EKSPERIMEN
(cerpen Meirisman Halawa)
Mulanya kabur.
Semua tampak samar dan mata kecilnya  harus segera belajar membiasakan diri. Sebuah ruang berwarna putih dengan dinding seperti dilapisi karpet yang juga berwarna putih. Hmm...ruangan apa ini? Sesaat kemudian, ia  sadar dirinya terbaring pada sebuah ranjang --satu-satunya benda yang ada di ruangan itu-  yang seluruhnya juga ditutupi kain putih. Laki-laki itu berusaha memastikan ia tak berada di sebuah rumah sakit manapun. Ia yakin sekali  bukan berada di salah satu ruangan tempat orang-orang sakit itu. Bukan. Tak ada bau obat. Tak ada juga ia mencium aroma mengerikan yang selalu berusaha mendekat. Bau kematian. Ahhh...mengingat itu, laki-laki tersebut bergidik.
Di....mana saya? Gumannya tak jelas. Kebingungannya memaksa mengingat sesuatu. Telapak tangannya digerakkan ke arah dada. Ada rasa sakit di sana. Rasa sakit yang sebenarnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan ingatan yang akan segera ia miliki. Ia mengeluh. Â Sepertinya ia mulai mengingat sesuatu. Hmm...tak ada luka. Tak ada darah. Padahal......
Ya.....Tuhan!
Tubuhnya melompat begitu saja. Terhuyung dan hampir membuat ia jatuh. Salah satu tangannya meraih tepi ranjang dan berusaha mengangkat kedua lututnya agar bisa tegak. Ia merasa sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Bayangan imajinasinya tentang kematian menambah kesesakkan yang  seakan menekan jantung begitu keras. Seperti ada tangan besar dan jahat sedang berusaha meremuk badannya. Memelintir rusuk dan kesakitan tak terkira yang ia rasakan. Itu cukup membuat lututnya kembali lemas sehingga tak mampu menopang tubuhnya. Ia terkulai seperti daun kering di musim gugur. Untung tangannya kuat mencengkram tepi ranjang sehingga tubuhnya tidak sampai terjatuh di lantai.
Tuhan.., di mana saya?
     Sepertinya ia tahu di mana berada. Peristiwa terakhir yang ia ingat membuatnya menarik kesimpulan yang menyedihkan untuk  diterima. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan begitu cepat datang padanya. Dua orang asing menghentikan mobilnya di ruas jalan Gowaena[1] yang sepi. Mengacungkan sebuah pistol dan menembaknya. Dan itu berarti saya sudah.....
Â
"Engkau sudah bangun, Anakku...?"
Â
Laki-laki itu terkejut. Sebuah suara lembut bergema terdengar tak jelas dari mana arahnya. Ia melirik ke kiri-ke kanan, berbalik, melihat ke atas dan ia tak menemukan siapapun. " Si...siapa, Anda?" suaranya gemetar dan sepertinya ia mau menangis. "Di mana saya..?"
Â
Sebenarnya pertanyaan terakhir menurutnya  tak ada gunanya.
Â
 "Engkau berada di rumah, Anakku."
Â
Jelas, Ini bukan rumahnya. Tak ada ruangan di rumahnya yang akan ia  berwarna putih. Itu warna mengerikan baginya. Kalau saja ia sekarang berada di suatu tempat yang  akrab dan nyaman, di dunianya,  laki-laki itu akan menertawai selera tuan rumah mengenai warna pilihannya.  Tapi yang ia lakukan hanya  menelan ludah. Kerongkongannya benar-benar kering. Ia. takut,  panik dan....apa saja yang tak ia senangi. " Di mana saya..?" ujarnya gemetar, " Kenapa ini bisa terjadi, Tuhan? Kenapa?"
Â
Tangisnya pecah begitu saja. Rasa pilu dan sedih yang mendalam -- yang tak pernah ia rasakan sebelumnya -- menghujam deras di ulu hatinya. Kenangan tentang pengalaman yang pernah ia jalani  tiba-tiba membuat ia merindukan hal-hal sederhana : minum kopi, memandang Barasi, istrinya atau sekedar duduk di teras sambil membaca koran. Ia merindukan itu.  Semuanya.
