Catharina menghela nafas lelah. Sepertinya dia menyerah dengan kebandelanku.
"Nih, dengerin aku ya. Baru semalem aku chatting sama Frater Gabriel. Dia baik banget, dia jadi fast respon. Kayaknya dia memang suka sama aku deh." jelasku panjang lebar.
"Semua Frater baik, Silvi. Mereka punya effort untuk jadi abdi Tuhan sekaligus penolong. Tapi, kayaknya nggak kalau sampai suka sama lawan jenis. Dan...kenapa Frater Gabriel bisa balesin e-mail kamu terus ya? Jadwalnya di Seminari, kan, diatur ketat."
Selalu saja Catharina mematahkan argumenku. Ah, sahabatku memang tidak suportif. Aku harus membuktikan sendiri perkiraanku.
Bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Catharina dan teman-temanku beranjak ke kapel. Aku pergi ke ruang OSIS untuk mengambil sekantong besar makanan ringan. Nantinya, makanan ringan ini akan kujual di kelas dan hasil penjualannya untuk tambahan dana pensi.
** Â Â
Setelah rapat OSIS, aku bergegas ke ruang guru. Aku berharap Frater Gabriel belum pulang agar aku bisa bicara dengannya. Voilet, harapanku terkabul.
"Ada apa, Silvi?" Frater Gabriel bersuara ketika kami bertemu.
Kedua kakiku kugeser-geserkan dengan gelisah. Frater Gabriel menatapku, menanti aku bicara. Tangan kananku memain-mainkan bunga lily dalam genggaman.
"Frater, makasih ya bunganya. Ini dari Frater, kan?" Aku memulai seraya menunjukkan bunga itu padanya.
Aneh, dia hanya tersenyum. Jantungku berdetak kian cepat. Aku gugup untuk mengungkapkan maksud selanjutnya.