Setelah dirasa netral, aku kembali membuka suara, menjawab pertanyaan yang sedari membuat lidahku gatal ingin menjawab.
"Bukan soal anak. Tapi..., caranya. Aku bisa punya anak, tinggal adopsi anak saja. Banyak anak di panti asuhan bisa diadopsi.
"Ah! Baru aku paham. Tapi, seperti yang kemarin kau katakan bukan, kau tidak ada gunanya jika begitu."
Ucapannya terasa menusuk. Namun, tidak membuatku emosi seperti biasanya, jika dia yang mengatakannya, aku malah semakin ingin meresapi ucapannya.
"Tapi, bagiku sih gak masalah. Kalau kau tidak mau ya tak apa. Mungkin kau berdosa karena tidak memberi hakku dan menjalankan kewajibanmu."
"Hah?" aku kebingungan, entah, aku pura-pura bingung lebih tepatnya. Jelas aku mengerti maksud ucapannya.
"Hahaha! Gak, gak usah dipikirkan."
Kami melanjutkan makan, perbincangan beralih ke lain hal dan Raffi seolah menghormati dan mengerti aku, tak sekalipun lagi ia menyinggung soal pernikahan, soal hubungan. Aku semakin tertarik. Dia berbeda.
Namun, setiap kali sudah bertemu dengannya, pikiranku menelisik jauh. Lelaki mana yang bisa membuatku begini? Dialah orangnya. Segala rasa yang dulu tak pernah ada atau memang tak pernah ku beri ruang kehadirannya, kini hadir. Ya, aku jatuh cinta.
Ini akan menjadi kabar gembira bagi ayah dan ibu. Tapi, aku akan menyimpannya sementara, sebelum aku yakin dan semuanya benar-benar nyata.
Namun, beberapa bulan lamanya, kala aku sedang meniti rasa sedang Raffi perlahan hilang. Banyak spekulasi berkelebat, aku kehilangan kabar. Begitupu, dia menutup diri dari dunia, menutup akses bagi orang lain untuk mengetahui tentang dirinya, kabarnya, dan keberadaannya.