Opus 9
Malaikat Di Pentas Seni
-Fragmen Silvi
Pagi ini, kutemukan setangkai lily putih di mejaku. Wangi lily membelai hidungku. Kuangkat bunga lily, kudekatkan ke hidungku. Wanginya terhirup lembut.
Dari siapakah lily ini? Seingatku, aku tidak membeli bunga lily. Apakah dari Ayah lagi? Aku bersiap menelepon Ayah saat kutemukan sehelai kartu keemasan di dekat tempat tergeletaknya bunga lily. Kubalik kartu itu.
"G?" Aku bertanya-tanya.
Ya, hanya ada huruf G besar yang tertera di kartu. Apa maksudnya G? Mungkinkah pengirim bunga berawalan huruf G?
Catharina berlari masuk ke kelas. Ia terengah sambil melemparkan tas asal saja ke bangkunya. Letih di wajahnya bertransformasi menjadi raut menggoda begitu terpandang olehnya bunga di tanganku.
"Cieee...siapa yang kirim bunga pagi-pagi?" cetusnya.
"Tau ah, gelap. Cuma ada huruf G di kartunya."
Tanpa permisi, Catharina merebut kartu keemasan. Mata besarnya meneliti inisial itu. Keningnya terlipat.
"G? Siapa ya? Ada nggak teman sekelas kita yang namanya berawalan huruf G?"
Kami berpikir-pikir. Betapa bodohnya aku. Dari pada repot mengingat, kenapa tidak ambil daftar absen saja? Aku dan Catharina melesat ke meja guru.
"Garry Alexander...ah, si Garry jelek kan udah punya cewek. Ntar kamu diskakmat sama Angelina. Taekwondownya gila." Catharina merepet tak jelas.
"Giovanny Albertus Nainggolan. Yeee, dia lebih nggak mungkin. Si Gio pelit abis. Udah pelit, jomblo tingkat akut lagi. Aku ingat pas kerkom di rumahnya, si Gio nggak suguhin apa-apa. Air minum aja nggak."
Kutemukan nama Gerard Wijaya. Aku menggeleng. Sempat berembus kabar kalau anak basket itu naksir padaku. Tetapi, dia mundur teratur setelah mengetahui perasaanku pada Frater Gabriel.
"Gilbert Austin Wibowo. Yaaah, si Gilbert mana punya modal buat kasih bunga ke cewek? Uang kas kelas aja dia sering mogok bayar!" ceplos Catharina tepat ketika si empunya nama datang.
"Gilang Florensius Kartasasmita. Hmmm, mungkin juga sih. Ayahnya punya enam bengkel mobil. Pasti mampu beli bunga. Dan dia baik sama kamu, Silvi."
Aku tak yakin. Jariku kembali menyusuri deretan nama di barisan huruf G.
"George Steven Latuperisa. Ah, ini nih kayaknya. George ini yang bapaknya punya mall, kan? Trus dia pernah nembak kamu, tapi kamu nggak jawab?"
Sekali lagi, aku ragu. Firasatku mengatakan, bukan teman sekelas yang mengirimiku bunga.
"Aku nggak yakin," desahku.
"Terus siapa dong?"
Aku menyisir rambut dengan jemariku. Kucoba mengingat-ingat semua pria yang care padaku. Ada Ayah, Papa, dan Frater Gabriel. Semalaman Frater Gabriel dan aku berkirim e-mail. Kami ngobrol seru. Tepatnya, aku cerita banyak hal dan dia menanggapi dengan bijak. Jangan-jangan...
"Frater Gabriel!" teriakku gembira.
Catharina terlonjak. Ups, aku baru sadar. Kuteriakkan nama itu di telinganya.
"Ngaco kamu. Dia, kan, Frater. Mana bisa beli bunga?" sanggah Catharina.
"Lho, memangnya Frater nggak boleh beli bunga?"
"Bukan nggak boleh, tapi nggak bisa. Frater, kan, disiapin biar selibat. Jadi, mana bisa pacaran? Lagian, uang saku mereka dikit banget. Frater diajarin buat hidup sederhana, supaya konsisten dengan kaul kemiskinan."
Apa pun penjelasan Catharina, aku tetap optimis. Siapa tahu bunga ini sungguhan dari Frater Gabriel. Apakah ia menyukaiku? Rasa penasaran mendesak-desak batinku.
