Bahagia sekali.
Kangen sekali dengan keluargaku, tim Wita dan Bang Fannan...
*
"Tika... ada yang cari", Mba Fia, salah satu tim kreatif MasterCook memanggilku untuk keluar.
"Siapa, Mba?", tanyaku penasaran, karena baru tahu peserta boleh dikunjungi.
"Fannan. Kamu boleh izin dulu ya, kalau sudah selesai baru kembali.." suara Mba Fia menggambarkan keprihatinan. Ada apa?
"Bang Fannan...", ingin sekali aku memeluknya, tapi entah mengapa raut wajahnya menunjukkan ini bukan pertemuan kangen-kangenan.
"Tika, ikut yuk... beberapa jam saja..."
"Kenapa, Bang?" tanyaku penasaran.
"Kak Darra kecelakaan", katanya sambil menggandeng tanganku, supaya aku langsung jalan.
"Kok bisa? Sekarang di rumah sakit mana?", jantungku benar-benar berdegup kencang. Pasti situasinya gawat, kalau engga, ga mungkin Bang Fannan sampai menjemput.
"Meninggal, Tika..."
*
Di rumah duka, Akilla sama sekali tidak bisa berhenti menangis, Kak Juwita pingsan berkali-kali.
Aku kini berlutut didepan peti mati Kak Darra, juga tidak bisa berhenti menangis.
"Mestinya aku bilang Kak Darra gausa datang ke Wita, ujan besar..." Akilla berkali-kali mengatakan penyesalannya.Â
Sore itu hujan begitu deras, bahkan seperti badai.Â
Sepertinya hujan di wilayah kami tidak rata. Di rumah Kak Darra, yang berjarak tiga puluh menit dari Wita, sama sekali tidak turun hujan.
Kak Darra lebih senang mengendarai motor.
Wilayah kami cukup banyak clubbing, bar, dan kedai yang menjual alkohol. Seringkali orang yang agak mabuk tetap memaksa berkendara, biasanya pengendara mobil.
Orang itu mengendarai mobilnya dengan begitu cepat, dan sepertinya tidak ada perhitungan sama sekali. Ia menabrak dua kendaraan bermotor, dan kedua pengendara motor terpelanting jauh karena benturan keras dan motornya tergelincir. Helmnya ada yang terpelanting, juga ada yang terbelah dua.
Kak Darra dan korban satu lagi sama-sama mengalami pendarahan otak parah.
Mereka langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh orang-orang setempat.Â
Kak Darra sempat hilang ingatan, kemudian sadar sebentar. Lalu katanya mau tidur, karena mengantuk.Â
Tengah malam, tiba-tiba tensi darah Kak Darra turun, kesadarannya semakin menurun. Dan terlelap selamanya...
***
Hari ini...
"Tika, semangat.. pasti menang!" Kak Juwita memberi semangat. Sepeninggalnya Kak Darra, Kak Juwita semakin kurus setiap harinya. Ia selalu ditemani oleh sahabatnya, Kak Hayu.Â
Sebenarnya aku sudah mau mundur dari MasterCook, karena merasa bersalah. Kalau saja aku bersikeras ga mau ikutan, pasti Kak Darra masih hidup.
"Kamu harus lanjutin. Kak Darra pengen banget kamu tuh sukses, Tika!", Kak Juwita membujukku dengan matanya yang sayu, dan bawah matanya yang semakin menghitam, tanda jarang tidur.
"Iya, Tika. Kak Darra selalu nonton, bahkan kalau sudah masuk YouTube, Kak Darra pasti selalu nontonin. Kalau ada teman-temannya datang, dia pasti membanggakanmu", Akilla turut menyemangatiku sambil menitikkan air mata. Matanya selalu sembab dan wajahnya sangat kuyu, dia masih merasa bersalah.
"Kamu juga yang rajin kursus dan kuliahnya, Akila. Kak Darra juga mau kamu berhasil. Sudah takdirnya Kak Darra, Killa. Jangan nyesel", Kak Juwita turut menyemangati Akilla, sambil menepuk punggungnya.
