“Baiklah kanda. Akan kuceritakan semuanya. Tetapi sebaiknya kita duduk di dalam saja. Tak baik bercakap sambil berdiri walaupun kita di tengah hutan dan berdua pula”. Gadis itu mengajak Jompong Suar menuju serambi depan gua.
Setelah kedua muda mudi itu duduk berhadapan mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri menarik nafasnya dalam - dalam seakan berpikir dari mana akan dimulai ceritanya. Sejurus kemudian ia berkata.
“Kanda Jompong Suar. Di tempat yang sunyi ini aku hidup sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak obahnya bagai dalam penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman tempat mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun kanda melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku terkonyak dan harapku hampir punah. Rumahku gua angker ini hendak pergi kemana lagi”. Gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata membasahi pipinya yang merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan perasaan dan pikiranya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
“Satu - satunya yang memberiku hidup di tempat ini ialah seorang raksasa wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari - hari kupanggil nenek”, kata MandangWulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika Putri Mandang Wulan menyebut raksasa sebagai nenek.
“Duhai dinda putri jadi engaku ini anak raksasa?. Oh...... kalau begitu sebaiknya aku segera lari dari tempat ini!. “Kata Jompong Suar. Kemudian gadis itu menyambung.
“Tenanglah kanda: dengarlah kisahku sampai selesai. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga bukan jin. Aku takkan sampai hati untuk menipumu”, kata gadis itu, lalu kemudian meneruskan pembicaraan.