"Silvi, udahlah jangan berharap sama Frater. Dia bukan milik kita, tapi milik Tuhan. Kamu mau berebut sama Tuhan Yesus?" Catharina mengingatkan.
"Yah...segala sesuatu nggak ada yang mustahil, kan? Kamu nggak ingat cerita Suster Mariana tentang teman-teman di biaranya yang keluar karena ingin menikah?"
Catharina menghela nafas lelah. Sepertinya dia menyerah dengan kebandelanku.
"Nih, dengerin aku ya. Baru semalem aku chatting sama Frater Gabriel. Dia baik banget, dia jadi fast respon. Kayaknya dia memang suka sama aku deh." jelasku panjang lebar.
"Semua Frater baik, Silvi. Mereka punya effort untuk jadi abdi Tuhan sekaligus penolong. Tapi, kayaknya nggak kalau sampai suka sama lawan jenis. Dan...kenapa Frater Gabriel bisa balesin e-mail kamu terus ya? Jadwalnya di Seminari, kan, diatur ketat."
Selalu saja Catharina mematahkan argumenku. Ah, sahabatku memang tidak suportif. Aku harus membuktikan sendiri perkiraanku.
Bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Catharina dan teman-temanku beranjak ke kapel. Aku pergi ke ruang OSIS untuk mengambil sekantong besar makanan ringan. Nantinya, makanan ringan ini akan kujual di kelas dan hasil penjualannya untuk tambahan dana pensi.
** Â Â
Setelah rapat OSIS, aku bergegas ke ruang guru. Aku berharap Frater Gabriel belum pulang agar aku bisa bicara dengannya. Voilet, harapanku terkabul.
"Ada apa, Silvi?" Frater Gabriel bersuara ketika kami bertemu.
Kedua kakiku kugeser-geserkan dengan gelisah. Frater Gabriel menatapku, menanti aku bicara. Tangan kananku memain-mainkan bunga lily dalam genggaman.
"Frater, makasih ya bunganya. Ini dari Frater, kan?" Aku memulai seraya menunjukkan bunga itu padanya.
Aneh, dia hanya tersenyum. Jantungku berdetak kian cepat. Aku gugup untuk mengungkapkan maksud selanjutnya.
"Ada lagi, Silvi?"
"Ehm...Frater Gabriel, maukah Frater datang ke pensi bersamaku?"
Panas dingin aku mengucapkannya. Cewek apaan aku ini? Beraninya aku mengajak seorang cowok duluan. Papa, Ayah, aku malu.
Air muka Frater Gabriel berubah. Semula bening penuh keramahan, kini keruh dan mencela. Aku waswas. Jangan-jangan Frater Gabriel ilfeel denganku. Terlalu nekatkah diriku?
"Maaf, nggak bisa." katanya singkat.
"Tapi kenapa, Frater? Cuma datang ke pensi kok."
"Saya ini Frater, Silvi. Biarawan Katolik. Kamu tahu itu, kan?"
Lututku lemas seketika. Ya, Allah, telah berdosakah aku? Apakah aku sedang berebut dengan Tuhan Yesus yang diimaninya?
"Saya harus pergi. Permisi."
Dia pergi. Meninggalkanku terpuruk sendiri. Sakit, sakit sekali hati ini. Aku, Silvi Gabriella Tendean yang cantik dan mendapatkan banyak cinta di sekelilingku, ternyata ditolak seorang lelaki.
Mataku memanas. Udara di sekelilingku mendingin. Tetes hujan sebesar es menimpa kepalaku. Aku dan langit bertangisan. Petir menjadi musik perkusi yang mengiringi tangis kami.
Lama menangis, aku bangkit meninggalkan taman sekolah. Aku berlari keluar halaman dan menyetop taksi. Kusebutkan alamat rumah dengan suara bergetar. Supir taksi memandangku prihatin karena sepanjang perjalanan aku terus mengeluarkan air mata.
Tiba di rumah, tubuhku membeku seperti patung es. Papa dan Ayah berlarian ke teras begitu sadar aku pulang dalam kondisi kacau.
"Masya Allah...Silvi! Kenapa, Sayang?" Ayah bertanya panik.