Â
 Ia menjerit --tepatnya melonglong -- dengan nada yang membuat bulu tangan merinding. Ia melakukan ritual  fangesa[2] -- sebuah ritual orang-orang Nias yang mengalami penyesalan mendalam sampai-sampai tak sadar apa yang  lakukan-. Tubuhnya bergetar amat keras dan sesaat kemudian ia membanting kepalanya ke atas ranjang.
Â
"Anakku..," suara asing itu kembali terdengar. Laki-laki yang sedang tersayat hatinya itu menghentikan aktifitasnya. Ia melongok ke atas. Bukankah Tuhan berasal dari atas? Â " Apa yang kamu lakukan? Itu menyakiti dirimu sendiri"
Â
Laki-laki tak menjawab. Apa lagi yang lebih menyakiti saat sadar ia telah mati?
Â
"Tuhan, mengapa saya harus mati secepat ini..?"
Â
"Engkau belum mati, Anakku."
Â
Laki-laki itu tak merasa gembira. Itu tak punya makna apa-apa. Ia pernah mendengarkan konsep kehidupan setelah mati. Setelah seseorang meninggal ia akan berada di sebuah ruangan putih bercahaya. Lalu malaikat dengan buku kehidupan setebal yang tak bisa ia bayangkan mendatanginya. Ia akan di dakwa atas semua kesalahannya. Kemudian manusia yang pura-pura suci akan mencoba menawar.
Â
"Tuhan...Bukankah saya pernah menolong seseorang," ujar manusia itu. Kata banyak orang satu saja perbuatan yang benar-benar penuh kasih akan bisa menghapus semua dosa-dosanya. Siapa tahu ini berhasil.
Â
"Apa kebaikan yang pernah kamu lakukan di dunia?"
Â
Manusia itu gembira. Pancingannya berhasil. "Saya pernah mengirimkan bantuan pada orang-orang yang dilanda tsunami dan gempa"
Â
"Tapi kamu mengundang wartawan dan berbagai stasiun televisi agar kegiatanmu diekspos. Biar menjadi sebuah kampanye persiapan menjadi anggota dewan terkenal."
Â
Manusia itu menelan ludahnya. Tapi ia masih belum mengalah. "Tapi saya mendirikan panti asuhan bagi anak-anak terlantar"
Â
Tuhan tak bergeming, " Dan kamu mencari orang tua asuh bagi mereka. Mendapat bayaran yang besar. Dan kamu gunakan itu untuk kesenanganmu."
Â
Orang-orang banyak yang percaya cerita itu. Bukankah itu salah satu alasan mengapa orang-orang harus berbuat baik pada sesama. Ah...sepertinya tak ada kebaikan yang pernah ia buat. Lagi pula ia tak percaya cerita konyol itu. Ia sudah mati. Dan kini tak tahu harus berbuat apa.
Â
"Engkau memang belum mati, Anakku," Kalimat itu diulang lagi. Kali ini cukup mendapat perhatian si lelaki. " Kamu berada di rumah, Bapa-Mu. Memberikan kesempatan padamu untuk merenung. Apa yang pernah kamu lakukan. Apa yang harus kamu sesali dan harus diubah. Kamu ada di sini untuk memaknai cinta dan arti kehidupan yang kamu jalani selama di dunia"
Â
Laki-laki berguman. Tidak mengerti.
Â
"Pikirkan tentang apa yang kamu jalani selama kamu hidup. Apakah kamu sadar selama ini, kamu telah menyia-nyiakan waktumu yang berharga. Tidakkah kamu tahu selama ini engkau telah mengabaikan istrimu yang mencintaimu. Mengabaikan hari yang penuh rasa sukur. Mengabaikan keindahan pagi dan keheningan malam yang suci. Pernahkah kamu berpikir kamu terlalu banyak mengabaikan hal-hal yang luar biasa dalam hidupmu. Sekarang, pikirkan apa saja telah kamu lakukan di dunia. Setelah itu, seandainya kamu punya kesempatan untuk kembali ke kehidupanmu, apa yang akan kamu lakukan."
