"Kami nggak kencan." Frater Gabriel menyanggah cepat.
"Wah...wah...wah, Frater. Aku ini mantan Suster. Bisa kulaporkan kamu ke Romo Rektor."
"Saya nggak kencan sama Silvi. Saya terpaksa pergi bersamanya. Silvi, maaf saya harus pergi. Sebelum Romo Rektor tahu dari orang lain."
Dan Frater Gabriel pun pergi. Silvi kembali ditinggal sendiri.
Sepi, sepi menyergap Silvi di tengah keramaian. Acara pensi yang susah payah diorganisirnya bersama teman-teman tak lagi menarik. Kecamuk rasa sedih mengacak-acak hati gadis itu. Benarkah Frater Gabriel pergi bersamanya karena terpaksa? Benarkah momen hari ini mengancam posisi Frater Gabriel di Seminari?
Kelenjar air mata Silvi berproduksi. Kedua bahunya naik-turun menahan isak. Sambil menangis, ia berlari meninggalkan lokasi acara.
Calvin melihat semua itu dengan hati hancur. Ia mengejar Silvi. Agak kesulitan karena gadis itu berlari amat cepat. Di pintu keluar, Silvi jatuh terserimpet gaunnya. Calvin menangkap Silvi dalam pelukannya sebelum tubuh sintal itu berdebum di jalan raya.
"Ayah...?"
"Ayah di sini, Sayang."
Pecahlah tangis Silvi. Riasan wajahnya luruh oleh air mata. Calvin merengkuh Silvi, menciumi rambut, kelopak mata, dan kening anak itu.
"Silvi Sayang, orang-orang bisa menjatuhkanmu berulang kali. Jangan sampai mereka mematahkan harapanmu. Harapanmu tidak boleh patah hanya karena perlakuan buruk orang lain."