"Siapa yang bikin kamu nangis? Biar Papa hajar!" geram Papa.
Kuceritakan semuanya. Ayah memelukku sangat erat. Papa memaki-maki Frater Gabriel.
"Sayangku, tenang ya. Sudah, jangan sedih lagi. Ayah pastikan kamu nggak akan sendirian saat datang ke pensi." hibur Ayah seraya menghapus air mataku.
** Â Â
-Fragmen si kembar
Silvi sudah lama jatuh tertidur. Dia baru bisa tidur setelah Calvin menyanyikannya lagu dan memeluknya di ranjang. Calvin turun dari kamar Silvi lalu menghampiri Adica di ruang keluarga.
Langit masih betah dalam tangisnya. Tak seperti biasa, malam ini Adica berhenti berkencan dengan laptop dan kertas-kertas kerja. Ia tenggelam dalam pikiran sambil menatap kosong layar TV. Remote dipencet-pencetnya tanpa arah. Dua cangkir Earl Grey mengepul hangat di atas meja marmer.
"Thanks," Calvin berterima kasih setelah Adica mengisyaratkannya untuk mengambil satu cangkir.
"Kita harus beri pelajaran pada Frater sok suci itu." tandas Adica.
Calvin menurunkan cangkir tehnya. Ia menatap Adica serius.
"Tidak semudah itu, Adica. Dia berbeda dengan kita. Kalau kita nekat menyerangnya tanpa persiapan, dia bisa menggulung kita dengan argumen-argumen teologisnya."
Adica menegakkan diri. Dihabiskannya teh dalam dua kali tegukan. Membuat Calvin ngeri melihatnya.
"Saat otak tak lagi bisa diajak berperang, giliran otot menggantikannya."
Tatapan tajam Calvin menghentikan monolognya. Adica mengepalkan tangan.
"Ingat, kamu ini pemimpin perusahaan retail. Kamu termasuk public figure Apa kata publik kalau media menulis di koran-koran mengenai berita perkelahian direktur dengan rohaniwan Katolik?"
"Aku tak peduli kata orang. Memangnya mereka peduli perasaan anak kita?"
Calvin menggigit bibirnya masygul. Jauh di dalam hati, dia pun memendam sedih dan kecewa terhadap sikap Frater Gabriel. Apa salahnya menyenangkan hati seorang murid dengan pergi ke pensi bersamanya? Toh kemegahan pensi merupakan buah tangan dinginnya setelah menyeleksi calon pengurus OSIS beberapa waktu lalu. Seharusnya dia bangga dan mengapresiasi.
Esoknya, Silvi tak mau sekolah. Terpaksa Adica dan Calvin meloloskan permintaannya untuk bolos sehari. Calvin menjaga Silvi di rumah. Adica pergi ke kantor seperti biasa.
Bukan Adica namanya kalau tidak nekat. Tanpa seizin Calvin, ia datangi sekolah Silvi. Beberapa pria seram bertubuh besar dibawanya. Mereka orang-orang bayaran. Jika tangan seorang direktur terlalu bersih untuk memukul anak muda, lebih baik tugas kotor itu dilakukan perantara.
"Beri orang itu pelajaran. Tapi jangan sampai membuatnya terluka parah, apa lagi masuk ICU seperti Menko Polhukam kita yang diserang teroris itu. Cukup buat dia jera. Mengerti?" perintah Adica.
Sebenarnya, Adica tak mau melakukan ini. Namun, Frater Gabriellah yang memulai duluan. Siapa yang menyakiti Silvi, dia telah mengguratkan luka di dada si kembar Calvin dan Adica.
Frater Gabriel datang. Seperti biasa, dia naik sepeda. Sepeda tuanya terparkir di antara motor dan mobil mahal milik civitas academica lainnya. Baru saja Frater Gabriel turun dari sepeda...
Buk! Buk! Plak!
Orang-orang bertubuh besar dan berwajah sangar menyerangnya. Mereka memukul, menendang, dan menampar Frater Gabriel sekuat tenaga. Frater bertubuh semampai itu blingsatan melawan mereka. Perlawanan tak seimbang. Dalam sekejap, Frater Gabriel tumbang.
"Berani lo nyakitin anak bos gue! Berani lo!" teriak salah satu penyerang.