Â
Laki-laki itu kembali terisak. Air matanya mengalir lagi oleh penyesalan yang mendalam. Semua yang ia lakukan selama ia hidup melintas begitu saja di depannya. Di mana, Barasi sekarang? Ia pasti tengah menangisi jenazahnya. Dan orang-orang akan menatapnya dengan kasihan. Barasi amat mencintainya walau hampir selama waktu pernikahan mereka, Â selalu menyakiti hati perempuan lembut itu. Tuhan, betapa berdosanya, saya. Tubuhnya kembali berguncang keras. Kali ini oleh penyesalan yang luar biasa.
Â
Tapi sepertinya, Tuhan tadi mengatakan mengenai sebuah kesempatan?
Â
"Apakah kamu mau merubah semua tingkah lakumu," seru Suara itu lagi. Laki-laki itu hanya terisak. Ia memang terkesan hati-hati. Tapi percayalah, saya benar-benar menyesal  "Apakah kamu benar-benar menyesal..?"
Â
Laki-laki itu mendongakkan kepala. Matanya memerah tergenang air mata. "Tuhan, saya benar-benar menyesal. Saya sadar tak ada yang benar yang pernah saya lakukan. Saya telah mengabaikan waktu bahkann hidup saya. Saya benar-benar menyesal. Sangat" Tangannya dilipat seperti memohon. "Jika Engkau beri saya kesempatan untuk berubah, saya akan melakukannya!"
Â
"Mencintai istrimu..?"
Â
"Ya, Tuhan. Saya akan mencintai segenap hatiku"
Â
Lalu hening. Laki-laki itu berdebar. Kenapa tak ada suara. Apa Tuhan masih mempertimbangkan sesuatu? Agak lama menunggu hingga terdengar Suara itu lagi. Jantungnya berdetak penuh harap. Ya..ya jantungnya berdetak lebih keras. Ia baru sadar jantungnya masih berfungsi. Memangnya di sini  jantungnya masih berfungsi? Ah...ga usah dipikirkan. Suara itu terdengar lagi. "Anakku, saya beri kamu kesempatan untuk berubah. Satu kesempatan yang tidak semua dimiliki tiap orang. Kamu harus bersukur atas kesempatan ini. Gunakanlah untuk menjadi manusia baru. Kami mengawasimu dan akan selalu berada dekat kamu."
Â
"Ya, Tuhan..."
Â
"Sekarang berbaringlah. Tutup matamu. Kamu akan melewati perjalanan asing yang akan melelahkan. Kembali ke dunia yang paling indah bagi makhluk ciptaan Tuhan. Lakukanlah!"
Â
Laki-laki itu mengangkat tubuhnya. Ia baru sadar sejak tadi ia hanya terduduk di lantai dengan bertumpu pada ranjang di depannya. Ia berbaring meluruskan kaki dan menutup matanya. Ada perasaan bahagia yang tak bisa terucap dengan kata-kata. Ini pengalaman luar biasa. Melewati kematian yang menakutkan. Bertemu, Tuhan dan...Hei tadi itu, Tuhan atau malaikatnya. Waduh.. saya lupa mengucapkan terima kasih.
Â
"Tutup matamu, Anak Muda. Perjalanan akan segera dimulai."
Â
Laki-laki itu urung mengucapkan sesuatu. Nanti saja di dunia ia akan berdoa mengucap sukur. Selamatan besar-besaran. Ia akan memotong belasan ternak seperti kebiasaan orang Nias kalau  sedang pesta.  Tanpa sadar ia tersenyum. Tapi segera ia menyesalinya. Ia takut tingkahnya itu akan membuat Tuhan berubah pikiran. Maafkan, saya Tuhan.  Kemudian, tiba-tiba udara menjadi lebih dingin. Ia merasa menggigil tapi tak berani membuka matanya. Lalu sepertinya tercium bau sesuatu. Asing. Kepalanya pusing dan kesadarannya mulai menghilang.
Â
Agak lama kemudian. Antara sadar tak sadar ia mendengar langkah-langkah mendekat. Entah siapa. Laki-laki itu berusaha membuka mata. Tapi kelopak matanya  terlalu berat. Mereka berbicara sesuatu. Tak jelas. Cuma itu. Lalu semua jadi gelap.
