“Nyicil? Sebesar itu bunganya, ini mah bisa nyicil seumur hidup, gila!”
Aku berdiri, kugebrak meja, saat ini aku jelas tidak bisa menahan sopan santunku lagi, ini sudah diluar batas nalarku. Sudah berapa banyak yang terjebak penipuan hutang berbunga seperti ini?
“Yah gini aja deh pak.”
Dia mengeluarkan koreknya, memantikan api ke rokok yang kini berada di bibirnya. Saat itu dia menghempaskan asapnya ke wajahku hingga dibuatnya diriku terbatuk-batuk olehnya.
“Terserah bapak, pokoknya hutang ini harus dibayar, dan jika bapak masih nggak mau bayar juga, jangan salahkan saya jika terjadi apa-apa dengan bapak.”
Nadanya keluar mengancam, matanya menatapku tajam. Saat itu kupikir tak perlu pukulan atau cubit segala, hanya lewat tatapnya saja dia seakan sudah mampu menusuk kalbuku, mengancam hingga bulu kudukku dibuatnya berdiri. Saat itu keringatku dibuatnya keluar dengan deras, bajuku basah seperti lari marathon di tengah terik-terik panas ini, jika saja bekasi telanjang oleh bara api matahari, aku juga, oleh mata dan suaranya yang berat, mungkin juga karena bau asam dari ketiaknya juga. Ah, mungkin seharusnya kipas kunyalakan saja.
"..."
Saat itu suasana diam sesaat, pak Tumpal kembali bersender di kursinya, dan aku hanya bisa menelan ludahku, tiba-tiba kepalaku pusing, aku baru ingat ada kopi di depan meja. Ah, ayo, katakan sesuatu, katakan sesuatu!
“Bapak ngancam?”
Dia tertawa mendengar ucapanku yang dihasilkan dari keberanian yang kukumpulkan. Nadaku yang seharusnya marah menjadi seperti emprit, takluk oleh grogiku, juga makananku sejak pagi yang rasanya ingin kumuntahkan saja sekarang.
“Yah, tau sendiri lah gimana kita debt collector ngejalanin tugas. Mungkin besok boss saya gak ngirim saya lagi kesini, orang lain yang lebih kompeten untuk bisa ngeyakinin bapak untuk dapetin duit.”