2
GENGÂ TM
Â
AKU tahu Rinta pasti akan menutup telinga saat aku menceritakan Radit. Tapi kupaksa. Saat ku ceritakan tentang diary itu, percakapan terasa semakin mengasikkan. Rinta mulai menangkapi. Sementara itu, di depan kami kira-kira berjarak 10 meter dari kami ada cowok yang berjalan cukup mencurigakan. Bagaimana tidak, dia jalan seperti ayam kesurupan, tangan yang satunya memegang mulutnya dan yang lainnya memegang perutnya. Semakin dekat, semakin jelas. Tubuhnya remuk, penuh dengan memar dan keluar darah dari mulutnya.
"Dra, kenapa kamu?"
Indra  menghentikan langkahnya sebentar karena sapaan Rinta tadi. Tapi Indra balas dengan tatapan yang tak bersahabat, lalu pergi.
"Ehm... Ditanyain malah melotot." Gerutu Rinta.
Dari arah Indra muncul, terdengar suara berisik.
Dengan langkah yang dipercepat kami menghampiri. Ternyata di sana sedang berlangsung suatu kekejaman. Aku tercekat, hampir berteriak. Tapi Rinta buru-buru menyumbat mulutku. Kami jongkok bersembunyi di balik  tumpukan kayu. Mengapa tidak aku hendak berteriak saaat aku melihat Rades, Ketua geng TM -alias Trouble Maker alias para pembuat kekacauan, sumber kekacauan yang ada di sekolah- sedang tertawa terbahak-bahak seperti kesurupan setan melihat Herman, salah satu anak buahnya, sedang membabi buta memukul Alan, teman Indra, dengan balok kayu.
"Heh! Kalau kamu tidak mau ngaku. Aku jamin nyawamu bakal melayang, ngerti?" Bentak Herman.
"Aarrrgghh..........." Alan meringkik kesakitan, geng TM tertawa menang.
"Udah! Sini biar aku urus." Cegah Rades cepat-cepat ketika Herman hendak memukul Alan lagi. Di genggamnya kuat-kuat kerah baju Alan yang telah tak berdaya penuh lebam.
"Masih belum mau ngaku, hah?"
"Ampun. Sumpah, aku tidak tahu apa-apa."
Rades melepaskan genggamannya, Alan tersungkur tak berdaya di tanah. Rades turut duduk. Rokok yang sedari tadi bigitu nikmat ia hisap, kemudian ia tekan kuat-kuat pada telapak tangan Alan. Alan menjerit kesakitan.
"Ampuunn. Ba... barang itu. Udah ndak di aku."
"Dimana?"
"Di... dirampas Ra... Radit."
Dengan sekuat tenaga Rades mengarahkan bogem mentah ke hidungnya. Tak ayal lagi hidungnya pun mengucurkan darah segar.
Setelah itu, geng TM yang terdiri dari 5 orang itu pergi peninggalkan Alan yang sepertinya tak sadarkan diri sendirian. Sigap aku dan Rinta menghampiri.
"Alan! Kamu tidak apa-apa kan?" Ku tepuk-tepuk pipinya. Alan membuka matanya. Ternyata ia tidak pingsan.
"Aah! Mau apa kalian kesini?" Alan menepis tanganku.
"Kita-kita liat kok tadi yang geng TM lakuin ke kamu."
"Jangan bilang siapa-siapa ya kalian." Alan gusar.
"Aneh. Eh, Alan! Seharusnya orang kayak geng TM itu dilaporin ke BP. Biar tidak semena-mena di sini."
"Lebih baik kalian diam. Anggap aja kalian tidak tahu apa-apa." Ucap Alan sambil berusaha bangkit. Saat aku hendak membantunya, Alan malah mendorong bahuku.
Hari ini, aku baru saja melihat bahwa tak sepenuhnya keadilan akan datang pada setiap manusia. Selama ini aku hanya tahu ganasnya geng TM dari anak-anak. Belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Tak pernah ada yang berani mengusik ketenangan geng TM, apa lagi Rades, ketuanya. Semua anak lebih memilih tutup mulut. Rades membabi buta, anggap saja tidak melihat. Ada yang dipukuli, anggap saja itu nasib  buruk sedang menghampiri. Bukan tanpa alasan, ada satu faktor vital, karena Rades adalah anak kepala sekolah. Semua diam. Justru Kepsek selalu memuji-muji Rades, karena dia mampu membawa sekolah ini di tingkat nasional berkat prestasi basket. Rades adalah kapten tim basket. Dan lagi nilai-nilainya tidak pernah merah. Bagaimana tidak, kalau dia punya banyak suruhan buat ngerjain tugas-tugasnya. Aku pun sebenarnya malas dengar cerita Rades dengan ulahnya yang  nyebelin itu tiap hari.
