"Berhenti kataku!" dengan nada tinggi Andi meraih kerah baju Anang. Seketika itu bogem mentah mendarat telak di muka Anang, lagi dan lagi hingga tersungkur di tanah. Belum cukup, ditarik dan sekali lagi bogem mentah didaratkan di muka, pula di perut. Tak pelak lagi Anang meringis menahan sakit, menangis mengerang dengan muka yang benggak.
"Ayo bangun...terima ini, rasakan akibatnya coba main-main denganku. Mau mengkhianati aku yaa?"
Tidak ada cakap, tidak ada pula perlawanan. Begitu saja ditinggal tubuh Anang yang limbun ke tanah tak berdaya. Dengan tak berdosa menyeret ke ujung pohon dan dengan bergegas melepas pandang tanpa meninggalkan bekas. Lekas berlari, puas melemparkan amarahnya.
Biar kata tangan telah bicara, rasa kecewa masih ada dan menggelayuti. Andi tidak langsung pulang, melainkan sendiri dan menyendiri di sudut desa yang lain. Bermain dengan riak air yang dangkal lagi jernih, mengombang-ambingkan pucuk-pucuk daun di tepinya duduk.
Tidak ada yang lain dikerjakannya. Memandang air yang meninggalkan, berbaring merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Sekedar manjakan diri yang dalam kekalutan.
Jelang Magrib baru pulang. Landai, menciut dagunya dengan sesekali menendang-nendang jalanan yang berbatu. Merangkas daun-daun di sekelilingnya dengan sekali tebas langsung buang. Perasaan kesal!
"Assalamu 'alaikum...aku pulang!"
Tak ada senyum, tak ada raut muka menengadah. Yang ada hanyalah kepala tertunduk, muka merah dan tangan setengah mengepal. Luruh dan runtuh dinding-dinding hatinya, membekas luka bernanah.
"Duduk!"
"Lelah, aku mau tidur, Mas!"
"Duduk kataku!"