Mocsya meloncat setinggi-tingginya. Benar juga kan kompornya meledak. Jangan-jangan Mocsya sudah meninggal, pikir Mocsya. Tapi tidak. Nyatanya …
“Ha, ha, ha, haaaaaaa …!” tawa Bagus.
Ya. Tawa Bagus. Kalau masih mendengar tawa Bagus, berarti Mocsya belum meninggal. Pelan-pean Mocsya membuka mata. Bagus ada di depannya. Tertawa.
“Suara apa, Gus?”
“Penggorengan yang aku tabuh, tahu!”
“Hampir mati aku.”
“Makanya, sekali-kali mampir ke dapur. Masa menyalakan kompor saja takutnya setengah mati. Pakai memejamkan mata segala.”
Mocsya malu sendiri.
Nasi pun digoreng. Keringat mereka berdua pun bercucuran. Kepanasan karena dekat kompor. Tak apa. Ada yang menetes masuk dalam nasi. Tak apa juga. Biar tambah rasa. Rasa keringat Bagus. Rasa keringat Mocsya.
Mocsya baru tahu arti perjuangan. Sekarang Mocsya sedang berjuang. Berjuang untuk sepiring nasi goreng. Biasanya tinggal makan. Tak tahu bagaimana membuat nasi goreng. Ternyata repot juga.
Mocsya menyesal kalau ingat suka membuang nasi goreng yang dibuat Mba Sanah. Padahal Mba Sanah sudah membuatnya dengan susah payah. Besok-besok, Mocsya akan makan semua nasi goreng yang dibuatkan Mba Sanah, ah. Mocsya janji.