Â
Tetapi perasaan aneh itu tetap terbawa.
Â
Â
I I
Â
Laki-laki itu tersentak. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Matanya terbuka lebar. Menemukan dirinya dalam kamar tidur yang sangat ia kenal. Bukan berwarna putih. Tidak dingin dan menakutkan. Di hadapannya sebuah wajah lembut menatapnya penuh cinta. Barasi, istrinya. Â Dan ia tahu, tak ada waktu yang paling membahagiakan selain menyadari ia masih hidup dan berada dekat orang yang paling ia cintai.
Â
"Sayang..," ujarnya sambil memeluk erat istrinya, " Saya mencintai, Kamu."
Â
I I I
Â
Dokter Sanaro meletakkan telepon di tempatnya. Wajahnya begitu cerah setelah berbicara agak lama dengan putri sulungnya. Â "Kita berhasil..!" Suaranya begitu bahagia. Zamasi, laki-laki muda yang ada di depannya ikut tersenyum. "Ini eksperimen luar biasa. Saya membayangkan akan banyak orang-orang yang kembali kepada keluarganya. Akan banyak penguasa yang akan mencintai rakyatnya. Dan bukankah hidup akan lebih indah jika semua orang saling mencintai..?"
Â
" Tentu, Dokter..." ujar Zamasi mengiyakan. Tentu saja ia senang eksperimen mereka berhasil. Ia senang Dokter Sanaro mempercayainya dalam eksperimen yang ia lakukan. " Sekarang, seharusnya Dokter mulai memikirkan mempublikasikannya. Ini eksperimen  luar biasa. Kita akan merubah sejarah dunia dengan hasil ini."
Â
"Jangan memikirkan itu lagi, Zamasi..." seru Sanaro dengan nada tak senang. "Kita sudah membicarakannya berkali-kali tentang itu. Ini bukan untuk kemasyuran nama. Bukan kekayaan yang jadi tujuan kita. Ini eksperimen kemanusiaan. Untuk sebuah cinta yang harus selalu bersatu. Untuk rasa kasih pada sesama."
Â
" Tapi, Dokter..," suara Zamasi hati-hati. Ia tahu sudah berapa kali mereka membicarakan hal ini. Tapi ia yakin dokter Sanaro salah dengan pemikirannya " Pernahkah dokter membayangkan nama Anda akan mengisi lembar sejarah dengan tinta emas. Bayangkan ada seorang ilmuwan Indonesia yang berasal dari kota kecil Gunungsitoli yang tak terkenal, sejajar dengan Freud, Â Kant, Newton atau malah para Nabi. Yang kita lakukan adalah pekerjaan, Tuhan. Malah mungkin kita telah memudahkan kerja, Tuhan."
Â
"Kamu mulai meracau, Zamasi. Sebentar lagi kamu akan bilang: Kita sama dengan, Tuhan."
Â
"Dokter, saya pikir..."
Â
"Cukup, Zamasi. Saya tak mau berdebat lagi tentang ini. Konsep saya jelas. Dan jika kamu mulai tak menyenangi tugas ini, saya akan cari orang lain yang mau membantu saya."
Â
Zamasi menunduk.
Â
Dokter Sanaro berbalik meninggalkan ruangan.
Â
I V
Â
Eksperimen ini sebenarnya sederhana. Tapi dokter Sanaro sudah lama memikirkannya. Ia dokter tua. Â Bekerja di RSU Gunungsitoli sebagai dokter senior yang membantu pasien paska trauma. Memberikan konsultasi medis selama dan sesudah proses penyembuhan. Semacam pskiater rumah sakit walaupun resminya bukan seorang pskiolog atau pskiater. Ini jabatan baru sebelum ada pskiolog resmi, setelah gedung RSU Gunungsitoli dibangun paska gempa besar tahun 2005. Rumah sakit yang dibangun dari dana lembaga donatur asing menginginkan jabatan semacam itu ada di Gunungsitoli. Jabatan ini tentu sangat mulia. Tapi bagi Sanaro, penempatannya di situ dianggap sebagai pembuangan karirnya. Ia tidak punya pengalaman konseling kecuali mata kuliah yang ia pelajari saat sekolah. Salah satu alasan yang dikemukakan dokter Aramba, direktur RSU Gunungsitoli hanya karena ia sudah sangat berpengalaman dan dianggap orang tua di rumah sakit tersebut. Dan menurut Sanaro, kalimat itu sama dengan mengatakan ia sudah terlalu tua untuk seorang dokter umum.
