“Jompong Suar, engkau adalah perusuh, perampok, bahkan besok kamu akan menjadi pembunuh yang kejam. Engkau telah bersalah besar. Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga engaku kuperintahkan untuk mencari dan membawah ke istana sebatang bambu berbatang perak, berdaun emas, dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai perusuh. Bila kau mendapatkannya aku akan memberiakan hadiah sangat berharga kepadamu. Tetapi jika engkau kembali dengan tangan hampa maka hukuman lebih berat lagi akan kau terima”, kata Baginda tuntas.
Bagai petir menyambar di siang bolong rasanya setelah Jompong Suar mendengar putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh pingsan, untung saja ayahnya cepat memegang pundaknya. Ia bangkit dari tempat duduknya setelah tangannya diangkat untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang tak henti - hentinya Jompong Suar menghela nafas pertanda kesal atas putusan yang dijatuhkan kepadanya, Sebentar - sebentar ia mengeluh memikirkan hukuman yang berat itu. Ayahnya segera menenangkannya. Kata ayahnya:
“Wahai anaku, sabarlah meneriama putusan itu. Yakinlah di balik kesulitan akan datang kemudahan”, kata ayahnya.
“Memang benar apa yang ayah katakan dan anakda akan rela menghadapi cobaan itu. Hanya saja putusan itu terlalu kejam, tidak adil, dan tidak sebanding denga kesalahan yang anakda lakukan”, kata Jompong Suar kesal.
“Sudahlah Nak”, kata ayahnya.”Tidak baik jika terlalu menyesali nasib”, lanjut sejenak. Mereka berdua terdiam sesaat. “Ketehuila anakku bahwa sang Raja sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya seringkali memberikan putusan tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang - kadang lebih kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan”, bujuk ayahnya.