Damai rasanya mendengar keceriaan mereka. Beban berat di hati Calvin perlahan terurai.
"Calvin, kamu sudah di airport ya? Aduh, coba aja kamu bolehin kami jemput kamu di sana. Kita kan lebih cepat ketemu." Calisa sedikit merajuk. Perempuan gorgeous keturunan Sunda-Minang-Inggris itu mengeluarkan puppy eyes-nya.
"Aku akan segera ke sana, Calisa. Wait..." balas Calvin sabar.
"Ok. Kami tetap tunggu kok. Sampai kamu datang." Kali ini pria bertubuh langsing dengan dagu lancip yang menyahuti. Albert namanya. Pria setengah bule, karena dalam darahnya mengalir campuran darah Jawa-Jerman-Skotlandia.
"Take care, Calvin." Julia-gadis yang juga blasteran Sunda, Jawa, Belanda di samping Albert-berkata penuh perhatian.
Sepasang sepupu bermata biru pucat itu sejak tadi lebih banyak diam. Lebih banyak memperhatikan sambil tersenyum. Namun, justru merekalah yang paling dirindukan Calvin.
** Â Â
Alphard hitam itu meluncur cepat menuruni lereng bukit. Sebelum menemui sahabat-sahabatnya, ada beberapa hal yang harus dia lakukan. Ia ingin bertemu tujuh sahabatnya dengan hati tenang.
Kemacetan menyambutnya di bawah bukit. Ah, ini membosankan. Hanya menghambat perjalanannya. Mengetukkan jari ke dashboard, pria tampan berjas hitam itu berpikir. Semenit. Tiga menit. Lima menit. Ia teringat sesuatu. Bukankah ini Hari Jumat? Saatnya berbagi, tak boleh dilewatkan.
Ia memutuskan putar balik. Kalau ingin berbagi, bukan di sini tempatnya. Ada jalan alternatif.
Calvin menepikan mobilnya di sebuah resto. Dibelinya dua puluh porsi makanan dan minuman. Ia membagi-bagikan makanan itu untuk penyapu jalan, penarik becak, penjaga rumah ibadah, tunawisma, dan beberapa anak jalanan. Langsung saja aksi Calvin menarik perhatian banyak orang. Pria berwajah oriental yang sangat tampan, memakai jas mahal, berbagi makanan di jalan raya. Sebuah aksi memesona yang mencuri hati banyak orang.