Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Dingklik Simbok

28 Agustus 2016   15:50 Diperbarui: 28 Agustus 2016   20:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dingklik satu kata benda yang terbuat dari kayu. Rendah di bawah lutut dan tinggi di atas mata kaki. Dingklik adalah symbol kearifan budi dan kesederhanaan hidup. Nama dingklik akan berubah seratus delapan puluh derajat ketika manusia-manuisia itu menyebutnya sebagai kursi.

Atas nama kursi mereka kibarkan janji-janji, atas nama kursi manusia menggadaikan nyali, nafsu segunung modal seuprit, atas nama kursi mereka menanggalkan hati nurani. Atas nama kursi mereka mati-matian iseng sendiri.

Atas nama kursi manusia menjual ayat-ayat kursi. Kursi symbol kekuasaan, kesombongan diri, kehormatan di atas kemelaratan, status social yang dibuat dalam bayang-bayang. Dingklik oglak aglik hanya milik rakyat jelata. Menemani anak-anak desa bermain di pelataran saat bulan purnama.

Babak I

Di rumah joglo berdinding kayu itu Bapak sedang asik memanjakan perkututnya. Terlihat Simbok sedang menyapu di sebelahnya. Yang sebentar-sebentar menatap jalan kalau-kalau anaknya Marzuki akan pulang hari itu.

Simbok            :”Sekarang sudah tanggal berapa Pak?”

(sambil melirik Bapak, pandangan Simbok tak henti-hentinya menatap jalan itu).

Bapak              : “Sekarang tanggal sepuluh Desember, Bu. Ada apa kok tanya tanggal terus ha? Mengharap gajihan Bapak? La Bapak aja bukan priyayi yang setiap bulan menerima gaji to, Bune.” (jawabnya datar tak bergeming dari hadapan sangkar burung itu)

Simbok            :”Itu berarti sebentar lagi tahun baru ya, Pak?” ( menarik nafas panjang)

Bapak              : “Iy,a tahun selalu berganti baru, musim ikut berlalu. Juga anakmu yang sifat dan kelakuannya ikut-ikutan baru.”

Simbok            : “Marzuki Tole anakku cah bagus, tubuh tua ini mungkin sudah tidak berguna dimatamu, Le. Bisa dikatakan barang rongsok yang sebentar lagi dilelang ke toko loak.” (gumam lirih Simbok seakan Marzuki ada di depan matanya. Langkahnya terenti menatap jalan setaPak menuju rumah tua itu)

Bapak              : “Sudah-sudah, jangan kau ingat-ingat lagi bocah itu, tugas kita sudah cukup.” (Jawab Bapak dengan nada tidak senang).

Simbok            : “Dingklik tua milik Simbok ini simbol kesederhanaan, tapi tidak dengan kursimu, Marzuki. Kau kini berubah. Benda itu telah mengubur hatimu yang dulu Mbok kenal.” (perlahan Simbok menduduki dingklik tua dari kayu akasia yang dibuat suaminya beberapa tahun silam).

Bapak              : “Kursi-kursi itu buatan pribumi dari ladang petani. Kini disulap dengan pernis mengkilap. Tapi sayang pemakainya lupa bahkan mungkin tidak kenal pembuatnya, Bune. Dari tubuh legam petani inilah barang-barang mereka di sulam, juga nasi yang jadi bumerang karena rakyat disuruh diet. Ndak ilok makan nasi kebanyakan nanti bikin otak bodoh dan tak bertenaga. Ya, mungkin kita disuruh makan sandal saja nanti juga kenyang.”

Simbok            :”Dingklik oglak aglik…yen kecelik adang gogik.”

Simbok menerawang menatap halaman rumah itu. Tatkala memori masa-masa kecil Marzuki melintasi matanya penuh rindu membiru. Lima belas tahun silam di halaman itu sangat ramai marzuki dan teman-temannya dolanan disaat bulan purnama menyenandungkan dingklik oglak aglik berkeliling menyilangkan kakinya sambil berputar-putar. Suara itu masih terdengar kuat di genderang telinga simbok.