"Siapa yang kalian maksud?" tanya Frater Gabriel menantang.
"Berani lo bikin Nona Silvi nangis!"
"Oh, jadi kalian suruhan Silvi?" balas Frater Gabriel.
"Pokoknya lo nggak boleh nyakitin Nona Silvi! Lo harus dateng ke pentas seni bareng dia!"
"Kalo saya nggak mau...?"
Setelah kata-kata itu lolos dari bibirnya, Frater Gabriel dikagetkan dengan kemunculan Adica. Dia keheranan.
"Anda...yang waktu itu temenin Silvi pas LKO, kan?"
"Bukan! Nggak penting siapa gue! Kalo lo nggak mau dateng ke pensi bareng Silvi, gue pastiin lo keluar dari kongregasi OFM dengan nama baik tercemar!"
Dunia Frater Gabriel mungkin hampir kiamat. Siapakah pria setampan bintang-bintang film dari negeri Tirai Bambu dan berbibir tajam ini? Beraninya dia mengancam. Dilihat dari wajahnya, dia mirip sekali dengan orang yang waktu itu mengaku Ayahnya Silvi. Frater Gabriel jadi gemas. Berapa banyak pria baik hati plus kaya yang menyayangi anak itu?
"Lo mau apa nggak?" gertak Adica.
Tak punya pilihan, Frater Gabriel mengangguk kaku. Dia belum ditahbiskan. Masa depannya dipertaruhkan. Jalannya belum aman.
"Bagus. Ntar gue kirim jas dari desainer langganan gue ke Seminari." janji Adica.
Frater Gabriel menggeleng. "Nggak perlu. Saya bisa pakai kemeja atau pinjam jas Romo Rektor."
Senyum puas direktur menampar telak hati Frater Gabriel. Ia merasa miris. Enaknya menjadi orang kaya. Orang bisa dibungkam dengan uang dan kekuasaan. Hati membangkang, uang membungkam.
Frater Gabriel terkenang kedua orang tuanya. Jangan kira ia berasal dari keluarga jet set. Ayahnya hanyalah buruh tani dan ibunya asisten rumah tangga. Kedua orang tuanya dibaptis sewaktu mereka masih remaja. Dengan penuh kerelaan hati, mereka melepas anak lelaki satu-satunya untuk berkaul kebiaraan. Kini, menjelang masa studi teologinya, Frater Gabriel malah berhadapan dengan rintangan besar ciptaan orang kaya.
** Â Â
Calvin menatap pantulan bayangan Silvi di cermin. Anak tunggalnya cantik sekali dalam balutan maxi dress berwarna putih. Rambutnya diikat tinggi-tinggi dan diselipi hairpiece berformat kepingan salju. Kontras dengan kecantikannya, hari ini wajah Silvi sendu.
"Masih sedih, Sayang? Angan khawatir...kamu nggak akan ke pensi sendirian." kata Calvin menenangkan.
"Maksud Ayah apa sih? Sampai sekarang Silvi belum dapat pasangan."
"You will see."
Ting tong
Siapa yang datang? Silvi menoleh ke pintu depan. Mendadak ia kehilangan minat pada cermin. Calvin dan Silvi beranjak membukakan pintu.
"Frater Gabriel?"
Mata Silvi melebar tak percaya. Sorot aneh memancar di mata Calvin. Bukankah pemuda ini telah menolak ajakan anaknya?
"Silvi, kamu ke pensi bareng saya ya. Masih mau, kan?" tanya Gabriel kikuk.
Wajah Silvi merona. Firasat Calvin tak enak. Sungguhkah pemuda sok suci ini mengajak Silvi?
"Ma...mau kok." sahut Silvi terbata.
Di puncak tangga, Adica mengawasi adegan itu dengan puas. Pelajarannya pada Frater Gabriel manjur juga. Kedua kakinya menuruni anak tangga satu demi satu.
"Frater, kita ke sana naik apa?" Silvi bertanya memecah kekakuan.
"Naik sepeda ya. Semoga kamu nggak keberatan. Aku..."
"Kalian akan naik mobil."
Frater Gabriel tersentak. Begitu melihat Adica dan Calvin berdiri bersisian, hatinya dipenuhi tanya. Ayah Silvi ada dua. Ayahnya Silvi bukan Amoeba, kan? Tak mungkin mereka bisa membelah diri seperti protozoa.
