Lama menangis, aku bangkit meninggalkan taman sekolah. Aku berlari keluar halaman dan menyetop taksi. Kusebutkan alamat rumah dengan suara bergetar. Supir taksi memandangku prihatin karena sepanjang perjalanan aku terus mengeluarkan air mata.
Tiba di rumah, tubuhku membeku seperti patung es. Papa dan Ayah berlarian ke teras begitu sadar aku pulang dalam kondisi kacau.
"Masya Allah...Silvi! Kenapa, Sayang?" Ayah bertanya panik.
"Siapa yang bikin kamu nangis? Biar Papa hajar!" geram Papa.
Kuceritakan semuanya. Ayah memelukku sangat erat. Papa memaki-maki Frater Gabriel.
"Sayangku, tenang ya. Sudah, jangan sedih lagi. Ayah pastikan kamu nggak akan sendirian saat datang ke pensi." hibur Ayah seraya menghapus air mataku.
** Â Â
-Fragmen si kembar
Silvi sudah lama jatuh tertidur. Dia baru bisa tidur setelah Calvin menyanyikannya lagu dan memeluknya di ranjang. Calvin turun dari kamar Silvi lalu menghampiri Adica di ruang keluarga.
Langit masih betah dalam tangisnya. Tak seperti biasa, malam ini Adica berhenti berkencan dengan laptop dan kertas-kertas kerja. Ia tenggelam dalam pikiran sambil menatap kosong layar TV. Remote dipencet-pencetnya tanpa arah. Dua cangkir Earl Grey mengepul hangat di atas meja marmer.
"Thanks," Calvin berterima kasih setelah Adica mengisyaratkannya untuk mengambil satu cangkir.