Terpatah-patah memperpanjang nafas. Terbata-bata mengulum ludah mengganti kering kerongkongan. Mensejajarkan diri mengembalikan ketenangan yang menipis.
Sejenak, sekali lagi memandang lepas. Menggali lingkungan, membaca situasa. Menerawang menapak tilas tiap jengkal tanah yang terbentuk. Mengusung lusinan burung-burung untuk meminta Tanya di manakah bisa ditemukan, di mana?
Deg-degan. Sinar mata Andi berubah menjadi kelam, sekelam malam. Ingin berteriak sekeras-kerasnya memekik. Ingin menghempaskan diri ke tanah, membaurkan telinga dengan tanah barang kali ada derap empat kakinya terdampar hingga tahu ke mana si hitam gerangan.
"Mas!"
Nihil, jangankan Si Hitam, sang Mas juga gak ada. Sekonyong-konyong bertanya ke sana, di sebelah kiri dimana ada Pak Wardiman. Pula sebelah Kanan, ada pula Pak Wandi yang juga mengisyatkan sama, kosong diperaduan mata memandang.
"Terima kasih, Pak!"
Menangis sendiri. Lagu sedih mengiringi derap kaki. Yang diharapkan adalah, Sang Mas dan Si Hitam, berjalan pada arah yang berbeda, melewati jalan yang lain.
"Lihat...!"
"Tidak!"
Sejurus mengeruk pikiran. Memecah kebekuan, mengotak-atik pikiran yang semerawut.
Andi makin bingung, makin tak tahu harus bagaimana. Kecil sudah perasaan hati ini. Makin menipis asa. Ke mana harus melanjutkan langkah?