"Aku lahir di Indonesia. Aku pun ingin meninggal di sini." ujar Calvin.
"Tidak bisakah kau berhenti mengucap kata itu?"
"Bagaimana kalau kenyataannya memang begitu?"
Setelah mengatakan itu, Calvin mengecup singkat kening Silvi. Ia melingkarkan lengan, memeluk wanita yang begitu cantik dalam balutan gaun mahalnya. Pria tampan dengan jas Versace. Wanita cantik mengenakan gaun Dolce and Gabbana. Serasi sekali.
"Baik, aku mengerti jalan pikiranmu. Kita selibat. Mencintai tidak harus berakhir dalam pernikahan. Bila kau pergi, aku pun akan tetap selibat."
"Terima kasih, Silvi."
"Sama-sama, malaikat tampan bermata sipitku."
Wajah-wajah rupawan menyeruak dari balik vitrage. Entah harus tersenyum, entah harus menangis. Satu hal yang pasti: pemilik wajah-wajah rupawan itu saling mencintai. Dan mereka sangat mencintai Indonesia, walau di dalam darah mereka terkandung darah campuran. Darah yang membuat paras mereka lebih rupawan dari kebanyakan orang Indonesia lainnya. Darah yang membuat kulit mereka lebih putih, dan beberapa di antara mereka memiliki warna mata berbeda. Bukankah kulit putih lebih rupawan? Bukankah yang rupawan justru sangat mencintai negara ini?
"Silvi, besok pagi temani aku ke San Diego Hills." pinta Calvin lembut, satu tangannya membelai rambut Silvi.
"Untuk apa kau ke sana, Calvin?"
Pertanyaan Silvi tak terjawab. Tubuh Calvin limbung, nyaris jatuh. Darah segar mengalir dari hidungnya.