Â
Tapi itu dulu. Pelan-pelan ia mulai merasakan kesenangan tersendiri dengan pekerjaannya. Ia mendengarkan berbagai keluhan para pasien tentang penyakitnya, tentang pelayanan RSU yang kurang baik atau kadang-kadang cerita tentang keluarga mereka. Bahkan terakhir ia mulai membuka konsultasi keluarga di rumahnya. Tentu setengah resmi. Inilah yang melahirkan gagasan eksperimen itu.
Â
Zamasi mendengarkan ide Sanaro dengan antusias. Masalah-masalah yang ditangani lebih sering masalah pribadi dan keluarga. Mendengarkan cerita tentang keluarga yang hancur atau rumah tangga yang tak harmonis." Bayangkan, Zamasi kita dapat merubah seseorang dengan eksperimen ini. Suami akan kembali pada istrinya. Pencopet akan bertobat, bahkan bupati  jika diberikan eksperimen ini akan lebih memperhatikan warganya..."
Â
Dan kesempatan itu sepertinya dimulai saat anaknya paling sulung mendatanginya. Mereka tinggal di Lawelu[3] dan sering mendatanginya setelah istrinya meninggal lima tahun yang lalu. Kali ini putri sulungnya datang dengan wajah sedih bersama anak-anaknya. Â Menceritakan masalah keluarganya pada orang tua yang amat mencintainya. "Pak..," ujar anaknya terisak pelan. "Saya sudah ga tahan dengan, Manaya. Hampir tiap malam ia tak ada di rumah. Pulang kadang-kadang dengan bau Tuo nifaro[4] dan mulai berani memukul saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Suami saya hampir-hampir tidak lagi saya kenal. Bahkan kata teman-teman kerjanya, ia mulai bolos kerja dan selalu mendatangi wanita itu. Â Ia berubah, asing dan...," Ia terisak lebih keras lagi. " Pak.., saya putus asa."
Â
Dokter Sanaro hanya diam mendengar. Akan lebih baik ia terus bercerita mengeluarkan beban dalam dadanya. Ini akan lebih mudah nantinya. Ia punya rencana mengenai kasus putrinya ini. Brengsek juga, Manaya. Berani sekali dia mempermainkan anakku.
Â
"Pak..," ujar perempuan itu lagi. Wajahnya sembab dan sesekali ia harus menyeka air matanya. "Adakah cara mengubahnya, Manaya. Bicaralah dengannya, Pak. Mungkin ia akan mendengarkan kalau Bapak yang mengatakannya.."
Â
Sanaro beranjak. Menepuk pundak anak sulungnya itu. " Jangan kuatir, saya akan melakukan sesuatu yang bisa membuat ia berubah."
Â
"Bapak akan bicara dengannya?"
Â
"Tidak. "ujar Sanaro mantap. " Saya punya rencana yang lebih baik"
Â
Sebuah eksperimen.
Â
V
Â
Laki-laki dalam mobil itu tak pernah menyadari jika sejak dari rumah ia terus diikuti dua orang yang mengendarai sepeda motor. Tetapi tiba di sebuah tempat yang sepi, sebuah motor tiba-tiba  berhenti di depannya. Ia kaget dan hampir saja menabrak keduanya jika tak menginjak rem dengan keras.
Â
"He...apa kalian gila..!?" seru laki-laki dalam mobil sambil keluar dan siap mendamprat pengemudi motor tersebut.
Â
Tapi dua orang yang wajahnya tertutup helm tersebut tak banyak bicara. Mereka mendatangi Si lelaki dan....Laki-laki dalam mobil kaget bukan kepalang. Sebuah pistol dikeluarkan dari baju pengemudi motor dan mengacungkan padanya. Perampokan.
