"Kita harus beri pelajaran pada Frater sok suci itu." tandas Adica.
Calvin menurunkan cangkir tehnya. Ia menatap Adica serius.
"Tidak semudah itu, Adica. Dia berbeda dengan kita. Kalau kita nekat menyerangnya tanpa persiapan, dia bisa menggulung kita dengan argumen-argumen teologisnya."
Adica menegakkan diri. Dihabiskannya teh dalam dua kali tegukan. Membuat Calvin ngeri melihatnya.
"Saat otak tak lagi bisa diajak berperang, giliran otot menggantikannya."
Tatapan tajam Calvin menghentikan monolognya. Adica mengepalkan tangan.
"Ingat, kamu ini pemimpin perusahaan retail. Kamu termasuk public figure Apa kata publik kalau media menulis di koran-koran mengenai berita perkelahian direktur dengan rohaniwan Katolik?"
"Aku tak peduli kata orang. Memangnya mereka peduli perasaan anak kita?"
Calvin menggigit bibirnya masygul. Jauh di dalam hati, dia pun memendam sedih dan kecewa terhadap sikap Frater Gabriel. Apa salahnya menyenangkan hati seorang murid dengan pergi ke pensi bersamanya? Toh kemegahan pensi merupakan buah tangan dinginnya setelah menyeleksi calon pengurus OSIS beberapa waktu lalu. Seharusnya dia bangga dan mengapresiasi.
Esoknya, Silvi tak mau sekolah. Terpaksa Adica dan Calvin meloloskan permintaannya untuk bolos sehari. Calvin menjaga Silvi di rumah. Adica pergi ke kantor seperti biasa.
Bukan Adica namanya kalau tidak nekat. Tanpa seizin Calvin, ia datangi sekolah Silvi. Beberapa pria seram bertubuh besar dibawanya. Mereka orang-orang bayaran. Jika tangan seorang direktur terlalu bersih untuk memukul anak muda, lebih baik tugas kotor itu dilakukan perantara.