“Apa?”
“Apa tadi?” tanya Mocsya yang seakan baru sadar dari pingsan panjangnya.
“Mengapa kita tak boleh membuang-buang air sembarangan?”
“Tidak tahu.”
“Karena air ini dimasak dengan energi yang banyak. Jadiiiiiii, jangan dibuang!” kata Ismi menjelaskan.
“Oh, ya,” kata Mocsya yang selalu membuang apa saja. Apa saja yang dia rasa sudah tak berguna. Sudah menjadi sampah. Sampah adalah sampah, itulah yang sudah tertanam di otak Mocsya. Buanglah sesuatu kalau itu memang tak ada guna. Untuk apa disimpannya. Mocsya tak pernah berpikir tentang energi segala.
“Sebelum kita berbicara ke mana-mana, sebaiknya kita solat dulu. Kalau sudah solat pasti enak. Kita bisa apa saja!” ajak Bagus.
“Ayo!” Ismi pun semangat. Ismi memang tak pernah meninggalkan perintah Tuhan yang satu itu. Kemana pun Ismi pergi, pasti ada mukena di dalam tasnya.
Mocsya yang bingung. Mocsya seorang muslim. Tapi solatnya cuma dua kali setahun. Kalau Idul Fitri dan Idul Kurban saja. Solat Zuhur selalu kelewat. Asar tak pernah ingat. Magrib asyik di depan tivi. Isya sudah keburu mengantuk. Untuk apa solat ya?
“Cepat, Ca! Kakek sudah menunggu.”
Mocsya bergegas. Mengambil wudu. Di tengah Jakarta yang panas, sepanas-panasnya dan terik, seterik-teriknya, guyuran air wudu di muka telah membuat sensasi tersendiri. Sejuk. Sejuk sekali. Segar. Segar sekali. Tak terbayangkan. Mocsya membasuh muka sampai tujuh kali.