Yo Pasang Dingklik oglak aglik

Yen kecelik adang gogik

Yu yu mbakyu mangga datheng pasar blanja

Leh-olehe napa

Jenang jagung enthok enthok jenang jagung

Jenang jagung enthok enthok

Jenang jagung enthok enthok

Tembang dolanan dingklik oglak aglik

Babak 2

Dari balik pintu muncul gadis cantik berperawakan lugu, senyumnya sangat indah, lesung pipi bak palung madu yang bergelantung membuat pemuda mabuk kepayang melihatnya. Gadis itu bernama Kinanti. Kekasih Marzuki yang sudah lima tahun ditinggalkannya dikampung itu.

Kinanti            : “Kulonuwun Mbok?”

(seperti biasa Kinanti setiap hari datang menjenguk Simbok. Harapannya barangkali Marzuki datang dan akan segera melamarnya)

Simbok            : “Masuklah, cah Ayu, jangan berdiri di pintu. Aku takut nanti angin jahat mengintip isi hatimu.”

(jawab Simbok degan nada menggoda melihat putrid cantik yang setia mengunjunginya tanpa rasa lelah)

Kinanti            : “Di pintu ini aku selalu menanti Akang, barang kali angin musim membawa Akang pulang ke rumah.  Setiap senja yang kuharapkan nafas Akang yang menghirup biduk rinduku. Meski entah berapa lama aku harus menunggu pergantian musim, Mbok.”

Simbok            : “Barangkali Marzuki bukan jodohmu, Nduk. Jangan kau sia-siakan umurmu.”

                         “ Angin di luar sana sangat kencang hingga Marzuki lupa jalan pulang.”

Bapak              : (Bapak muncul sambil batuk-batuk)

”Ehem...ehem. Anak lanangmu itu memang sudah kelewatan. Lupa daratan. Dia sudah mengapung di langit, barangkali dia mau hidup di bulan.” (menggeleng-gelengkan kepala)

Kinanti            : “Di rumah ini aku selalu mencium aroma Akang, meski secara indrawi dia  sudah pergi beberapa tahun yang lalu. Tapi nafas itu menyatu dengan paru-paru Simbok.. Di kedalaman hati Simbok terlukis rindu yang sama-sama menggebu. Biarlah rindu kita berbaur melebur.”

Simbok            : (Simbok menatap erat Kinanti yang duduk tak jauh dari tempat Simbok)

“Tidakkah kau lihat Marzuki, perempuan ini berhati bening. Tidak seperti perempuan di luar sana. Wajahnya penuh topeng.”

Bapak              : “Topeng itu sudah tradisi, Bune. Jaman sudah berubah. Yang palsu itu malah jadi barang mahal dan diburu manusia keblinger. Semua serba plastic yang bisa dicetak daur ulang. Bukan hanya embermu itu yang katanya anti pecah. Dibanting-banting  tukang kredit ditawarkan keliling kampong.”

Wajah ayu Kinanti tetap menyunggingkan senyum, dia sangat yakin dengan kekasihnya Marzuki. Meski tak ada kabar beritanya beberapa tahun terakhir. Cintanya murni bak liontin 24 karat, bukan imitasi yang sering di lebur ditoko imitasi setiap kali ingin mendapat pujian.

Kinanti            : “Manusia itu kadang lupa, Mbok. Kinanti berharap setiap waktu memungut jejak langkah Akang. Barangkali esok atau lusa ia akan kembali mengambilnya. Juga mungkin dia akan menagih nafas yang ia keluarkan dimalam sunyi.”

Senyumnya mengembang membayangkan sosok laki-laki istimewa di hatinya. 

Babak 3

Semerbak bau tanah basah yang tersiram hujan tadi malam seakan menguap bersama datangnya mentari pagi itu. Perkutut Bapak dengan riangnya menyuarakan hati Simbok meski nadanya kadang kacau. Sambil menikmati kopi tumbuk yang dibuat Simbok dari hasil kebunnya, Bapak sangat menikmati seduhan manis mengepulkan kesederhanaan yang damai itu.

Bapak              : “Semua berita di TV kok isinya sampah. Gak yang di got gak di gedung semuanya isinya tikus!”

