Sepuluh tahun lalu, belum juga aku lulus S1, dia, Deny Sandra datang membawa keluarganya ke rumahku. Jelas maksud mereka melamarku. Aku menolaknya. Aku pernah berbincang intens dengannya.
"Apa tujuanmu menikah?" tanyaku.
"Tentu melestarikan keturunan, berkembang biak. Hahaha." jawabnya diakhiri tawa yang renyah. Sudah tergambar jelas pikirannya yang melayang ke mana saja membayangkan yang tidak-tidak.
"Dari awal, kita sudah tak sejalan, pergilah, jangan berharap apapun lagi dariku."
"Lho, memang begitu kan Wulan? Apa kamu tak ingin punya anak?"
"Aku pergi!"
Kala itu, aku meninggalkannya dengan segenap kebingungan yang kutangkap dari sorot matanya, yang kuyakin mengikutiku terus hingga aku benar-benar lenyap dari pandangannya.
Suaranya juga mengingatkanku pada empat pria lainnya, yang juga kutolak lamarannya. Dan, sungguh menyakitkan, itulah yang memperburuk hubunganku dengan ibu di kemudian hari.
Yang tentu saja semuanya sama-sama buntu karena satu hal, berkaitan dengan anak, dengan keturunan. Yang otomatis, menyeret dan menuntut kesucianku. Yang paling aku tak ingin, paling aku  tak mau.
"Wulan?" suaranya menyadarkanku dari lamunan.
"Ya, tentu aku ingat." jawabku, sesingkat mungkin. Tak ingin aku terdengar ramah, seolah memberi harapan lagi padanya.