Aku berusaha menenangkannya, padahal hatiku mungkin lebih muram daripadanya. Aku jauh-jauh dari bekasi ke sini, dan hanya mendapatkan kekecewaan. Uangku juga sudah habis buat sesajen, dan kini pikiranku adalah bagaimana memberi alasan pada istriku yang menunggu kabar kesuksesanku di sini, yang nyatanya nihil sama sekali.
Lalu aku dan Ucok duduk dibawah pohon, dan rasa kantuk menyertaiku. Aku lalu tertidur sebentar, setidaknya cukup untuk membuatku fokus di jalan saat menggantikan Ucok mengemudi.
***
“Awakmu arep sugih?”
Seseorang mengucapkan bahasa jawa padaku yang kupikir bertanya jika aku ingin jadi kaya. Dia menggunakan baju hitam, seperti pakaian jaman belanda. Mukanya tidak terlihat selain asap yang keluar dari lehernya. Tongkat besar dipegangnya, berwarna emas berukir naga. Dia berjalan mondar-mandir mengucapkan sesuatu padaku, aku tidak paham, jawa kromo. Aku melihat sekitarku saat itu, diriku seperti berada di dalam padepokan, namun tanpa kedua makam tersebut. Bau manis dupa mengelilingiku saat itu, bercampur dengan bau sesajen bebungaan.
“Aku mehjupo anakmu.”
Dia menunjuk sesuatu padaku sambil mengucapkannya, dia berkata tentang anakku.
Lalu dia menghilang, begitu saja.
***
“Mas Rian!”
Ucok berkata dengan semangat sambil menggoyangkan tubuhku, dia kini terlihat sangat gembira seperti lupa masalah yang baru saja menerpa.