Â
"Si..siapa kalian ?"
Â
Tapi cuma itu kalimatnya. Sebuah tembakan tanpa suara mengenai dada kirinya. Sempat ia merasa aneh. Sangat aneh. Tapi ia tak sempat berpikir itu lagi. Sesaat kemudian ia terjatuh tanpa sempat berucap apa-apa lagi.
Â
"Apa dia sudah pingsan?"
Â
Yang ditanya mendekati laki-laki. Memeriksanya dan kemudian menganggukkan kepalanya. "Tentu. Ini obat bius yang sangat cepat bereaksi. Ayo.. bantu saya mengangkatnya. Saya kuatir nanti ada orang yang lewat di sini. Dokter sudah lama menunggu."
Â
VI
Â
....................................................................................................................................
Â
"Sekarang berbaringlah. Tutup matamu. Kamu akan melewati perjalanan asing yang akan melelahkan. Lakukanlah!"
Â
Laki-laki itu berbaring dengan bahagia yang tak terucap. Ini pengalaman luar biasa. Melewati kematian yang menakutkan. Memulai hidup baru. Barasi, saya rindu kamu. Perlahan matanya meredup. Tiba-tiba udara menjadi lebih dingin dan sepertinya ia mencium bau sesuatu. Yang asing. Agak lama kemudian. Antara sadar tak sadar ia mendengar langkah-langkah mendekat. Entah siapa. Laki-laki itu berusaha membuka mata. Tapi kelopak mata ini  terlalu berat. Mereka berbicara sesuatu. Tak jelas. Cuma itu. Lalu semua jadi gelap. Dua laki-laki mendekat ke ranjang yang ada di tengah ruangan. Seorang dari mereka memeriksa nadi laki-laki yang terbaring itu.
Â
"Dia sudah tak sadarkan diri, Dokter." Kata seorang dari mereka. "Laki-laki ini memang brengsek. Seandainya saya Tuhan, Â saya takkan memberikan kesempatan untuk hidup lagi. Masa berterima kasih saja tak ia ucapkan."
Â
Dokter Sanaro cuma tersenyum.
Â
"Kita tunggu saja hasilnya nanti sore. Sekarang panggil si Bayo. Kalian antar kembali Manaya ke rumahnya sebelum obat bius ini hilang. Kita akan melihat kejutan seorang manusia baru nantinya. Manusia yang baru lahir setelah sebuah kesempatan untuk hidup kembali diberikan padanya. Tidakkah ini luar biasa, Zamasi..?"
Â
V I I
Â
Itulah eksperimen pertama yang mereka lakukan Saat putrinya menelepon bahwa suaminya telah berubah, wajah Sanaro sumringah. . Â "Kita berhasil..!" Suaranya begitu bahagia. Dan selanjutnya bersama Zamasi dan dibantu oleh pembantunya Bayo, mereka memulai eksperimen berikutnya. Seorang yang dikenal pencuri terkenal suatu malam diciduk di rumahnya. Tak sempat melawan saat sebuah pistol berpeluru obat bius tak bersuara ditembakkan ke dada kirinya. Ia di bawa ke sebuah kamar berdinding putih dan dibangunkan dengan suara bergema.
Â
"Anakku, jika engkau mau mengubah jalan hidupmu. Saya akan beri kamu satu kesempatan untuk bertobat..!"
Â
 Laki-laki penuh tato itu menangis terisak. Penyesalan yang mendalam membuat ia memahami arti hidup. Sepertinya selama ini dia tak pernah melakukan sesuatu yang benar. Laki-laki itu mendongakkan kepalanya. Matanya memerah tergenang air mata. "Tuhan, saya benar-benar menyesal. Jika Engkau beri saya kesempatan untuk berubah, saya akan melakukannya!".
Â
Dan sementara itu,  di balik ruangan  dua orang tertawa keras. "Ini luar biasa. Sebentar lagi tak akan ada  penjahat, pencopet atau bajing di kota ini. Hidup ini sangat indah rupanya."