Adica menyeringai. "Bingung ya, ada gue? Gue sama orang ini kembar."
"Kalian ini sebenarnya ayah atau kakaknya Silvi? Rasanya terlalu muda kalau jadi ayah."
Calvin siap menjawab, namun Adica menyikut rusuknya. Adica melayangkan tatapan pada Calvin. Biarkan-dia-penasaran, begitulah maksud tatapannya.
Silvi dan Frater Gabriel pamit. Mereka pergi ke pensi diantar supir. Sepeninggal pasangan aneh itu, Calvin makin cemas. Ia tak bisa membiarkan Silvi pergi sendirian.
"Perasaanku nggak enak, Adica. Aku mau ke sekolah." ungkap Calvin resah.
Adica mendesah tak sabar. Disebutnya Calvin ayah over protektif.
"Silvi nggak bakal diapa-apain. Si Gabriel jelek itu udah kukasih pelajaran biar nurut."
Gawat, Adica keceplosan. Wajahnya beerubah merah ke hijau lebih cepat dari lampu lalu lintas. Ccalvin melayangkan pandang setajam revolver.
"Jadi, Gabriel mau pergi sama Silvi karena kamu turun tangan? Kamu apain dia?"
"Eits, santai Twins. Cuma dipukulin orang-orang suruhanku. Biar dia nggak belagu."
Calvin melompat bangun dan meraih kunci mobil. Menghiraukan protes Adica, dia memacu mobilnya ke sekolah Silvi.
Pentas seni itu ramai sekali. Pengunjungnya membludak, campuran antara siswa sekolah Silvi dan sekolah lain. Kabarnya, ini pensi termegah dan paling "wow" tahun ini. Sekolah-sekolah lain melakukan semacam studi banding agar bisa mengadakan acara yang tak kalah megahnya kelak.
Mudah bagi Calvin untuk berbaur dengan pengunjung lainnya. Ia sering dikira kakak kelas atau anak kuliahan. Segera saja ia mencari Silvi. Calvin tahu, Silvi santai di hari H. Tugas kepanitiaannya berakhir sampai proses mendapatkan sponsor dan dana usaha. Dan anaknya itu menjalankan tugasnya dengan sempurna.
Nah, itu dia.
Calvin memposisikan diri dalam jarak aman. Dilihatnya Silvi berdua dengan Frater Gabriel di dekat panggung utama. Mereka menikmati persembahan lagu dari band bintang tamu ditemani dua gelas bubble tea. Silvi mengumbar senyum manis. Sedikit kelegaan menghangati hati Calvin. Sejauh ini, anaknya baik-baik saja.
Kelegaan Calvin berlangsung singkat. Saat Silvi menggamit tangan Frater Gabriel ke arah booth banana nugget, seorang perempuan muda menabrak Silvi hingga nyaris jatuh. Cinnamon roll bertopping coklat putih tumpah ke gaun Silvi.
"Ups...maaf. Maaf saya merusak kencannya pelayan Tuhan dengan manusia biasa." ejek perempuan itu.
"Kami nggak kencan." Frater Gabriel menyanggah cepat.
"Wah...wah...wah, Frater. Aku ini mantan Suster. Bisa kulaporkan kamu ke Romo Rektor."
"Saya nggak kencan sama Silvi. Saya terpaksa pergi bersamanya. Silvi, maaf saya harus pergi. Sebelum Romo Rektor tahu dari orang lain."
Dan Frater Gabriel pun pergi. Silvi kembali ditinggal sendiri.
Sepi, sepi menyergap Silvi di tengah keramaian. Acara pensi yang susah payah diorganisirnya bersama teman-teman tak lagi menarik. Kecamuk rasa sedih mengacak-acak hati gadis itu. Benarkah Frater Gabriel pergi bersamanya karena terpaksa? Benarkah momen hari ini mengancam posisi Frater Gabriel di Seminari?
Kelenjar air mata Silvi berproduksi. Kedua bahunya naik-turun menahan isak. Sambil menangis, ia berlari meninggalkan lokasi acara.