Hari ini adalah babak penentuan juara satu dan dua.Â
Sejak obrolan dengan Kak Juwita dan Akilla, aku menenggelamkan diriku untuk banyak belajar dan mengulik menu Asia, kesukaan Kak Darra. Aku ga mau kecewain Kak Darra.
Aku meminta pengertian tim kreatif untuk sesedikit mungkin masuk dalam frame kamera, aku belum sanggup untuk menunjukkan keceriaan di depan kamera. Dan mereka mau memahaminya.
Minggu demi minggu, hasil olah makananku sering mendapat pujian dua dari tiga juri yang hanya sangar saat kameran on. Keahlian dan cita rasaku maju begitu pesat, begitu kata para juri.
Aku tidak lagi berada diposisi hampir tereliminasi, melainkan pilihan pertama, kedua, ketiga, paling kecil keempat.
Dan sekarang aku berdiri di posisi dua terbesar.
Papa mamaku datang ke kota ini, bersama dengan paman, bibi dan sepupu-sepupuku untuk menyemangatiku.
Kak Mirah, Kak Juwita, Akilla, Bang Fannan dan teman-temanku juga datang memberikan semangat.
Hari ini aku akan membuat makanan kesukaan Kak Darra, sekaligus mau membanggakan pulau kelahiranku, Sumatera.
"Tika, Akilla, dendeng balado-nya enak deh, kalian rasain", Kak Darra membeli nasi padang supaya bisa dimakan bersama.
Di hari yang lain..
"Masakan Sumatera enak-enak, lho. Kamu kan lahir di sana, pasti lidahnya sudah lidah Sumatera, coba dikulik", Kak Darra kadang suka sotoy, padahal tahu aku asli Jawa Sunda.
***
"Dann... pemenang MasterCook tahun ini... SUBIANTOROO" MC meneriakkan nama lawanku.
Subiantoro langsung melompat kegirangan.Â
Balon dan popper menghujani kami berdua.
Aku turut tersenyum sumringah, walau hati kecewa. Maaf, Kak Darra...
Para Juri bergantian memberikan selamat pada Subiantoro dan aku.
Chef Marina, salah satu juri, yang berada dihadapanku, langsung memelukku, "kamu hebat dan berbakat, Tika. Ikut kelas formal, pasti lebih hebat lagi".
Pujian chef senior yang asli killer didepan dan dibelakang kamera, membuatku menetes air mata terharu. Jarang sekali chef ini mau memujiku, dan pujian ini pasti bukan sekedar pemanis kata.
"Terima kasih, Chef", masih terharu dengan pujiannya.
***
Aku melarung bunga untuk Kak Darra.
Orang pertama yang ingin aku pamerkan mendapatkan juara dua MasterCook.
Dia, salah satu orang yang sangat mendorongku untuk mengoptimalkan kemampuanku, padahal hampir tidak ada yang percaya padaku, bahkan aku sendiri bisa memasak seperti sekarang, selain Kak Juwita.
"Kak Darra pasti ikut senang, Tika! Terima kasih ya.. saya juga jadi terpacu lebih baik lagi", Kak Juwita menemaniku. Wajah dan matanya kini terlihat lebih segar.
Kami saling berpelukan
Aku, Akilla dan Kak Juwita berjanji untuk membuat Wita berkembang, memiliki banyak cabang dengan tema masakan dan minuman Nusantara yang sehat seperti impian Kak Darra.
"Supaya generasi muda ga pernah lupa rempah kita itu bagus, sampai negara orang rela berdagang, bahkan ambi banget buat menjajah negara kita. Dan sadar juga kalau diolah dengan benar, rempah kita malah menyehatkan, kok", Kak Darra selalu berbinar kalau berbicara tentang rempah Nusantara.
Selamat jalan, Kak Darra. Semoga kemenanganku menjadi hadiah terindah untukmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H