Jelas lemas-lekuk kebahagiaan di gerut wajah. Mata berbinar memandang ke langit biru menantikan berkibarnya. Lihat nanti, saksikan haru bercampur bahagia.
Pada akhirnya tiba jua saat yang dinanti. Hari yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Tak ketinggalan segenap lapisan masyarakat larut, kecuali bagi mereka yang tidak merasa memiliki negara ini, tidak mengakui tanah tumbah darahnya.
Pagi yang cerah, secerah mentari di timur sana. Rupanya Andi kecil sedang berbenah. Betapa seragam putih merah, seandainya seorang prajurit kan kelihatan sangat-sangat gagah. Dia lagi bersiul-siul di depan cermin menyisir rambut cepaknya.
"Andi ayo!"
"Tunggu sebentar!"
Ini kan hari libur nasional, lantas ke mana mereka pergi dengan seragam sekolahnya? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, kita semua telah tahu dan mengetahuinya ke mana mereka pergi di hari yang ke-17 pada bulan ke-8.
Berdua menjejakkan Masih di jalanan berbatu, menuruni lereng dan bukit, mendaki jurang-jurang terjal. Bertetes-tetes embun masih memaksakan diri di dedaunan seolah mereka ingin turut serta dan berpartisipasi di hari bersejarah ini. Hari yang tak terlupakan selama hayat masih di kandung badan, tidak pernah dan tidak akan pernah, karena aku anak Indonesia, di sini tanah tumpah darahku.
Hadir di tengah jalanan. Menari di atas pelangi. Indah selalu berjajar rapi dipucuk cemara nanayu. Tiada habis senandungkan rasa rindu berbangsa Indonesia.
Yang tertinggal saat Sang Merah Putih melangit, adalah kitmat. Mengikis akan kelabu, tinggi tunjukkan pada dunia semangatnya merah membara. Kami Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lemah, kami Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang besar. Cucuran keringat adalah saksi. Jutaan tetes darah adalah bukti keberadaan kami "satu".
"Proklamasi....!"
Besuknya, kemeriahan belum juga berlalu. Selalu ada moment istimewa di hari yang istimewa. Inilah dia puncaknya, spektakuler bagi desa Andi yang terpencil dari keramaian dan kebisingan kota. Bukan apa-apa, tapi ini adalah budaya sebagai satu dari sekian juta khasanah kekayaan Indonesia.