(Bapak menggerutu sambil memencet tombol remot berganti-ganti chanel)

Simbok            : (sambil memipil jagung Simbok duduk di dingklik kayu)

 “Ya begitulah, Pakne. Sampah sudah lumrah. Lha setiap hari kita yang membuat sampah-sampah itu kok. Dari bangun tidur sampai tidur lagi manusia membuat sampah. Masak manusia melupakan sampahnya sendiri. juga mereka yang di kursi-kursi senayan sana. Setiap hari juga membuat sampah. Di kusi itu juga mereka bertengger di atas gaungan janji-janji.”

Bapak             :”Janji-janji itu seperti banjir bandang yang tak bisa dibendung keluar dari mulut orang-orang yang mengaku paling mampu membuat Negara ini menjadi lebih baik. Semakin menjelang hari ‘h’, janji-janji itu makin mengepung pikiran dan hati masyarakat. Padahal janji bukanlah sekadar buah pemanis mulut saja.”

Simbok            :”Janji adalah sebuah kontrak psikologis yang menandakan transaksi antara dua pihak. Itu terlihat sangat ringan lidah menyampaikan dijual ke masyarakat. Akibatnya, begitu mudah pula mereka melupakannya.”

Bapak              : (sambil nyruput kopi buatan Simbok)

“Dunia sudah edan. Seperti wajah pendidikan sekarang ini, Bune. Sepertinya angka-angka itu lebih menghipnotis masyarakat ketimbang nilai-nilai kemanusiaan.  Sudah  barang  tentu  lulusannya  juga  mengejar  angka. Kayak

anakmu itu, Bune. Pendidikan semestinya memanusiakan manusia, bukan membabi buta senggol sana-senggol sini. Kepintarannya memperalat manusia. Lupa daratan lupa orang tua. Suka minteri tapi aslinya juga gak pintar. Kalo hanya mementingkan evaluasi ujian sudah barang tentu dengan sekuat tenaga akan mengejar nilai-nilai itu. Lha mendingan Bapakmu ini to  Marzuki. Orang yang tak pernah makan bangku sekolahan. Tapi jujur!”

Simbok            : “Sekarang ini banyak orang pinter, tapi sangat sedikit orang yang ngerti. Kalau pinter itu bakal minteri orang, tapi kalau orang yang ngerti paham ajaran paham ilmunya dia akan takut sendiri karena Tuhan yang mengawasi bukan polisi atau tentara juga KPK. Lagi-lagi dibalik kursi-kursi itu mereka bisa berbuat sewenang-wenang, Pakne. Padahal mereka bisa duduk di sana kan karena rakyat kecil seperti kita.”

 (menghela nafas sambil berdiri menjemur jagung)

Bapak              : “Hanya orang yang mengaku dirinya bermartabat dan ngaku berpendidikan tinggi menyebut dingklik dengan kata kursi, Bune. Kursi yang jadi rebutan. Kursi yang membuat manusia lupa diri. Kursi yang diperjuangkan sampai mati-matian.  Kursi untuk saling menjatuhkan. Kursi yang menjadi kehormatan. Waladalah…, fungsinya sama lo buat sandaran buntut yang pesing  la kok mlekete.”

Simbok            : “Dingklik hanya milik rakyat kecil seperti kit,a Pakne, rendah di atas mata kaki dan di bawah lutut. Beda dengan kursinya orang-orang di atas sana. Sebuah kursi jati berlapis busa empuk yang mewah bernilai pundi-pundi rupiah.”

“Tapi ntah mengapa Marzuki lupa akan dingklik Simboknya.”

Bapak              : “Marzuki itu sudah tergila-gila sama dingkliknya orang di atas sana, Bune.”

Simbok            : “Dulu semasa kecil Marzuki dengan senang hati membawa dingklik ini mengikuti Simboknya jualan nasi jagung keliling kampung. Kini dingkliknya dilupakannya.”

Bapak masuk kamar tanpa berkata apa-apa. Sambil menyedot rokok pipa tua kesayangannya. Simbok tetap asik mipil jagung sambil nembang lagu rindu untuk anak semata wayangnya itu.  

