“Pasti karena gunung kawi bukan? Kubilang apa.”
Dia selalu mengucapkannya padaku, hidungnya kembang kempis saat mengucapkan hal tersebut.
Tapi kebahagiaan kita tidak lama, Ria jatuh sakit saat itu, dan seketika berapapun harta yang kita punya tidak mampu membendungi perasaan sedih kami. Ternyata kekayaan macam makanan mahal, mobil, rumah maha mega, dan sebagainya tidak ada artinya ketika seseorang yang kalian kasihi, ataupun dirimu sendiri sakit. Terutama istriku yang setiap hari menangis melihat kondisi Ria, kondisinya jelas bukan sakit biasa.
Pertama memar muncul di tubuhnya, kutanya apa dia jatuh, namun tidak katanya. Kupegang, dan katanya tidak sakit. Akhirnya kami bawa ke dokter, dan kata dokter dirinya kekurangan zat besi, dan saat itu juga Ria jadi tidak mau makan. Indomie kesukaannya, mie ayam, dan mie-mie lainnya dia tolak. Satu-satunya yang ia suka kini adalah daun sawi, tidak mau bayam atau semacamnya, hanya sawi saja, dan kini tubuhnya makin kurus dan kurus, jelas bahwa tidak ada kandungan gizi apa-apa di sawi.
Beberapa bulan kemudian, memar mulai muncul di lehernya, tangan kirinya, kakinya, seluruh badannya. Lalu yang paling mengerikan Ria mulai demam dan sering kejang-kejang, busa keluar dari mulutnya yang kami pikir ayan. Tapi bukan, ya tuhan, itu bukan ayan kubilang. Ria seketika itu berdiri berhenti dari kejangnya, matanya menjuling ke atas, dan dia berbicara bahasa yang lain, bahasa jawa, sesuatu yang tak pernah kami ajari padanya, bahkan ibunya sekalipun yang berasal dari jawa.
“Melu koro mbahmu, ojo nakal!”
Dia tampar dirinya sendiri, berkali-kali, dan saat istriku berusaha menghentikannya, dia merasakan sesuatu yang sangat kuat membuatnya tidak mampu menghentikan apa yang Ria lakukan, dia tetap menampar wajahnya sendiri keras-keras hingga biru dibuatnya. Istriku hanya bisa berteriak kencang-kencang, hingga tetangga datang, berbisik-bisik di depan pintu bahwa anakku kena ayan.
Di akhir dia akan menghadap padaku, melotot sambil menyeringai, mengucapkan sesuatu yang kami semua mengerti :
“Ku ambil dia, ku ambil!!”
Kami sekeluarga langsung ketakutan, dan seketika Ria jatuh, kupisah dirinya dari peluk ibunya dan kubawa dia menuju kamarnya lalu kuusir warga dari depan pintuku. Istriku saat itu langsung memukulku di dada dalam tangisnya, bertanya apa yang terjadi pada anakku.
“Aku ingat mah..aku lupa cerita ke kamu.”