“Bapak pesugihan?”
Kiai yang kutemui ini, Hamid namanya, langsung bertanya padaku sambil mengeluskan jenggotnya yang putih panjang. Dia menggunakan sorban putih, tua, dan matanya yang lembut memperlihatkan kebijaksanaan dalam dirinya. Aku hanya mengangguk, dia langsung tahu apa yang menganggu anakku saat ini. Sakti, hanya itu yang ada dipikiranku, tapi beda dengan dukun, yang dihadapanku ini berbeda sekali.
“Saya iseng pak, tidak serius.”
Aku langsung menunjukan daun yang kini kugunakan sebagai jimat.
“Kejatuhan daun, terus disuruh bungkus ke duit terus ditaruh ke dompet. Saya langsung ketiban rejeki persis seperti rumornya, tapi..tapi..”
Aku menangis tidak bisa melanjutkan kata-kataku, istriku juga sama saja yang kini lemas kakinya, terjatuh di belakangku. Sang kiai menganggukan kepalanya, menyuruhku menyimpan jimat tersebut kembali.
“Semua itu atas restu Gusti Allah, semuanya itu atas persetujuannya, ujian untuk bapak.. Bapak ngerti saya ngomong apa?”
Aku mengangguk, namun dia seakan belum percaya bahwa aku mengerti ketika lama menatap ke arah mataku.
“Tidak, bapak belum faham. Tempat itu gak ada apa-apanya kecuali mahluk ghaib, yang meninggal sudah ada di akhirat sana, sudah lepas dari dunia. Gusti izinin mahluk ini goda bapak, buat bapak terlena, terus ngambil anak bapak.”
“Ambil anak saya?!”
Bukan aku yang berteriak, tapi istriku. Seketika suara itu diikuti oleh suara jatuh, istriku pingsan di belakangku. Ketika itu istriku langsung di pegangi oleh suster, dan diberinya minyak kayu putih ke hidung istriku. Sang kiai tidak menunggu lagi, ia lanjutkan omongannya.