Â
"Benar, Dokter." ujar Zamasi, "tapi sekarang seharusnya kita bisa mengumumkannya pada dunia tentang eksperimen ini. Ini bisa digunakan untuk hal-hal luar biasa sekedar menyelesaikan masalah keluarga dan pencopet kelas teri ini."
Â
"Seperti apa, Zamasi?" tukas Sanoro kembali tak senang. "Menyuruh orang untuk merampok, memberi syarat pada mereka dengan melakukan sesuatu yang kita inginkan. Begitu kan, Zamasi..?"
Â
"Dokter, maksud saya..."
Â
"Cukup. Saya sudah bosan dengan perdebatan ini. Tak bisakah kamu berbuat sesuatu tanpa harus memikirkan keuntungan pribadi...?"
Â
Zamasi menunduk. Kembali seperti biasa.
Â
Dokter Sanaro berbalik meninggalkan ruangan. Tapi kali ini sesuatu di kepala Zamasi bergerak liar tak terkendali. Dokter Sanaro terlalu naif.
Â
V I I I
Â
Keinginan adalah manusiawi. Pada tingkatan berikutnya keinginan adalah sebuah ambisi. Selama ia terkontrol maka semuanya terkendali. Tetapi saat ambisi diisi oleh ketamakan dan malah mengendalikan dirinya maka semua akan sangat jahat. Pagi hari kemudian Dokter Sanaro ditemukan tewas. Sebuah pisau dapur menghujam dada kanannya. Wajah lembut sang dokter terbujur kaku dengan darah sekujur tubuh. Siang itu juga seseorang menyerahkan diri kepada polisi. Ia mengaku telah membunuh dokter Sanaro. "Saya tak bermaksud membunuhnya. Tapi percayalah, malaikat Tuhan yang menyuruh saya membunuhnya."
Â
"Kamu gila ! Sinting..!" seru polisi yang menangkapnya, " Jangan kamu jual nama Tuhan atas apa yang kamu lakukan. Terlalu menjijikkan perbuatanmu.  Tak pantas  nama Tuhan disangkutpautkan."
Â
"Tapi..tapi saya tak berbohong...Saat itu saya dirampok dua orang bertopeng. Mereka menembak saya. Saya pikir saya pasti sudah mati. Di alam kematian saya dibangunkan oleh suara malaikat.. Malaikat itu meminta saya melakukan hal ini. Saya..saya tak berbohong..!"
Â
"Orang ini gila!"
Â
I X
Â
Barasi masih sedih. Sepeninggal ayahnya, dadanya masih begitu sesak. Potongan wawancara pembunuh ayahnya masih terngiang di kepalanya. Mula-mula tanpa arti. Tapi sepertinya ia bisa merangkai sesuatu. Seseorang pasti bisa ditanya tentang semua hal ini.
Â
"Barasi, kamu di sini rupanya?"
Â
Barasi menoleh. Manaya, suaminya tersenyum penuh kasih. Lalu duduk  dekatnya. Barasi bersukur suaminya yang dulu hampir-hampit tak ia kenal lagi berubah penuh kasih sayang. Ini karena usaha ayahnya. Mengingat itu ia tersedu.
Â
"Hei..Ada apa. Jangan sedih lagi, Sayang. Bapak sudah tenang di alamnya sekarang. Jika kamu menangis ia akan sedih juga di sana."
Â
Barasi menyeka air matanya. Melingkarkan tangannya di lengan suaminya. "Sayang, apakah kamu benar-benar mencintai saya..?"
Â
Manaya menatapnya  lembut. Pertanyaaan aneh. "Kamu tahu itu kan?"
Â
"Apakah kamu tetap mencintai saya jika saya ceritakan sesuatu rahasia?"
Â
Rahasia? " Tentang apa?"
Â
"Sebuah eksperimen. Eksperiman  bapak dan ini berkaitan dengan kamu...!!"
Â
X
Â
Kota kecil Gunungsitoli kembali heboh. Belum berselang seminggu setelah dokter Sanaro tewas, tiba-tiba kesunyian pagi dikejutkan sirene mobil polisi ke arah rumah Zamasi -- seseorang yang dikenal sebagai asisten dokter Sanaro. Ia terbujur dilantai dengan bercak darah sekujur tubuh. Nyawanya tak tertolong sesaat polisi sampai di tempat kejadian.
