“Tadi dia ngatain papah, ngen...”
Aku langsung menutup mulut Ria. Bangsat, kata ‘ngentot’ jelas terlalu keras untuk anak kecil, walau dia tidak tahu arti atau gambaran dari kata tersebut, tapi ini keterlaluan!
“Itu.. kata-kata yang gak bagus, kamu jangan ngucapin itu di depan orang yah.”
Saat itu Ria mengangguk, menjauhiku bermain dengan adik-adiknya.
Ketika Ria sudah pergi, tak bisa kutahan lagi. Wajahku segera memerah, ekspresi marah dan gemas tidak bisa kutahan-tahan lagi, kukepal jari ini erat-erat, dan..dan..ah.. kutarik kata-kataku, tetap rasanya aku yang akan kalah. Kubayangkan diriku menarik kerahnya, memarahinya sebelum kepalan tangannya mengenai mukaku, membuatku bonyok di depan anak-anakku. Ya, tentu saja, aku tidak melakukan hal tersebut karena takut Ria dan adik-adiknya menyaksikan hal memalukan tersebut lalu trauma karenanya. Oh Ria, aku melakukan ini semata-mata hanya untuk dirimu.
“...”
Aku akhirnya hanya bisa menghela nafas, mengikhlaskannya, dan pria tersebut masih berteriak keras, sesekali dia mengelap keringatnya, lalu berteriak kembali sampai akhirnya suara teriakan tersebut menghilang.
“...?”
Aku segera mengintip lagi, dan ternyata pria tersebut meloncati pagar! Dia terjatuh, namun kembali berdiri lagi. Kini dia mengetuk pintu depanku, dan usahanya kali ini bisa saja kutuntut ke pengadilan dengan alasan memasuki properti orang lain dengan paksa. Walau demikian tentu saja sih aku takkan melakukannya, apalagi nanti malah diriku yang dituntut balik karena tidak bayar hutang sesuai perjanjian kontrak yang ditandatangani di atas materai.
Saat itu orang-orang mulai berkumpul melihat pertunjukan ini. Aku kembali mengintip dan ternyata si penagih hutang juga sedang berusaha mengintip kaca rumahku, jantungku langsung copot bertatap langsung dengannya! Wajahnya saat itu seketika memerah marah, dan dia semakin menjadi-jadi berteriak.
“Saya tahu anda disana! Keluar sekarang juga bapak Rian!!”