Dek jaman berjuang

njuukelingan anak lanang

Biyen tak openi neng saiki ono ngendi

Jarene wes menang

Keturutan seng digadang

Biyen ninggal janji

Neng saiki opo lali

Neng nggunung tak sadongi sego jagung

Yen mandung tak silii caping gunung

Sokor biso nyawang, gunung deso dadi rejo

Dene ora ilang goen podo loro lopo

Ciptaan Gesang.

Babak 4

Temaram lampu teplok yang berada di ruang tamu bergelantung lesu. Guratan asap mengepulkan kenangan yang semakin legam menorehkan noda diatap rumah itu. Rintihan Simbok semakin menambah lara lenggokan api yang memerah. Pun angin malam yang nakal memainkan rasa yang tak pernah sampai menembus kegelapan malam. Deru jangkrik pun gaungan nyamuk yang mengancam pori-pori turut menambah misteri malam yang datang setiap hari.

Simbok            : “Marzuki, Marzukii!

 (sambil menggigil Simbok demamnya cukup tinggi) Kinanti datang duduk di sebelah pembaringan menemani calon mertuanya. Bapak pun hanya mondar mandir manatap langit-langit kamar)

“Kaukah yang datang itu, Le. Kemarilah, Simbok sangat rindu. Ayo cah bagus temani Simbok tidur. Karena sebentar lagi Simbok akan kangen sekali. Rasa sakit ini tak seberapa anakku, dibanding rindu Simbok pada wajahmu itu, Le.”

Bapak              : “Sudahlah, Bu, doakan saja anakmu itu. Di sampingmu itu Kinanti bukan Marzuki.”

(Bapak semakin kuat menghisap rokoknya dari tembakau yang diirisnya dimusim yang lalu)

Simbok            : “Jika seragam itu membuatmu lupa diri, segeralah kau tanggalkan, Anakku. Simbok yakin hatimu sedang tertipu. Sarungmu sudah lama menunggu ingin mendekapmu penuh rindu. Sarung itu kejujuran diri menerima nasib. Bukan kepura-puraan.”

Kinanti            : “Ini Kinanti, Mbok. Saya yakin Marzuki tetap setia dengan sarung miliknya. Waktulah yang memisahkan keduanya.  Saat ini biarlah teman istimewa itu sepi, meski mereka bilang uang.” (sambil memeluk Simbok)

Bapak              : “Kinanti, apa kau yakin Marzuki lelaki yang baik? Sudah sepantasnya kau terima pinangan lelaki lain. Kamu hanya menyia-nyiakan waktu untuk orang yang belum tentu masih mengenalmu, Cah Ayu.”

Simbok            : “Kinanti, maafkan Marzuki. Meski kamu hanyalah kekasihnya. Tapi kamulah yang sebenarnya anak Simbok yang dikirim Tuhan menggantikan nafas Marzuki.” Simbok memeluk erat Kinanti

Kinanti membalas pelukan Simbok dengan erat. Dipagutnya rindu itu dari sosok perempuan lugu yang tak kuasa menahan rasa yang menggelegak. Seperti hatinya itu.

Simbok            :”Kinanti, jika suatu saat nanti Simbok sudah tidak ada lagi. Apakah kau akan tetap setia melihat gubuk ini? Dan membuatkan kopi tumbuk buat Bapakmu, Nduk?”

Kinanti            :”Sudahlah, Mbok. Mengapa Simbok berkata seperti itu? Kinanti akan setia untuk Bapak dan Simbok juga Akang. Meski suatu hari nanti toh Akang bukan jodoh Kinanti. Kinanti akan selalu ada buat Bapak juga Simbok.”

Bapak              : (menarik nafas berat)

“Seperti santan saja hidup ini. Santan kental dihasilkan dari kelapa tua akan menghasilkan jlantah yang harum. Diminum menyehatkan, dibuat sisiran juga baik buat rambut kepala. Berguna untuk minyak urut kaki saat keseleo. Tapi di luar sana banyak minyak kelapa instan yang didapatkan dari kebun industry. Meratakan hutan lindung membakar lahan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Rakyat jelata yang jadi korban karbon dioksida. Plepeken akhirnya terbunuh pelan-pelan.”

Rintihan Simbok semakin pelan dan hamper tak terdengar.