Â
Di sudut ruangan seorang pemuda meringkuk ketakutan sambil menutup wajah dengan lututnya. "Saya bersalah.. Saya bersalah.!!" teriaknya tanpa henti.
Â
Polisi segera meringkus pemuda itu dan membawanya ke kantor polisi. " Namanya Bayo. Dia pembantu dokter Sanaro. " ujar seorang polisi saat ditanya mengenai kasus itu kemudian, " Menurut pengakuannya ia dan Zamasi terlibat pembunuhan Dokter Sanaro. Tetapi hampir tiap malam ia di datangi arwah dokter Sanaro. Ia dipaksa untuk mengakui perbuatannya. Menurutnya arwah Dokter Sanaro akan tenang jika Zamasi mati. Ini masih terlalu dini memutuskan kesimpulan. Semua terkesan tidak masuk akal. Tapi pihak kepolisian akan terus bekerja keras."
Â
X I
Â
Barasi menumpahkan semua air dalam botol putih yang ia bawa ke atas kuburan ayahnya. Ini kebiasaan orang Nias jika membersihkan kuburan seseorang. Diakhir prosesi pembersihan, tak akan ada rangkaian bunga yang diletakkan di atas kuburan. Itu tidak terlalu lazim.
Â
"Sekarang kamu puas kasus bapak sudah terungkap?"
Â
Barasi melirik suaminya. Ia mengangguk. "Tapi kenapa Bayo harus membunuh Zamasi. Kita kan cuma sepakat menakutinya biar dia mengaku."
Â
"Saya minta maaf. Â Mulanya memang tak ada niat untuk itu. Tapi saat Bayo benar-benar ketakutan dan menurut begitu saja. Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja."
Â
"Seharusnya kamu tak melakukan sejauh itu. Kita bukan pembunuh. Tak ada kekerasan yang membawa damai di hati, apalagi jika kekarasan hanya di balas dengan kekerasan pula." Barasi terdiam sejenak. Menarik nafas. Ia merasa lebih baik sekarang ini. Â "Tapi sudahlah. Semua sudah berakhir. Semoga tidak ada kejadian ini lagi."
Â
"Kamu tak tertarik melanjutkan impian, Bapak?"
Â
Barasi menggeleng. "Eksperimen Bapak seharusnya untuk tujuan mulia. Untuk kemanusian dan cinta. Tapi di sisi lain ada kesempatan untuk menghancurkan cinta dan kemanusiaan. Semua harus dikubur. Ini terlalu berdarah untuk diingat"
Â
"Tapi, Barasi. Ini terlalu besar untuk diabaikan. Tidakkah kamu  membayangkan nama kita akan mengisi lembar sejarah dengan tinta emas. Bayangkan ada seorang ilmuwan Indonesia yang berasal dari kota kecil Lawelu yang tak terkenal, sejajar dengan Freud,  Kant, Newton atau malah para nabi. Bukankah itu luar biasa. Siapa tahu kita bisa dapat nobel..?!"
Â
....................................................................................................................................
Â
....................................................................................................................................
Â
S E L E S A I
Â
Â
Â
PROFIL PENULIS
 Nama: M. Risman Halawa
 Menyelesaikan pendidikan SI di IKIP Gunungsitoli dan S2 di UPI Bandung.
 Menulis belasan cerpen dan esay yang diterbitkan dalam kumpulan cerpen oleh Departemen Pendidikan Nasional, diantaranya: Tujuh Bagian (2003), Aku,  Bapak dan Setan(2004), Jalan-jalan Sepi Nalua (2005) dan Kisah yang Lain (2007).  Beberapa kali memenangkan lomba membuat cerpen tingkat nasional, diantaranya juara 4 tahun. 2002, finalis tk. Nasional tahun 2003 dan 2004 dan juara 1 tk. Nasional tahun 2006.
 Sebagian cerpen terbit di media cetak dan online diantaranya Kompas
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H