Calvin melihat semua itu dengan hati hancur. Ia mengejar Silvi. Agak kesulitan karena gadis itu berlari amat cepat. Di pintu keluar, Silvi jatuh terserimpet gaunnya. Calvin menangkap Silvi dalam pelukannya sebelum tubuh sintal itu berdebum di jalan raya.
"Ayah...?"
"Ayah di sini, Sayang."
Pecahlah tangis Silvi. Riasan wajahnya luruh oleh air mata. Calvin merengkuh Silvi, menciumi rambut, kelopak mata, dan kening anak itu.
"Silvi Sayang, orang-orang bisa menjatuhkanmu berulang kali. Jangan sampai mereka mematahkan harapanmu. Harapanmu tidak boleh patah hanya karena perlakuan buruk orang lain."
Luka, luka merobeki hati Calvin di tiap tetes air mata anaknya. Sungguh, ia tak sanggup mendapati anaknya bersedih hati. Biarlah dirinya saja yang tersakiti.
Dengan sabar, Calvin menghapus air mata Silvi. Ia menunggu Silvi berhenti menangis. Setelah itu, diajaknya Silvi kembali ke lokasi acara.
"Untuk apa, Ayah?" tanya Silvi hampa.
"Kita, kan, belum lihat acara puncak. Kita belum dapat door prize buat pasangan paling romantis yang datang ke pensi."
Silvi menggeleng lemah. Bagaimana mau dapat door prize? Pasangannya sudah kabur.
"Siapa bilang Silvi nggak punya pasangan? Ayah bisa kok jadi pasangan Silvi." Calvin menawari.
Sesaat Silvi sangsi. Calvin meyakinkannya. Hanya Catharina dan Natasha yang mengenali Calvin sebagai ayah Silvi. Sedangkan dua gadis itu sibuk sendiri dengan pasangan mereka.
Keraguan di hatinya lesap. Silvi menggandeng lengan Ayahnya memasuki lokasi acara. Mereka tiba tepat pada waktunya. Band yang akan tampil di acara puncak sedang bersiap-siap. Master of ceremony sedang menjelaskan aturan main untuk mendapatkan door prize di acara puncak.
"Saat lagu dibawakan, tiap pasangan harus menari. Bagi pasangan yang paling serasi dan gerakan tariannya seirama, dinobatkan sebagai pasangan romantis. Pasangan itu yang akan dapat hadiah."
Calvin tersenyum. Mudah sekali aturannya. Menari bukan masalah baginya. Semasa kuliah, Calvin sering mengikuti event modeling. Koreografi sudah menjadi makanan sehari-hari.
Musik mengalun. Calvin meraih tangan kanan Silvi. Tangan satunya ia lingkarkan ke pinggangnya. Silvi menikmati ketampanan sang ayah dari dekat. Wajah Ayahnya kian memikat saat menuntunnya dalam gerakan-gerakan koreografi.
Dirimu tak pernah menyadari
Semua yang telah kau miliki
Kau buang aku, tinggalkan diriku
Kau hancurkan aku seakan ku tak pernah ada
Aku kan bertahan
Meski takkan mungkin
Menerjang kisahnya
Walau perih, walau perih
Salahkah aku terlalu cinta
Berharap semua kan kembali
Kau buang aku, tinggalkan diriku
Kau hancurkan aku seakan ku tak pernah ada
Aku kan bertahan
Meski takkan mungkin
Menerjang kisahnya
Walau perih, Walau perih
Aku kan bertahan
Meski takkan mungkin
Menerjang kisahnya
Walau perih
Aku kan bertahan
Meski takkan mungkin
Menerjang kisahnya
Walau perih, walau perih, walau perih, walau perih...(Vierra-Perih).
Silvi kembali teringat Frater Gabriel. Dihapusnya bayangan menyakitkan itu dari benaknya. Ayahnya telah hadir memberi penawar racun cinta.
Calvin seperti malaikat. Ia hapuskan kepedihan Silvi, ia gantikan dengan pelangi kebahagiaan. Apa pun dilakukannya untuk membuat Silvi tersenyum.
Eurekka, Calvin dan Silvi menjadi pasangan paling romantis. Sambil menerima goodie bag berisi hadiah, Calvin dan Silvi tertawa dalam hati. Mereka tak tahu saja, kalau pasangan yang diberi hadiah ternyata ayah dan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H