Kinanti                        :”Mbok!, Mbok! Aduh Bapak sepertinya demam Simbok  makin menjadi.”

Simbok            :”Marzuki…! Marzuki!” (suara Simbok terdengar kembali) “Simbok hanya berpesan padamu, Nak. Rawatlah dingklik Simbok itu. Kelak kau akan tahu rasa sayang simbok tetap terjaga dan menemanimu setiap saat menyandarkan tubuh tua ini seperti kesetiaan dingklik menemani hari-hari Simbok mencari sesuap nasi.”

Bapak              :”Bune! Bune! Sadar,  Bune!.”

Simbok            :”Bapak, Kinanti, Simbok titip Marzuki. Bagaimanapun dia adalah anak manja yang selalu minta perhatian. Simbok harus pergi. Biarlah rindu itu berlabuh di dingklik tua itu. Jangan lupa sampaikan juga kerinduan sarung sunatnya, yang masih menyimpan luka irisan lelakinya.”

Bapak tak kuasa berkata-kata. Dipandanginya perempuan tua yang kian anggun termakan usia itu. Angin berhembus beriringan suara jangkrik seakan menyaksikan malaikat Izrail dengan senyuman menyambut ruh kedamaian. Sosok tubuh tua itu melemah dan akhirnya matanya terkatup lesu. Tangis pun pecah bersama lenggokan teplok yang juga menangisi kepergian perempuan tua itu. 

Babak 5

Di balik pintu berkayu mahoni itu sosok yang selama ini menjadi buah bibir pun datang. Ia tampak lebih gagah daripada lima tahun lalu. Seragamnya necis dengan berbagai title bak anak pramuka yang sedang mengikuti jambore nasional.

Bapak              : “Rupanya kakimu masih menginjakkan bumi, Marzuki?”

                          “ Angin apa yang membuatmu ingat jalan menuju rumah ini?

Marzuki           : “ Tentu saja aku  datang, Bapak, karena ini adalah rumahku. Mana Simbok? Mbok! Simbok!”

(Marzuki berteriak memanggil ibunya dengan membuka setiap pintu kamarnya. Suasana rumah itu sepi tak ada makanan pun suara Simbok nembang seperti ketika dulu. Kelakuan Marzuki masih tetap sama seperti anak-anak yang manja)

Bapak              :”Siapa yang kau cari? Simbok?”

(sambil memegang tongkat Bapak tersenyum kecut berusaha menertawakan keadaan yang dianggapnya sangat lucu)

”Apa kamu juga masih ingat perempuan tua yang selama ini teracuni dengan rindu yang membuta hingga ajal menjemputnya?”

Marzuki           :” Maksud Bapak apa? Simbok ke mana, Pak?”

Bapak              : “Tanyakan hatimu itu. Masih pantaskan kamu bertemu dengan perempuan perkasa itu? Rindunya bagaikan samudra. Doanya senantiasa bergaung menyelubungi langit ke tujuh. Tapi apa balasannya untuk makhluk yang di doakannya yang tak tahu diri itu!”

Di arah pintu muncul perempuan anggun berbaju biru, di tangannya bergantung sebuah rantang makanan lengkap dengan secangkir kopi. Kinanti tertegun melihat sosok yang sedari dulu mengisi hatinya itu. Matanya menatap tak percaya. Bapak pun menatap gelagat Marzuki yang juga tertegun dengan kehadiran wajah ayu itu.

Marzuki           : “Kinanti? Kaukah itu? Apa kabarmu?”

(Marzuki menyapa dan mendekatinya)

Bapak              : “Jangan kau dekati gadis ayu itu, karena kau tak pantas mendekatinya, Marzuki!”

Kinanti            : (menyodorkan minuman kopi di atas meja Bapak, dan membuka rantang makanan bawaannya diam seribu kata)

 “Makanlah, Bapak. Maaf, Kinanti tadi agak telat datang karena hari ini Kinanti harus menyelesaikan kain tenun yang akan diambil tengkulak pabrik.”

Bapak              : “Duduklah, Kinanti! Kedatanganmu membuat Bapak cukup tenang. Karena kau selalu ada tak pernah pergi meninggalkan tubuh renta ini.”