"Bukan geng TM, kalau sehari tanpa membuat masalah di sekolah." Bahkan hingga istirahat di kantinpun perbincangan tentang Geng TM masih berlanjut. Untungnya ketika sampai di kantin, Geng TM sudah beranjak pergi.
"Tapi itu keterlaluan, kasihan Alan kan, Rin?"
"Mana ada mereka peduli."
Ku lihat dari arah kepergian geng TM. Radit muncul. Sekilas Rades melempar pandang tajam padanya. Radit tak terlalu menggrubris. Segera Radit duduk di sampingku.
"Kamu kenapa sama Rades?" Tanyaku menyelidik.
"Bukan apa-apa."
"Tapi tadi pagi aku ngeliat Indra dan Alan dipukuli, mereka nyebut nama kamu."
"Itu bukan urusan kamu." Jawabnya dingin.
"Pak! Baksonya satu." Teriak Radit pada Pak Darmo.
"Kamu ndak mau cerita sama aku?" Paksaku.
"Sayang, bukannya aku tidak mau." Â Radit memegang mukaku dengan kedua tangannya."Tapi aku tidak mau kamu ikut dalam masalah ini, oke?"
Aku tahu Radit berusaha menyembunyikannya, tapi aku ingin tahu. Belum selesai otakku menemukan solusi, mataku sudah terperanjat oleh tingkah Rades yang dengan perlakuan gilanya membuat masalah lagi. Agak jauh dari tempatku, Nia dan Indra jadi bulan-bulanan kegilaan geng TM. Indra dipecundangi, ia ditampar, di jitak, di tarik rambutnya. Indra mengaduh, geng TM terbahak, sedang Nia lari dengan uraian air mata.
"Sudah tidak usah perdulikan mereka." Radit memalingkan mukaku dari pemandangan itu dengan kedua tangannya.
"Apa pantas mereka disebut manusia?" Aku emosi.
"Emang kamu nganggep mereka manusia? Bukan lagi, mereka itu setan yang diusir dari surga terus turun ke bumi menyerupai manusia."
"Apa di dunia ini tidak ada  keadilan? Disebutkah adil perlakuan mereka. Siapa yang mau dipecundangi seperti itu, di depan teman-temannya sendiri pula."
"Udah deh, tidak usah peduliin mereka, itu urusan mereka."
 "Bahkan kamu sendiri, seorang Radit yang genius, punya pemikiran yang seperti itu? Mereka cuma berlindung di bawah ketiak kekuasaan bapaknya. Bukan dia yang punya kuasa di sini. Selama aku, kamu dan mereka memakai seragam yang sama, itu artinya hak kita sama. Masalah dia anak kepsek itu ga' ngaruh. Lagi pula aku yakin kalau kepsek tahu, pasti mereka dapat balasan yang setimpal."
"Udah Prin! Kamu kenapa sih? Anggap saja kamu tidak lihat. Jangan cari mati." Rinta turut bersatu faham dengan Radit.
"Kalian semua sama aja. Coba kalian yang berada di posisi anak-anak yang selama ini jadi bulan-bulanan mereka, gimana rasanya di-bully. Pasti kalian ingin ada orang yang nolong. Tapi di saat yang bersamaan tidak satu orangpun yang perduli. Itu sama saja dihakimi dengan kejam tanpa hakim." Aku pergi meninggalkan Radit dan Rinta. Aku sebel, kenapa sih mereka?
Aku terus saja berjalan dengan tangan yang kukepal-kepalkan, mulutku terus komat-komit menandakan kekesalan yang terus memuncak. Tapi amarahku harus aku tahan dulu ketika aku berjalan melewati mading sekolah. Banyak anak-anak yang bergerumul di depan papan mading, membuatku penasaran aja. So, aku liat aja. Tapi sayang karena postur tubuhku yang tidak menguntungkan. Aku akui tubuhku pendek tak lebih dari 145 cm. Tak bisa melihat, cuma berjinjit-jinjit tanpa beroleh hasil.
"Lihat apa sih?" Tiba-tiba ada sepotong suara yang berbicara dekat telingaku.
Saat aku menoleh ternyata itu Rades. Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Inikah perasaan yang dialami semua para korban geng TM ketika berhadapan dengan Rades?
"Ga' tau, tidak kelihatan." Jawabku singkat kemudian hendak melangkah pergi.
"Mau lihat ga'?"
"Nanti aja. Masih ramai." Aku berusaha menyingkir beberapa langkah.
"Kalau bisa sekarang, kanapa harus ditunda?"Â
Tak tanggung-tanggung sejuta keterjutan menghujaniku, Rades tiba-tiba menggendongku. "Minggir, tuan putri mau lihat pengumuman nih!" Teriakan Rades menyeruak agar anak-anak menyingkir.
"Nah! Sekarang kamu bisa baca pengumumannya kan?"
"Rades, please! Aku ndak ada urusan sama kamu, so please banget, turunin aku."
"Kalau aku yang punya urusan sama kamu gimana?"
"Urusan Apa?" Entah kenapa aku mulai meraba hal yang mencurigakan.
"Udah baca pengumumannya?"
"Iya!"
"Aku belum baca. Tolong bacain dong buat aku."
Ih....! Manja banget ni orang
"Pengumuman. Besok pagi  jam istirahat akan diadakan seleksi pemain basket baru plus tim cheers leader baru. So, buat kamu-kamu yang ngerasa punya bakat. Silahkan gabung bareng kita-kita besok pagi di lapangan basket. Tertanda Rades, kapten basket SMA Pancasila."
"Itu yang aku maksud."
"Apa?"
"Kamu harus ikut."
"Basket?"
"Iya biar tinggi, biar kalau ngeliat mading tidak usah jinjit-jinjitan."
Kurang ajar ni anak, ngece banget karena aku pendek.
"Lepaskan dia!" Tiba-tiba ada seorang yang mendekat, itu Radit. Hore! Pangeranku sudah datang, buat ngelawan monster yang kejam ini.
"Oh! Radit." Rades berjalan mendekat ke arah Radit, dan 4 begundal itu mengekor di belakang Rades.
"Prinsa tidak ada hubungannya dengan kamu, lepasin dia."
"Kalau aku mau, Prinsa bisa aku bawa lari sekarang dari kamu. Tapi sayang itu terlalu pengecut. Aku mau pakai cara yang lebih gentle. So, aku tunggu kedatangan kamu besok." Rades melenggang, diikuti geng TM lainnya.
"Prinsa! Jangan lupa. Jadilah putri lapangan esok. Aku tunggu, dan  tidak ada alasan kamu tidak datang besok."
***
Seharian tanda tanya besar yang ada dalam otakku tak bisa aku jawab. Bahkan sampai mentari pagi kembali muncul, Radit tetap tidak mau jujur padaku. Pagi ini jam pelajaran kedua di kelasku adalah olah raga. Aku dan Rinta baru selesai ganti baju, setelah itu langsung bergegas ke lapangan. Katanya Pak Andrew guru olah ragaku sedang ada kepentingan, jadinya kami bebas. Aku dan Rinta berencana main basket bersama. Namun sepertinya niatku akan ku urungkan karena di lapangan ada Rades yang sibuk mendribel bola mengarahkannya ke ring ditemani Herman.
"Morning, Prinsa!" Sapa Rades.
"Pagi! Kok masih di sini, bukannya kamu ada gurunya?"
"Emang kenapa kalau aku pengen di sini?"
"Prinsa! Kita ikut pemanasan aja yuk," ajak Rinta, takut bakal terjadi apa-apa dengan aku. Tapi sayangnya keburu Rades menarik tanganku.
"Padahal kalau kamu minta, aku bakal ke kelas loh."
"Itukan terserah kamu," ku lepaskan pegangan Rades, segera aku berlari menarik tangan Rinta. Hufh! Sebenarnya manusia macam apa sih Rades itu? Merinding kalau ketemu apalagi sampai diajak bicara, beneran seperti ketemu setan. Hiiii.....
"Aku tunggu kamu di sini entar pas break, Ok Prinsa!" Teriak Rades.
Hiii.... Ga' deh. Aku tidak mau punya urusan dengan Rades. Aku urungkan niatku untuk menegakkan keadilan. Ternyata benar, lebih baik tidak punya urusan sama geng TM. Hidup lebih aman dan tentram.
Tiba-tiba Hpku memekik, ku rogoh sakuku.
 "Radit My Prince"
 Any good news for you, nextweek. I'm going to Java, I want to meet you. Please give your address.
Belum lagi aku balas chat Radit, Rades datang menarik tanganku membawa aku ke lapangan yang waktu itu mulai ramai. Semua terhenti seketika, sunyi dan tenang ketika Rades datang. Pandangan penuh keheranan, pandangan yang menusuk. Aku tak terbiasa menjadi pusat perhatian, apalagi dengan keadaan yang seperti ini. Rades menurunkanku tepat di tengah kerumunan. Waduh! Mau pingsan ni aku.
"Jesica! Aku mau masukin Prinsa ke tim cheers kamu." Tukas Rades pada Jesica ketua tim cheers sweety girl.
"Hah!...... Gila apa? Kita-kita tidak bisa sembarangan gitu aja nerima. Banyak tes yang harus dia jalani. Apalagi kayaknya dia ga' bisa nari deh, kaku." Tukasnya sembari menyandarkan tangannya kepundak Rades.
Ih! Centil banget ni cewek, mau muntah aku.
"Lagian siapa juga yang mau ikut tim cheers kamu. Apa itu sudah namanya?"
"Sweety Girl!" Ucap yang lain kompak penuh kecentilan.
"Oh! Kirain The Ugly Girl." Aku munculkan sedikit keberanianku, kalau tidak begitu bisa diinjak-injak aku.
"Kurang ajar kamu ya." Jesica mengangkat tangan hendak menamparku, tapi ku tangkis.
"Jangan kamu fikir aku takut sama kamu." Kulempar keras-keras tangannya.
"Aah ... Rades, dia nyakitin aku." Rengek Jesica mendekat ke arah Rades lagi.
"Aach! Capek deh!" Muak ngeliat tingkahnya.
"Kurang ajar kamu, Des. Sudah aku bilang jangan bawa-bawa Prinsa dengan masalah kita." Pekik Radit yang tetiba muncul dari belakangku. Setelah itu aku fikir good choice jika Radit menarik tanganku untuk pergi meninggalkan keramaian.
Saat ini yang sungguh-sungguh aku ingin lakukan adalah berteriak sekeras-kerasnya, hingga suaraku tak tersisa, hingga pita suaraku pecah, hingga habis segala gundah dan gumpalan yang ada di dalam dada. Takdir, kenapa selalu menyisakan tanda tanya besar. Kadang begitu baik, kadang pula begitu kejam. Seperti yang terjadi padaku saat ini. Padahal aku tidak pernah mempermalukan orang, kenapa sekarang justru bertubi-tubi aku dipermalukan oleh Rades. Aku tak faham apa yang sebenarnya ia inginkan. Diantara tangisku itu, Radit hanya duduk diam tanpa kata di sampingku.
"Sudah setengah jam kamu menangis. Apa masih banyak air matamu?" Tukas Radit rendah, namun jelas sekali kata-kata itu menusuk. Radit langsung menarik tanganku dan memelukku erat-erat, erat sekali, sangat erat. "Maaf."
Ajaib, selama ini hampir tidak pernah aku mendengar Radit say pardon kalau dia salah. Rasanya, seperti melayang. Segala kesedihan, segala rasa yang sebelumnya benar-benar memecah kantong air mataku, kini sirna. Saat seperti itulah yang selalu aku rindukan. Dekapan hangat penuh kasih sayang darinya. Sungguh tak ada perasaan aman yang terasa begitu nyaman seperti pelukan seorang Radit, obat mujarap untuk menghentikan tangis cengengku. Aku sendiri bingung, kenapa mataku gampang sekali mengucurkan airmata.
***
      "Prinsa! Aku yakin kalau kamu jadian sama Rades, kamu bakal nyetak rekor. Selama ini aku ga' pernah ngeliat Rades punya cewek. Aku super-super yakin kamu bakal jadi pacar pertamanya."
"Ye......Giman ga'? Pastilah tidak ada cewek yang mau sama dia. Orang kayak setan gitu. Amit-amit, sekalipun didunia ini ga' ada lagi cowok, mending sama kambing deh dari pada ama dia."
Tiba-tiba udara dingin merasuk, merinding. Padahal sekarang masih siang.
"Rin! Kamu ngerasa ada yang aneh, ndak?"
"Aneh gimana?"
"Bulu kudukku pada berdiri ni. Ih......Mrinding, masak iya siang-siang gini ada hantu sih."
      Braakkk....."Hei" Suara gebrakan meja mengagetkanku. Wajarlah kalau aku merinding. Ternyata benar-benar ada setan, Rades tiba-tiba duduk di atas meja.
      "Ah! Kurang asyik kamu tadi. Kan udah aku bilang kamu harus jadi putri lapangan. Apalagi gara-gara si pangeran kodokmu itu, jadi berantakan pertunjukannya. Eh! tolong bilangin ke Radit ya. Kalau dia emang benar-benar gentle, seharusnya dia tidak pergi gitu aja tadi. Padahal aku udah nyiapin arena buat dia."
Besar banget sih mulutnya. Rasanya pengen aku sumbat tuh mulutnya pake penghapus. Eh tunggu! Rinta kamana yah? Kok tidak ada sih? Perasaan tadi duduk di sampingku, yah dia pergi.
"Rades! Aku mohon banget ama kamu. Please! Jangan ganggu hidup aku. Aku ga' pernah gangguin kamu kan?"
"Katanya pengen negakin keadilan terhadap sikap aku yang kayak setan? Loh kok sekarang waktu aku kasih kesempatan malah ngindar sih?"
Tau dari mana dia?
"Ng.....ga'........kata siapa?" Aku mulai ketakutan.
"Perlu kamu tau ya, Prinsa. Aku punya banyak telinga di sini. Dan telinga aku tidak pernah salah dengar."
Gimana ni? Entar aku ditelan hidup-hidup ni sama setan galak ini. Tiba-tiba airmataku keluar. Aduh jangan netes banyak-banyak dong, airmata.
"Yah, malah nangis lagi. Cengeng banget sih kamu, belum juga diapa-apain."
Mau gimana lagi? Aku kan takut.
"Heh!" Rades memegang daguku, medongahkan wajahku "Kamu di sini itu bukan siapa-siapa, oke? So, ga' usah sok punya solidaritas buat ngebela temen-temen kamu. Ngebela diri sendiri aja belum becus." Ia lempar keras-keras mukaku.
      Aku sudah tidak tahan, ini benar-benar sudah keterlaluan. Rasanya ingin aku pukul dia sampai mati, terus bangkainya aku buang ke hutan biar dimakan singa.
"Heh, kamu punya mulut kan? Ngomong dong!"
"Kamu tidak punya hati yah? Kamu tidak pernah mikir gimana perasaan orang-orang yang kamu kerjain?" Kata-kata itu hanya tercekat di tenggorokan, tak bisa ku lontarkan. Tak ada suara yang keluar, hanya sesenggukan yang semakin menjadi, semua terasa seperti neraka dan dia adalah iblisnya. Kenapa tidak ada yang mau bantuin aku? Semuanya cuma ngeliat, tidak berbuat apa-apa.
Ku lihat ke arah Rinta, mungkin ia mengerti apa yang aku maksud, "Aku panggil Radit dulu." tukasnya tanpa suara, tapi aku mengerti dari gerak bibirnya, tapi naasnya di sana sudah ada Herman dan yang lainnya yang menjaga pintu.
"Mau kemana kamu?" Bentak Herman.
"Mau... mau ke Toilet, udah kebelet ni, please ijinin aku keluar."
"Udah! Biarin aja dia keluar. Kamu mau ngepelin kalau dia buang air di sini? Mungkin juga dia mau manggil si Pangeran kodok ke sini." Ucap Rades tak berperasaan.
Dasar bener-bener manusia tak berperasaan. Apa mungkin waktu Tuhan ngebagi-bagiin perasaan dia tidak hadir yah?
"Lepasin Prinsa." Suara itu berasal dari arah pintu. Itu adalah Radit. Please, Dit tolongin aku.
      "Princess! Pangeran kodok kamu udah datang tu. Haha."
"Denger ya Des, kamu tidak usah ngegertak aku. Jangan kamu fikir dengan gertakan kamu itu aku bakal takut. Ingat yah! Aku punya rahasia kamu."
"Oh ya? Tapi sayangnya aku udah tidak butuh dengan ancaman kamu. Silahkan kamu sebarin Rades tidak pernah takut."
"Eh, Rades! Kamu itu sebenarnya manusia macam apa  sih?" Ucapku sambil mendorong bahunya. "Setiap hari kerjaannya cuma bikin kekacauan, apa artinya kamu disekolahin?" Lama-lama aku tidak tahan ngeliat tigkahnya yang selangit. Apalagi sampai Raditku disakiti. Ku coba melawan rasa takut, dan akhirnya keluarlah kata-kata itu dan untuk selanjutnya aku tak tau akan seperti apa nasibku dibuat Rades.
"Eh! Aku ga' lagi ngomong  sama kamu." Rades membalas mendorong bahuku, "tadi disuruh ngomong malah mewek sekarang malah ngoceh, emang tidak ada senajata lain apa buat cewek ngelawan?"   Â
"Kamu tidak usah banyak cingcong." Herman kesal. Ia mendekatiku. Aku sedikit merinding, tapi sudah terlanjur basah, sekalian nyebur aja. Ku coba tarik nafas menenangkan diri, aku sudah bertekad dan kali ini aku tidak boleh gagal. Â
      "Des ada guru yang datang," cegah salah seorang Geng TM lain yang berjaga di depan pintu.
"Beruntung kamu sekarang."
      "Ayo cepet Des, cabut."
Rades dan yang lainnya beranjak meninggalkan kelas. "Perlu kamu ingat jangan harap hidup kamu bakal tenang selama aku masih hidup," kata-kata terakhirnya itu membuat jantungku seolah ingin meloncat keluar dari tubuhku, hatiku ngilu seketika.
      Guru datang, Radit turut pula keluar dari kelasku. Aku menyesal. Tak seharusnya tadi aku memunculkan keberanianku untuk melawan Rades jika akhirnya seperti ini. Aku salah terka, jika berfikiran bisa merubah Rades. Dia adalah manusia yang hatinya telah hitam dan membatu. Mungkin takkan pernah ada perasaan kasihan dan tak pernah mengenalnya.
      Seandainya bisa, ingin rasanya saat ini aku pergi dan menghilang dari muka bumi karena aku tak punya cukup keberanian untuk menghadapi hari-hariku selanjutnya di sini. Karena aku rasa ancaman Rades itu tidak main-main. Bagaimana mungkin aku bisa menghadapinya?Â
***
      "Prin! Tunggu." Panggil Rinta dari belakang, "Aku kira kamu tidak mau masuk Prin."
"Buat apa aku tidak masuk?"
"Kamu tidak takut sama Rades?"
"Takut sih takut, tapi asal kamu tau ya, aku tuh bukan pengecut. Meskipun aku bakal dikerjain tiap hari, aku tahan-tahanin."
      "Wiiih! Beneran nih? Aku salut sama kamu, Prin."
      "Eh, kalau digangguin tiap hari beneran sih nggak mau. Hehe"
Sampai di depan kelas, entah kenapa aku masih menolehkan wajah ke arah kelas Radit yang letaknya berhadan dengan kelasku. Dan di depan pintu terlihat Radit sedang berdiri melihat ke arahku sekilas lalu kembali sibuk dengan urusannya.
Istirahat tiba, tapi aku tak terlalu bersemangat. Aku ingin hanya berdiam diri di kelas. Entah ada apa Radit ke kelasku. Dia pura-pura ngobrol dengan anak-anak di kelasku. Saat ia hendak berjalan ke arahku, Rinta datang.
 "Gawat, Prin! Aku....aku liat mereka ngeroyok Alan lagi di toilet."
"Serius kamu?"
"Iyalah!"
Aku bergegas mengikuti langkah Rinta yang menarik tanganku. Sekilas kuedarkan padang ke arah Radit. Dia tidak menggubrisku. Ah, sudahlah.
Setibanya di toilet aku dan Rinta menunduk bersembunyi agar tidak ketahuan. Benar saja, kulihat Alan sedang dikeroyok. Tubuhnya lebam.
"Mereka udah kelewatan kali ini Rin!"
"Semua juga tahu. Tidak ada gunanya melawan. Malah kita yang celaka nantinya."
Ini tidak bisa didiamkan. Aku harus bertindak. Aku bangkit, kuberanikan diri mengetuk pintu kantor kepsek. Rinta menyingkir tak mau ikut.
"Silahkan masuk. Ada keperluan apa?"
"Ada anak yang dikeroyok di toilet, kasihan Pak."
Beres, Pak kepsek bisa kuyakinkan. Aku harap dengan ini semua bisa baik. Semoga saja.
Untung saja, saat tiba di TKP ritual penyiksaan oleh geng TM belum usai. Lebih menguntungkan lagi,  Kepsek langsung melihat Rades yang sedang  menjotos Alan. Kena kamu sekarang, Des. Rasain tu.Â
"Papa!" Good! Rades seperti kepiting rebus. Pasti dia ga' bakal nyangka bahwa hari ini akan menjadi hari kematiannya. Nikmati saja kuburan yang kau gali sendiri, Rades.
"Dia nge-drugs, Pa. Rades selaku teman yang baik harus ngingetin dong. Nah, Rades bukan cuma sekali dua kali Pa ngingetin dia, sering. Tapi dia tetap, malah sekarang dia jadi pengedar. Rades makin marah, Rades tidak terima kalau dia mau ngancurin temen-temen, terlebih sekolah ini. Dan kali ini Rades sudah tidak bisa toleransi lagi."
Kurang ajar, pinter banget Rades bersilat lidah. Tidak, Kepsek tidak boleh percaya.
"Betul itu Pak, betul." Bela geng TM yang lain. Kepsek menghampiri Alan yang telah terkapar tak berdaya. Diliat-liatnya keadaan tubuh Alan.
 "Tapi Papa fikir tindakan kamu ini terlalu berlebihan, menghajarnya babak belur begini. Kamu tidak perlu menghakimi dia sendiri, pihak sekolah bisa mengurusnya."
Bagus, sekarang mampus kamu.
"Maaf  kalau Rades lancang, Pa. Tapi Rades udah pernah ngelaporin dia ke BP. Tapi dia selalu bisa ngilangin jejak. Rades kesel, Pa."
 "Mereka bohong, Pak!" Aku keluar dari tempat persembunyian. Seketika tatapan setan geng TM menusukku, seperti hendak menelanku hidup-hidup.
"Saya tahu, Pak! Alan tidak salah. Selama ini mereka selalu menyiksa anak-anak yang tidak bersalah. Banyak yang sudah menjadi korbannya, termasuk saya, Pak!"
"Maksud kamu apa Prinsa? Kamu mau bilang kami ini jahat?" Rades berjalan mendekatiku. Nafasku tak teratur, jantungku berdegup tak karuan. Bagaimana ini? Tuhan! Kuatkan hamba.
"Kamu bicara apa sih sayang!" Rades merangkulku, menggantungkan salah satu tangannya di pundakku. Aku semakin sesak bernafas.
Ku lepaskan tangannya.
"Pa, dia ini pacar Rades, Pa. Kami lagi marahan. Jadi ya, harap maklumlah, Pa."
Gila. Bener-bener gila ni orang. Lama-lama bisa senjata makan tuan ni.
"Pak sumpah, saya berani bersumpah kalau selama ini geng TM itu selalu bertindak sok kuasa, sok jadi jagoan."
 "Papa percaya kan sama Rades? Selama ini Rades tidak pernah ngecewain Papa."
"Baik, mari semua ke ruangan saya."
Alan dan beberapa orang dipanggil ke ruangan kepsek, aku dan Geng TM lainnya menunggu di ruang BP sembari menjawab introgasi guru-guru BP. Setelah selesai, kepsek kembali mengumpulkan kami di ruangannya.
"Saya sudah turuti mau kamu tadi. Hasilnya kami dapat tiga saksi yang mengaku membenarkan kalau Alan itu adalah pemakai dan pengedar narkoba."
Masak sih? Alan pemakai dan pengedar? Ya mungkin saja sih, aku kan bukan teman dekatnya jadi tidak seberapa paham tentang dia.
"Dan masalah ini sudah kami serahkan pada pihak yang berwajib. Untuk itu kami ucapkan terima kasih pada kalian."
Geng TM tersenyum, sementara aku masih tidak bisa begitu saja merasa menang karena  bukan itu tujuan utamaku.
"Oh ya! Sementara terkait dengan pengakuanmu bahwa geng TM itu bertindak sewenang-wenang..." Semoga kabar baik, please! "Kami tidak menemukan satu pengakuanpun yang mengarah pada kekerasan yang dilakukan oleh geng TM. Justru sebagian anak-anak menyatakan kalau geng TM sering melakukan pembelaan bagi mereka. Jadi, Bapak rasa kalian harus segera berbaikan."
Oh, God! Kenapa ini? Sumpah aku benar-benar tidak percaya. Apa yang mereka katakan? Seketika tubuhku lemas seperti kehilangan tulangnya.
"Dan kurasa aku yang menang." Bisik Rades. Entah kenapa otakku langsung menayangkan sebuah slide kejadian tragis yang akan segera terjadi padaku. Sudah pasti Geng TM akan menghabisiku.
Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Aku kembali ke kelas. Jam pelajaran terakhir kosong. Pintu kelas tertutup, sejuta rasa bercampur ketika ku pegang gagang pintu. Tapi ku yakinkan hatiku untuk menghadapinya.
Sontak ketika kubuka pintu, segala pandang tertuju padaku. Aku hampir saja pingsan menghadapinya. Tapi tiba-tiba Rinta bangkit ke arahku dengan senyum.
"Wah! Gila kamu Prin. Berani banget kamu tadi. Sumpah baru kali ini ada yang berani ngelaporin mereka langsung ke Kepsek. Gimana ceritanya tuh tadi?" Rinta menarik tanganku ke sebuah kursi untuk duduk. Dan anak-anak berhamburan mendatangiku.
"Tadi...." Ku ceritakan segalanya. Rinta dan yang lain menyimak dengan sungguh-sungguh. Bahkan kadang terdengar beberapa sanggahan, opini dan pertanyaan. Begitu ceritaku sampai pada pengumuman hasil di kantor Kepsek tadi, ku utarakan segala bentuk kekecewaanku.
 "Kamu kan tahu sendiri Prin. Semua itu di bawah kendali Geng TM. Tidak ada yang berani macam-macam. Bahkan tadi Herman dan yang lain menghampiri ke perkelas ngeluarin anceman dan tidak boleh sedikitpun ada yang ngebocorin ke Kepsek. Dan satu lagi, ada beberapa orang yang diminta buat ngaku kalau Alan itu pemakai dan pengedar."
Shit! Mereka itu lebih setan dari pada geng setan.
"Tapi kayaknya nasib baik kamu itu tidak bakal berlangsung lama." Tiba-tiba Rades dan geng nongol di depan kelas.
Kapan datangnya ni orang? Anak-anak pun menyingkir. Tak terkecuali Rinta turut pergi. Rades berpindah duduk di sampingku.
"Selamat yah!" Rades menjulurkan tangannya. "Selamat karena kamu udah berani mau ngancurin geng TM, ya.....meskipun itu tidak berhasil. Mulai besok kita akan sering bertemu, ok?" Kemudian ia bergegas pergi lagi. Repot-repot ke kelasku hanya untuk menyampaikan ancaman macam itu? Aduh, Rades.
***
Bel tanda usainya jam perlajaran telah mengaum. Aku dan Rinta yang sedari tadi bersiap-siap pulang, hari ini Rinta janji mau nginap di rumahku. Baru aku hendak pergi, Intan temanku memanggil.
"Prin! Tadi kamu disuruh kepsek ke ruangannya."
"Ngapain?"
"Tau, katanya penting, disuruh cepetan."
      "Temenin yuk, Rin!"
"Nah! Kalau untuk masalah ini. Sorry Prin, aku minta maaf, lagi buru-buru pulang, udah ditunggu mama."
Dasar teman yang tidak bisa diandalkan. Kulangkahkan kaki santai, sementara keadaan sekolah sudah agak sepi. Hanya beberapa saja yang terlihat di beberapa sudut sekolah. Terlihat sudah kantor Kepsek, belum aku sampai tiba-tiba ada seseorang yang menarikku masuk ke suatu kelas. Aku terkejut, pintu kelas langsung ditutup. Orang itu langsung menyandarkanku ke dinding, mencengkeram kedua pipiku. Aku kenal betul orang itu adalah Herman disertai 3 anak geng TM lainnya. Tapi tak kulihat ada Rades.
"Aku peringatkan sama kamu, jangan macam-macam, kamu pikir kamu bisa ngancurin geng TM, hah? Kalau mau hidupmu tenang, jangan banyak tingkah. Kalau bukan karena Rades, kamu sudah aku habisin."
"Beraninya main keroyokan, banci." Entah bagaimana umpatan itu licin begitu saja keluar dari mulutku.
Tak tanggung-tanggung Herman menghantam perutku dengan tangan yang ia kepalkan. Sakit.
"Itu pelajaran buat kamu." Herman dan lainnya pergi.
Aku terkapar duduk tak berdaya, tak kuat untuk berdiri. Seperti inikah kekejaman Geng TM yang sebenarnya? Aku salah jika menilai geng TM bisa aku musnahkan dari SMA Pancasila ini. Semua terlihat gelap, terasa melayang. Apa aku sudah tiada?
Baca Juga: Trouble Maker (Part 5), Trouble Maker (Part 4), Trouble Maker (Part 3), Trouble Maker (Part 2), Trouble Maker (Part 1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H