Tuhan tak bergeming, " Dan kamu mencari orang tua asuh bagi mereka. Mendapat bayaran yang besar. Dan kamu gunakan itu untuk kesenanganmu."
Â
Orang-orang banyak yang percaya cerita itu. Bukankah itu salah satu alasan mengapa orang-orang harus berbuat baik pada sesama. Ah...sepertinya tak ada kebaikan yang pernah ia buat. Lagi pula ia tak percaya cerita konyol itu. Ia sudah mati. Dan kini tak tahu harus berbuat apa.
Â
"Engkau memang belum mati, Anakku," Kalimat itu diulang lagi. Kali ini cukup mendapat perhatian si lelaki. " Kamu berada di rumah, Bapa-Mu. Memberikan kesempatan padamu untuk merenung. Apa yang pernah kamu lakukan. Apa yang harus kamu sesali dan harus diubah. Kamu ada di sini untuk memaknai cinta dan arti kehidupan yang kamu jalani selama di dunia"
Â
Laki-laki berguman. Tidak mengerti.
Â
"Pikirkan tentang apa yang kamu jalani selama kamu hidup. Apakah kamu sadar selama ini, kamu telah menyia-nyiakan waktumu yang berharga. Tidakkah kamu tahu selama ini engkau telah mengabaikan istrimu yang mencintaimu. Mengabaikan hari yang penuh rasa sukur. Mengabaikan keindahan pagi dan keheningan malam yang suci. Pernahkah kamu berpikir kamu terlalu banyak mengabaikan hal-hal yang luar biasa dalam hidupmu. Sekarang, pikirkan apa saja telah kamu lakukan di dunia. Setelah itu, seandainya kamu punya kesempatan untuk kembali ke kehidupanmu, apa yang akan kamu lakukan."
Â
Laki-laki itu kembali terisak. Air matanya mengalir lagi oleh penyesalan yang mendalam. Semua yang ia lakukan selama ia hidup melintas begitu saja di depannya. Di mana, Barasi sekarang? Ia pasti tengah menangisi jenazahnya. Dan orang-orang akan menatapnya dengan kasihan. Barasi amat mencintainya walau hampir selama waktu pernikahan mereka, Â selalu menyakiti hati perempuan lembut itu. Tuhan, betapa berdosanya, saya. Tubuhnya kembali berguncang keras. Kali ini oleh penyesalan yang luar biasa.