Marzuki           : (Marzuki kelimpungan, tak tau apa yang harus dia lakukan, semua orang yang ditemui tamPak aneh. Mereka tak menganggapnya ada. Tak lama kemudin ponsel mahal yang dikantongnya bordering)

”Halo sayang… i..iya Abang sekarang di Jogja. Apa kamu ke Jogja? sampai mana? Di bandara?”

Bapak              : “Pulanglah, Marzuki, barangkali orang di luar sana sudah menunggumu.”

Seraya berbinar Kinanti merasa terpukul dengan suara telpon yang diangkat kekasihnya itu. Akankah Marzuki selama ini yang dikenal sudah milik orang lain. Lalu kesetiaan yang dia pertahankan hanya untuk bahan percandaan semata?. Gemuruh hati Kinanti semakin menyeruap. Tak terasa bening air matanya mengalir. Dia segera berlari menuju dapur. Ntah apa yang dicari. Ia tumpahkan air mata yang tak jelas sebabnya. Suara telpon itu rupanyaa mengundang air matanya yang sudah lama tertampung. Justru kerinduan itulah yang menghujamkan belati.

Marzuki           : Marzuki seraya berkata dengan nada keras menghadap pintu kea rah dapur. Dia berharap suara itu terdengar di telinga Kinanti).

 ”Maafkan aku, Kinanti. Bukan maksud Akang lupa akan kesetiaanmu. Akang kira kau sudah melupakan Akang dan kawin dengan lelaki lain!”

Bapak              :”Tutup mulutmu, Marzuki. Kamu tidak tahu apa-apa! Kalau kamu datang hanya untuk menyakiti orang yang selama ini merawat Bapak dan Ibumu mendingan keluarlah. Bawalah semua atribut kursimu yang diam-diam membutakan hati yang sudah membatu itu!”

(dengan nada tinggi Bapak tersedak hingga batuk pun menyerang tiba-tiba. Kinanti dating dari dapur mendekati tubuh tua itu. Mengurutnya penuh kasih)

Kinanti            :”Sudahlah, Bapak istirahatlah, sudah sepantasnya Akang memilih jodohnya yang terbaik. Yang sama dengan pangkat dan derajatnya. Kinanti sadar hanyalah gadis kampong yang tak berpendidikan. Biarlah Akang bahagia dengan gadis yang bermartabat pilihannya itu, Bapak.”

Marzuki           :”Semua karena keadaan, Kinanti.”

Kinanti            :”Iya Kang, keadaanlah yang buat aku juga tak pantas berdampingan dengan lelaki yang jauh bermartabat. Gadis seperti aku ini hanya debu yang tak berarti sedikitpun. Mungkin aku juga terlalu kurang ajar mengharapkan sang arjuna di kayangan.”

Tok…tok… tok…Dibalik pintu muncul seorang perempuan muda berPakaian modis dan elegan seperti perempuan modern yang bekerja di kantoran.

Viona              :”Permisi! Apa betul ini rumah Bang Marzuki?”

Marzuki           :”Viona? Kamu..?

(dia bingung harus berkata apa gadis yang sudah terlanjur ditunanginya itu datang dari Jakarta menyusul Marzuki menemui orang tuanya)

Viona              :”Lho kok, Abang kaget gitu sih. Iya Bang, maaf deh kalau kedatanganku mengagetkanmu, kebetulan tadi ada klien yang harus kutemui nanti sore jadi sekalian aja deh aku mampir menemui Abang.”

(jawab viona penuh manja. Mata disekelilingnya menatapnya penuh tanda Tanya)

Bapak              :”Rupanya kita kedatangan tamu, Kinanti.”

Jawab Bapak dengan nada menjgejek.

Viona              :”O…iya. Ngomong-ngomong ini Bapaknya, Abang? Selamat siang, Bapak, dan ini siapa adiknya, Abang?.”

Bapak duduk terdiam memandangi keduanya tak selera.

Marzuki           :”Bapak, perkenalkan ini temanku namanya Viona.”

Gadis               :”Bapak, saya Viona.”

