Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Dingklik Simbok

28 Agustus 2016   15:50 Diperbarui: 28 Agustus 2016   20:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak              : “Semua berita di TV kok isinya sampah. Gak yang di got gak di gedung semuanya isinya tikus!”

(Bapak menggerutu sambil memencet tombol remot berganti-ganti chanel)

Simbok            : (sambil memipil jagung Simbok duduk di dingklik kayu)

 “Ya begitulah, Pakne. Sampah sudah lumrah. Lha setiap hari kita yang membuat sampah-sampah itu kok. Dari bangun tidur sampai tidur lagi manusia membuat sampah. Masak manusia melupakan sampahnya sendiri. juga mereka yang di kursi-kursi senayan sana. Setiap hari juga membuat sampah. Di kusi itu juga mereka bertengger di atas gaungan janji-janji.”

Bapak             :”Janji-janji itu seperti banjir bandang yang tak bisa dibendung keluar dari mulut orang-orang yang mengaku paling mampu membuat Negara ini menjadi lebih baik. Semakin menjelang hari ‘h’, janji-janji itu makin mengepung pikiran dan hati masyarakat. Padahal janji bukanlah sekadar buah pemanis mulut saja.”

Simbok            :”Janji adalah sebuah kontrak psikologis yang menandakan transaksi antara dua pihak. Itu terlihat sangat ringan lidah menyampaikan dijual ke masyarakat. Akibatnya, begitu mudah pula mereka melupakannya.”

Bapak              : (sambil nyruput kopi buatan Simbok)

“Dunia sudah edan. Seperti wajah pendidikan sekarang ini, Bune. Sepertinya angka-angka itu lebih menghipnotis masyarakat ketimbang nilai-nilai kemanusiaan.  Sudah  barang  tentu  lulusannya  juga  mengejar  angka. Kayak

anakmu itu, Bune. Pendidikan semestinya memanusiakan manusia, bukan membabi buta senggol sana-senggol sini. Kepintarannya memperalat manusia. Lupa daratan lupa orang tua. Suka minteri tapi aslinya juga gak pintar. Kalo hanya mementingkan evaluasi ujian sudah barang tentu dengan sekuat tenaga akan mengejar nilai-nilai itu. Lha mendingan Bapakmu ini to  Marzuki. Orang yang tak pernah makan bangku sekolahan. Tapi jujur!”

Simbok            : “Sekarang ini banyak orang pinter, tapi sangat sedikit orang yang ngerti. Kalau pinter itu bakal minteri orang, tapi kalau orang yang ngerti paham ajaran paham ilmunya dia akan takut sendiri karena Tuhan yang mengawasi bukan polisi atau tentara juga KPK. Lagi-lagi dibalik kursi-kursi itu mereka bisa berbuat sewenang-wenang, Pakne. Padahal mereka bisa duduk di sana kan karena rakyat kecil seperti kita.”

 (menghela nafas sambil berdiri menjemur jagung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun