Aku kembali memberdirikan tubuhku, berusaha mencerna apa yang istriku katakan.
“Gunung Kawi, tadi aku denger ibu-ibu ngomongin itu.”
“Kenapa gunung Kawi? Dimana itu?”
Istriku melotot ternganga, tidak percaya bahwa aku sama sekali tidak tahu menahu soal gunung ini. Dia seakan menyatakan gunung ini sama terkenalnya dengan gunung merapi dan gunung sumeru, dan aku serius menyatakan bahwa aku tidak pernah mendengar sama sekali perihal gunung ini.
“Malang, Wonosari. Aduh bapak kok gak tahu, tempatnya tuh terkenal banget. Kata ibu-ibu, bisnis suami mereka pada sukses habis ke sana, rejeki ngalir. Tahu ibu Somad? Duh, itu ibu jujur banget, katanya anaknya sukses gara-gara dia bawa kesana.”
Pikiranku langsung tertuju pada ucapan bapak penagih hutang tersebut, ‘nge-sugih’, bahwa hasil uangku berasal dari yang gaib-gaib.
“Kamu serius?”
“Serius. Aku telpon saudaraku biar dia beliin tiket sama kamu bisa tinggal bentar disana. Anak-anak sekalian deh kamu bawa pergi, sekalian liburan, daripada kerjaannya cuman nonton tv dirumah.”
Istriku menjawab mantap, dan aku tak bisa melawannya. Dia segera pergi menuju handphone galaxy S5nya di tas, dan aku hanya duduk pasrah di ranjang ini, membaringkan tubuhku kembali, berpikir bahwa siapa tahu benar, pokoknya apapun demi hutang ini terbayar.
***
“Ke Gunung Kawi? Aduh masnya gimana.. Harusnya hari jumat legi, atau enggak tanggal 12 bulan suro. Kurang manjur kalo sekarang.”