“Hei!”
Tiba-tiba suara orang berteriak, menepuk kamera itu jatuh.
“Tidak boleh memotret!”
“Lah saya bayar kesini! Waduh..”
Pria itu melihat ke tanah, lensa besarnya yang bertuliskan nikon pecah. Aku ingat, harganya mahal sekali, 12 juta mungkin satu kameranya kulihat di situs jual beli. Hobby yang mahal, mungkin dia kesini untuk bisa beli satu lagi.
Tiba-tiba sang dukun bermuka masam. Ia segera berjalan ke arah para pendoa, meminta mereka membukakan jalan.
“Ritualnya gimana pak?” Salah satu asisten bertanya, bisik-bisik, tapi kami dengar.
“Tidak jadi! Salahkan orang tidak sopan tersebut, suasana hati saya jadi suram sekarang. Pendoa harus suci, tidak boleh kotor pikirannya. Besok lagi datangnya, saya ingin meditasi dulu.”
Aku hanya melongo tidak percaya, sama dengan Ucok. Bagaimana bisa seenak jidat si pemimpin doa melakukan hal tersebut! Saat itu orang-orang mengeremuni si pria berkamera, dan aku menarik Ucok yang sepertinya juga emosi pada laki-laki tersebut.
“Dikira harga ayam murah apa! Sialan! Buangsaaatt!!”
“Udah Cok, kita istirahat di depan pohon Dewandaru.”