“Oh, hatur nuhun pak, nanti bapak siapin barang untuk sesajen, lalu bapak ikutin paket ritual kita, ada yang pukul sepuluh siang, jam tiga sore, dan pukul sembilan malam. Nanti ritualnya dipimpin tukang doa pake sesajen bapak. Kalo bapak mau ikut, silahkan bapak ikut saya ke loket, daftar dulu.”
Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. Paket? Loket? Daftar dulu? Bayar berarti? Seakan acara ritual ini seperti sudah dimodernisasi saja. Orang tersebut berkata bahwa terdapat tempat yang menjual barang-barang yang biasanya umum dijadikan selametan, tetapi Ucok berkata bahwa dia sudah menyiapkan barang yang diperlukan, sesuai dengan uang yang kuberikan padanya sehingga diriku tak perlu beli lagi dari warga sekitar yang katanya mahal sekali.
Kita berjalan, mendaftar jam tiga sore, karena kebetulan sudah dekat-dekat jam segitu. Disana aku bisa melihat terdapat orang yang membawa kambing, dan sapi. Aku segera berbisik pada Ucok, karena yang dia sediakan untukku hanyalah sembako, seperti beras dan minyak. Ucok juga membawa ayam saat itu untuk dirinya sendiri.
“Ini gak apa sesajennya ini saja? Memang tuhan atau Eyang Jugo mau nyayur?”
“Yah, kalo mau bagus sih kambing hitam, tapi yang disediain masyarakat harganya semotor, mahal banget. Semakin besar harganya atau semakin langka katanya bakal lebih manjur. Tapi yah..”
Dia menatap bawaanku, tatapnya memperlihatkan rasa kasihan.
“Sembako juga lagi langka sekarang.”
Kepalaku langsung meledak marah, bahkan sampai lepas plastik sembako dari tanganku. Aku segera lupa diri dan mengutuknya jika saja uang yang kukeluarkan demi sembako ini bakal sia-sia.
“Pasti ada efeknya, pasti kok..” Ucapnya lirih, sambil mengambil plastikku, dia saja yang bawa katanya.
Sambil menunggu, Ucok mengajakku ke makam imam-imam disini. Ketika masuk, seorang satpam menyetop kami, menyuruh kami memberikan KTP kami, dan menyerahkan alamat rumah kami. Aku bertanya untuk apa, tapi mereka hanya berkata formalitas keamanan disini. Setelah itu kita dimintai harga masuk, lima belas ribu rupiah, dan belum cukup juga, si satpam meminta uang suka rela juga untuk mengurusi banyak hal, membuat kami keluar kocek sepuluh ribuan lagi.
Masuk ke dalam padepokan, Ucok langsung mengajakku ke antrean yang berujung pada dua guci kuno. Katanya minum air yang berasal dari guci tersebut akan membuat awet muda. Aku meminumnya, dan terasa segar sekali. Aku bertanya-tanya apakah karena air ini memang ajaib sehingga diriku merasakan kesegaran yang meliputi seluruh tubuhku, atau hanya karena memang air ini berasal dari mata air pegunungan. Kata Ucok lebih baik aku percaya versi air sakti saja, lebih manjur jika percaya katanya, mungkin mirip seperti propolis, atau produk-produk MLM lainnya, kalau tidak percaya yah percuma, mungkin karena itu aku lebih senang resep dokter saja, tidak perlu percayapun sudah ada efeknya.