Berusaha menjabat tangan Bapak tapi tak dihiraukannya seakan tangan itu sesuatu yang najis untuk disentuh

Bapak              :”Tak perlu kalian basa-basi. Apa maksud kedatangan kalian di gubuk ini ha? Apa istana di senayan tak cukup nyaman hingga kalian harus bersusah payah datang di gubuk reot ini?”

“Kalian datang hanya untuk meleburkan rindu yang sudah lama pergi. Apakah kalian akan memanggilnya dengan ribuan pengeras suara? Semua sudah tidak berlaku. Kinanti, ambilah bingkisan itu untuk Marzuki.”

Kinanti masuk ke kamar Simbok dan keluar membawa bingkisan yag terbalut sarung milik Marzuki kecil. Ia menyerahkan bingkisan itu kearah Marzuki. Secara perlahan Marzukipun membukanya. Dia terdiam tak mengerti, apa  maksud dari semua ini.

Marzuki           :”Apa ini? Sarung dan dingklik? Apa maksud semua ini, Bapak? Kinanti apa maksudnya, katakan padaku?”

Kinanti            :”Seminggu yang lalu Simbok meninggalkan kami. Kerinduan itu begitu menghunjam hebat hingga Simbok tak mampu melawan degup gelombang rasa. Simbok telah tiada, Kang, dan ini adalah pesan terakhirnya. Dia sangat merindukanmu, dingklik inilah peninggalan sebagai kado yang nantinya kau akan mengerti makna di balik semua ini, Kang.”

Marzuki           :”Jadi...jadi…, Simbok sudah meninggal? Tidak!? Tidak mungkin Simbok pergi secepat itu. Mbok! Mbok!! Anakmu datang, Mbok!”

(Marzuki menangis sejadi-jadinya)

Bapak              :”Kenapa, Marzuki? Kamu menyesal? Kenapa kamu baru menyesal? Barangkali kamu baru tersadar dari mimpimu itu. Sudahlah jangan buang-buang air matamu itu yang justru mengotori bajumu itu yang bermartabat.”

Marzuki menangis sambil memeluk sarung sunat sembari memegangi dingklik yang dulu biasa ia tenteng keliling kampong saat Simbok menjajakan nasi jagung. Kenangan itu sangat manis tapi peerempuan lugu itu kini telah meninggalkan ia selamanya.

Marzuki           : “Simbok,  maafkan Marzuki. Selama ini Marzuki terlalu sibuk dengan urusan Negara hingga meninggalkanmu.”

Bapak              :”Negara kau bilang? Negara yang mana yang kau perjuangkan ha!? Omong kosong saja!”

Kinanti            :”Sudahlah, Bapak!”

                        Kinanti menenangkan Bapak yang sedari tadi ingin menerkam saja makhluk yang ada di hadapannya. Bapak meninggalkan ruang tamu itu. Ia bergegas menuju kebun samping rumah. Dan membawa jauh-jauh perkutut kesayangannya.

                        Viona mendekati Kinanti yang berdiri tak jauh dari dirinya.

Viona              :”Kamu siapa? Setahu saya Abang tidak pernah cerita kalau dia punya saudara perempuan?”

                        Viona menatap Kinanti penuh curiga. Dia telanjangi tubuh ayu itu dengan pandangan matanya yang penuh tanda tanya.

Bapak              :”Tanyakan saja calon suamimu itu?”

                        Suara Bapak melengking dari arah samping halaman.

Marzuki           :”Dengarkan, Viona. Aku …, aku!?”

Kinanti            :”Kang Marzuki adalah satu-satunya laki-laki yang menemani hatiku. Hubungan itu terjalin delapan tahun lamanya. Musim jagung sudah berganti ratusan kali. Sampai sang pemilik pendaringannya sudah pergi ke alam keabadian.”

Viona              :”Jadi kalian?” (menatap tak percaya) “Sudah lama menjalin hubungan? Bang! Kenapa Abang diam! Apakah Abang masih punya nyali untuk sedikit dewasa? Bang, jelaskan padaku apakah benar yang dikatakan perempuan itu bang?”

                        “Apa kau pikir perempuan juga bisa kau samakan dengan sandiwara politik yang selalu kau tebarkan dengan pesona janji-janji manismu! Jawab, Bang!”

