“Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat raksasa itu. Kanda biarlah supaya kita aman menempuh perjalanan ini”, kata Mandang Wulan.
Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan keempat ditiupnya secara bersamaan. Yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah ajaibnya dari kuncup sekecil itu bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa yang galak dan jahat itu, sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya. Pekik kesakitan menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya terbelah membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendatipun raksasa yang kuat itu berusaha melepaskan diri tetapi jepitan tanah itu seolah - olah semakin kuat saja menjepitnya. Raksasa itu meraung - raung kesakitan. Tulang belulangnya remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar. Akhirnya sang raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa terteguh juga. Raksasa yang selama lebih dari setahun dipanggilnya dengan nenek itu kini telah tewas. Adajuga kesedihan yang menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah dibuat tersiksa oleh raksasa itu. Selama dalam sekapan raksasa itu sang raksasa ternyata tidak pernah menyakiti tubuhnya. Tetapi raksasa itu tetap saja punya tujuan akhir untuk membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala penderitaan itu. Dalam kelelahan perjalanan itu Mandang Wulan mulai berbicara.
“Kini amanlah perjalanan kita Kanda. Bersyukurlah kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan diselamatkan”, kata Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuu kampung halaman yang letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai putri seorang raja yang masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana tidak banyak mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehinga dalam perjalanan kerap kali dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung atau nama desa yang dilaluinya.