"Andi, istirahat sana!"
"Belum lelah!" Â Mas
berkata masih kuat. Mencangkul tanah baru ditinggal panen kemarin. Ingin cepat menyusul di seberang sungai sana yang lebih dulu menggambar permukaan tanah lewat lukisan hijau.
Dilihat ke belakang ada sedikit ketimpangan. Timbul senyum terwujud belah. Lihat kebekuaan yang dicairkan. Lihat bagaimana semangat kadang lebih berarti daripada sekedar badan yang gede, itulah Andi kecil tunjukkan dengan ayunannya.
"Tu...teman-temanmu memanggil, susul sana!" Kata Mas
"Asyik...aku pergi dulu Mas!"
Langsung tancap, rasanya menyelinap lompat. Terjun bebas terdampar terlempar jatuh tertelungkup. Yang jelas tak mengapa, karena telah terbiasa.
Ngacir, begitulah Andi yang masih anak-anak. Bermain jadi nomer satu, sekali main lupa segalanya. Itulah anak-anak yang belum dewasa, bukan begitu?
Menyusuri jalan sempit, berlari mengejar parit-parit. Lompat ke sana, lompat ke mari diharapkan dapat menyingkat waktu dan jarak. Menelisik mengitari pematang sawah menunjuk pada satu arah.
"Aduh!"
terperosok rupanya, artinya terhambat. Tapi tak begitu berarti, cepat berangkat kembali kejar ketertinggalan. Tidak perlu takut, karena kita berdiri di rumah sendiri, di atas tanah sendiri.