                        “Dan kau, Kinanti, apakah kau masih berharap Bang Zuki menjadi lelaki terakhirmu?”

Kinanti            :”Tidak. Semua sudah berakhir, Viona. Kedatanganmu adalah jawaban yang selama ini terkatung.”

Marzuki           :”Diam! Diam semuanya! Tidakkah kalian bisa diam barang sebentar! Kalian tidak tahu perasaanku. Simbok meninggal! Kalian masih memperdebatkan perasaan? Ha!”

(Marzuki berteriak sekencang-kencangnya. Matanya melototi kedua perempuan yang sedang bergejolak hatinya)

Viona              :”Perasaan? Kau pikir kami kursi yang mematung yang tak punya hati Bang! Kau permainkan semua hati perempuan, termasuk ibumu, Bang!”

Viona tak kuasa menahan tangisnya.

“Sebaiknya aku pergi saja.  Ingat Bang janjimu kita sudah bertunangan dan seminggu lagi kita akan menikah. Dan kau, Kinanti, sebaiknya kau kubur saja cintamu itu. Karena sebentar lagi Bang Zuki akan segera menikahiku!”

(Viona melangkah pergi dengan berkata ketus)

Ruangan itu berubah sunyi senyap. Marzuki tertelungkup memeluk dingklik Simbok. Seakan rindu itu enyatu seperti aliran listrik. Kinanti menatap jendela samping rumah. Dilihatnya sesosok tubuh tua yang sedari tadi asyik memainkan perkututnya di bawah pohon rambutan.

Kinanti            :”Tidakkah kau lihat, Kang, tubuh renta itu sudah saatnya kau jamah dengan kasih? Bukan malah kau campakkan. Seandainya Akang tahu Bapak dan Simbok sangat mengharapkan kabar Akang bukan lembaran uang yang kau hasilkan.”

Marzuki           :”Simbok, maafkan aku. Aku sungguh laki-laki yang tak berguna di matamu. Aku malu, Mbok. Saat ini aku benar-benar ditelanjangi jejakku. Dunia bertepuk tangan merayakan kekalahanku.”

Kinanti            :”Sudahlah, Kang. Simbok sudah tenang di alam sana, tak perlu lagi kau sesali yang sudah terjadi. Manusia hanya menjalankan setiap episodenya. Hanya saja kita mampu menerima atau malah menghujat sang waktu. Takdir tak pernah bersalah kadang manusialah yang sering salah langkah.”

Marzuki           :”Kinanti, aku sangat menyesal. Aku selama ini tuli. Kau sangat mulia, Sayang. Mutiara-mutiara yang sebenarnya sudah kudapatkan tak pernah kuhiraukan. Aku malah mencari imitasi yang kukira emas berlian.”

Apakah kau mau memaafkan aku, Sayang? Dan masih adakah ruang hatimu untuk Akang?”

Kinanti            :”Tak sepantasnya kau panggil aku dengan sebutan itu, Kang. Sebaiknya kau tepati janjimu pada gadis kota itu. Jangan kau hiraukan aku. Dia lebih membutuhkanmu. Maaf Kang, aku harus menemui Bapak, barang kali Bapak ingin minum kopi.”

Marzuki           :”Tunggu, Kinanti! Jangan tinggalkan Akang.”

Kinanti tak menghiraukan permintaan marzuki. Hatinya berubah 360 derajat. Cintanya hangus terbakar waktu.

“Simbok…, Kinanti, aku malu dengan kalian. Aku sungguh tak berguna.”

Marzuki tersimpuh menelungkupkan badannya di atas dingklik sambil mengalungkan sarung kenangannya. Waktu tak akan pernah kembali. Mutiara itu satu persatu pergi meninggalkannya. Jejaknya sudah terhapus masa yang tak mau mengenalnya barang sebentar. Kampung itu tak lagi miliknya seperti sepuluh tahun lalu. Dingklik tua itu saksi bisu pun enggan menceritakan kisah lama yang sudah ditutup dalangnya. Kini yang tertinggal dingklik sunyi dia antara deretan kursi-kursi ciptaan-Nya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun