Aku terdiam, meremas tanganku sendiri, menahan kekesalanku pada Rinka.
"Aku permisi." Dia pamit, pertemuan siang ini terbilang pahit.
Aku membanting tubuh pada kursi kerjaku yang empuk, memutarnya menghadap ke kaca yang mengantarkan luas pandanganku pada hamparan gedung-gedung yang berlomba mencapai langit ibu kota.
***
Waktu berjalan begitu lamban. Bagiku, musim pengantin selalu menjadi musim terlama di setiap tahun. Tapi kejutan seakan tak ada habisnya. Siang ini, tepat sehari setelah aku merayakan ulang tahun ke 34, seorang pria datang, duduk seperti Rinka beberapa hari lalu.
Raffi Wardhana, teman sejak SMP. Tampilannya lebih menarik, pipinya bercambang tipis. Dua puluh tahun sudah dia tinggal di Amerika.
"Kamu masih sendiri?" tanyanya.
"Seperti yang kamu lihat. Tapi, jangan kau coba merayuku."
"Hahaha. Asal kamu tahu, banyak pria di luar sana melafalkan namamu Wulan Purnama Adijaya dalam doanya. Tidakkah ada yang menarik perhatianmu satupun?"
"Tidak sama sekali. Kamu sendiri, kenapa belum punya istri? terus, tumben kamu pulang?"
"Justru itu, aku pulang buat cari istri. Hahaha."
Sejenak aku terdiam. Pandanganku turun pada dasar meja kerjaku yang bening.