“Tidak. Memangnya kenapa?” Bagus balik bertanya.
“Tadinya aku mau main ke rumahmu,” kata Mocsya kecewa.
“Kalau begitu, aku tidak jadi ke kios,” Bagus tidak tega melihat rona kecewa pada wajah Mocsya.
“Ayo!” ajak Mocsya dengan semangat empat puluh lima.
“Tunggu dulu.”
“Ada apa, Gus?” tanya Mocsya.
“Ismi sama Fani juga mau ke rumah. Bareng saja,” jawab Bagus yang langsung membuat muka Mocsya merah delima, eh merah padam, semerah-merahnya. Untung Bagus tidak memperhatikan perubahan muka Mocsya. Jadi, Mocsya tak perlu meneruskan rasa malunya. Pura-pura Mocsya sibuk mencari sesuatu di dalam tas.
“Siapa?” tanya Mocsya hanya sekedar tanya. Karena Mocsya memang sudah dengan jelas sekali siapa yang akan ke rumah Bagus bersamanya.
“Ismi sama Fani. Tuh dia!”
Bagai sihir. Kata-kata Bagus yang terakhir. Mendengar Ismi juga mau ke rumah Bagus, Mocsya menjadi salting, salah tingkah. Kalau ada Ismi, Mocsya pasti menjadi pendiam. Tidak seperti biasa. Pokoknya, kalau dekat Ismi, Mocsya selalu ragu untuk bicara.
“Is, jadi?”