“Tidak?!”
“Iya, kamu memang tidak pernah masak. Jangankan masak, letak dapur saja tidak tahu, kan? Kalau makan juga diambilkan. Iya kan?”
“Betul. Betul. Aku tahunya pintu keluar rumah. Soalnya aku bosan di rumah. Di rumahku tak pernah ada orang. Paling adanya Mba sanah.”
“Siapa Mba Sanah?”
“Pembantu di rumahku, Gus”
“Kakak kamu ke mana, Ca?”
“Kak Sevi sibuk dengan kuliahnya. Berangkat pagi, pulang sudah malam. Kalau pun pulang siang, dia lebih sering ada di dalam kamar. Mengerjakan tugas.”
“Bunda sama ayahmu, Ca?”
“Sama. Tak pernah mereka mengajak ngomong aku. Berangkat pagi, pulang malam. Kecapaian. Seperti orang indekos saja mereka. Numpang tidur,” ada nada sedih pada suara Mocsya. Meski Mocsya sudah berusaha menyembunyikannya, tapi Bagus masih merasakan nada sedih pada kata-kata Mocsya.
“Sudahlah. Jangan diteruskan. Kalau diteruskan nanti banyak dosa.”
“Tapi bagaimana dengan komposnya, Gus?”